H. Mahbub Djunaidi : Wartawan. Kolumnis. Politisi
Keprihatinan Mahbub terhadap masih terus berlanjutnya feodalisme dan berkembangnya irrasionalitas dalam budaya kita, terungkap dalam banyak tulisannya. Kalau mau, Mahbub sendiri sebenarnya bisa dipanggil Gus. Ayahnya adalah seorang kiai, K.H. Muhammad Djunaidi dan ibunya Muchsinati. Dengan menikahi Asni Asymawi, maka mertuanyapun juga seorang kiai, K.H. Asymawi Tapi dia menulis: “Pentingkah keturunan itu? Tentu penting, walau sama sekali tidak menentukan kualitas. Soal kualitas ditentukan oleh pelbagai faktor yang kompleks. ”
“Lewat kacamata awam pun orang bisa maklum betapa keturunan itu bukanlah apa-apa dan tidak seratus persen dominan. Taruhlah Anda itu memang keturunan Gajah Mada yang hebat, tapiyangpenting siapakah Anda sekarang ini? Antara kehebatan Gajah Mada dan Anda tidak ada hubungannya sama sekali. Anda tak lebih dari sekedar pendompleng kebesarannya, tak lebih, sementara Anda tetap bukan siapa-siapa. Anda adalah Anda, habis perkara. Anda tak perlu macam-macam dengan dongeng keturunan itu. Anda harus bekerja keras untuk jadi semacam Gajah Mada. Kualitas tidak jatuh dari keturunan, dan tidak juga dari langit”(Keturunan, 5/4/1987)
Mahbub Djunaidi lahir pada 22 Juh 1933/3 Rabiul Akhir 1352 Hijriyah di Jakarta. Ayahnya, K.H. Muhammad Djunaidi, adalah Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta.
Pendidikan: SD dan SMP di Solo, sedangkan pendidikan menengah atas di SMA Budi Utomo, Jakarta. Sejak masa SMA dia sudah rajin menulis. Tulisannya sudah seringkali dimuat di berbagai media ibukota. Dia pula yang mempelopori sekaligus pengelola majalah dinding (mading) sekolahnya. Pernah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, namun tidak tamat.
Karier Kewartawanan: Tahun 1958 Mahbub terjun ke dunia jurnalistik membantu Harian Duta Masyarakat, kemudian menjadi redakturnya (1960 – 1970). Tahun 1965 – 1970 menjadi Ketua Umum PWI Pusat dengan Jacob Oetama sebagai sekretarisnya, kemudian menjadi Ketua Dewan Kehormatan PWI, sampai tahun 1978. Sejak tahun 1970 menjadi kolumnis di Harian Kompas dan Majalah Tempo.
Sebagai seorang sastrawan, ia banyak meninggalkan hasil karya tulis. Novel Dari Hari ke Hari karyanya (1974) memenangkan sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta. Cerpen dan sajak-sajaknya banyak dimuat di majalah Gelanggang, Siasat (puisi), Mimbar Indonesia (esai). Kisah, Roman, Star Weekly, Cinta (cerpen), dan lain-lain. Tahun 1979 dia menyelesaikan terjemahan Ramadhan to Ramadhan karya Hasanain Haikal.
Mahbub pernah mengaku lebih menyukai sastra daripada jurnalistik. Bukunya yang lain Angin Musim diterbitkan tahun 1985 dan kumpulan artikel yang dibukukan dalam Kolom Demi Kolom. Mahbub juga menulis sejumlah karya terjemahan, diantaranya Cakar-cakar Irving (Art Buchwald), Hidup Baru Mulai di Umur 40 Tahun (Robert Peterson), 80 Hari Keliling Dunia (Jules Verne), Di Kaki Langit Gurun Sinai (Hasanain Heikal). Paling banyak penggemarnya adalah terhadap buku terjemahannya 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Michael H. Hart) yang mengalami 16 kali cetak ulang selama 2 tahun sejak terbitnya tahun 1982.
Ia dikenal sangat dekat dengan Bung Kamo, sekaligus mengagumi pemikiran-pemikiran tentang anti kolonialisme dan imperialisme Sang Proklamator. Dalam segala forum ia tidak segan-segan mengutip pandangan BK. Nama Mahbub Djunaidi juga dijadikan sebagai figur yang ditokohkan oleh forum wartawan Asia-Afrika.
Karier politik: Mahbub adalah seorang tokoh sentral berdirinya PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama, dan menjadi Ketua Umumnya yang pertama (1960) hingga dua periode. Pernah menjadi anggota Fraksi NU di DPR-GR, Fraksi NU hasil pemilu 1971 dan Fraksi PPP hasil Pemilu 1977.
Menjabat Wakil Ketua DPP, lalu pernah menjadi Wakil Ketua MPP. Tahun 1977 ia sempat dicalonkan sebagai anggota legislatif mewakili daerah Timor Timur (saat itu masih dalam pangkuan RI, sekarang bernama Timor Leste). Mahbub yakin, penempatan dirinya di daerah yang kering itu merupakan siasat dari kelompok H Naro untuk menyingkirkan dirinya dari panggung politik PPP. Dugaan itu ternyata memang benar. Ia terpental dari panggung politik. Sejak tahun 1979, ia juga menjabat sebagai Ketua II PBNU.
Sebagai tokoh sentral pendiri PMII, Mahbub berusaha dengan sungguh-sungguh menjadikan PMII sebagai wadah pembentukan kader, sebagaimana diamanatkan kepadanya oleh Musyawarah Mahasiswa NU seluruh Indonesia. Salah satu cara membentuk jiwa dan menempa semangat kader adalah melalui lagu-lagu, khususnya lagu mars organisasi. Dia sendiri menyusun lirik lagu Mars PMII, lagu yang dinyanyikan pada setiap kesempatan dan pada saat akan memulai acara penting PMII.
Dia pula yang menyusun lirik lagu Mars Ansor. Lagu untuk membangkitkan semangat juang kaum muda. Mahbub wafat pada hari Ahad tanggal 1 Oktober 1995/6 Djumadil Awal 1416 H. Dimakamkan di Kota Kembang, Bandung.
Sumber : Buku Antologi NU I