Haul Ajengan Cipasung
Haul almagfurlah KH Ruhiat ke 40 dan haul almagfurlah KH Moh Ilyas Ruhiat ke 10, akan dilangsungkan pada Kamis, 7 September 2017. Peringatan haul ini kali ini dimeriahkan dengan berbagai perlombaan dan bazaar santri.
Abah Ruhiat
Ajengan Ruhiat lahir dari pasangan Abdul Ghofur dan Umayah pada 11 November 1911. Pada usia remaja, ia dikirim ke pesantren paling terkenal di Singaparna saat itu, Pesantren Cilenga, yang diasuh oleh Kiai Sobandi atau Syabandi. Sobandi adalah alumni Pesantren Kudang Tasikmalaya, yang meneruskan pendidikannya di Masjid al-Haram, Makkah, di bawah asuhan Syekh Mahfudh al-Tarmasi. Syaikh Mahfudh inilah yang menjadi guru dari sejumlah santri yang kemudian menjadi tokoh-tokoh penting NU, seperti Hasyim Asy’ari. Tidak mengherankan kalau Sobandi mengadopsi sistim madrasah dan mendukung kelahiran NU, seperti tampak di Tremas dan Tebuireng, dan dalam pengajiannya sudah menggunakan ngalogat Sunda.
Ruhiat termasuk kader yang didorong Sobandi untuk mengembangkan NU di Tasikmalaya, dengan menyertakannya pada Muktamar NU ke-5 di Pekalongan tahun 1930. Kehadiran Ruhiat di Pekalongan ini dicermati betul oleh KH. A. Wachid Hasyim. Sejak saat itu Ruhiat menjadi salah seorang sahabat dekat Wachid. Apalagi tiga muktamar berikutnya berlangsung di Cirebon (1931), Bandung (1932), dan Jakarta (1933). Kepribadian Ruhiat memenuhi harapan Wachid untuk mengembangkan NU yang dapat mengimbangi gerakan kaum modernis. Dalam beberapa hal, pandangan dua sahabat ini sama, misalnya soal berpakaian dan pembaharuan pengajaran pesantren. Saat jadi Menteri Agama, Wachid kerap berkunjung ke Cipasung.
Tak lama setelah berita proklamasi kemerdekaan sampai ke Cipasung, Ajengan Ruhiat segera pergi ke kota Tasikmalaya. Dengan menghunus pedang, ia berpidato di babancong alun-alun Tasikmalaya. Ia menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan yang sudah diraih cocok dengan perjuangan Islam, oleh karenanya harus dipertahankan dan jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Ia meneriakkan pekik merdeka seraya menghunus pedangnya itu. Ajengan Ruhiat adalah tokoh Islam pertama yang melakukan hal itu di Tasikmalaya.
Apih Ilyas
Ajengan Moh Ilyas Ruhiat lahir pada 31 Januari 1934. Tanggal kelahirannya sama dengan kelahiran NU menurut hitungan masehi. Maka setiap Harlah NU, Apih –demikian ia disapa keluarga dekatnya– pun mensyukuri hari kelahirannya.
Dalam 90 tahun sejarah perjalanan NU, ada 9 ulama pilihan yang pernah menjabat rais akbar dan rais aam syuriyah PBNU. Salah satunya ialah Ajengan Ilyas Ruhiat, seorang organisatoris karier, yang mengawali aktivitas ke-NU-annya sebagai Ketua IPNU Tasikmalaya pada tahun 1954.
Capaian Ajengan Ilyas di NU, sangat bersejarah. Dialah rais aam yang mengantarkan seorang warga NU menjadi Presiden RI. Ia husnul khatimah dalam kepemimpinannya. Pada waktu sang Presiden “diturunkan”, Ajengan Ilyas sudah “pensiun” dari NU. Setelah terpilih sebagai rais aam melalui Muktamar Cipasung 1994, dengan caranya yang luwes, ia berhasil menjaga komunikasi dan keseimbangan NU dalam relasi dengan pemerintah. Di sisi lain, pada saat yang sama komunikasi Gus Dur dengan pemerintah “disumbat” dengan berbagai rekayasa.
Ia bukan tokoh penurut dan gampangan, melainkan sangat memegang teguh prinsip. Tahun 1992, ia menolak pengangkatan sebagai anggota MPR dari Golkar, karena menurutnya melanggar khittah NU 1926. Ia baru menerima tawaran itu ketika diatasnamakan utusan daerah Jabar. Ia bisa tegas menolak berbagai rekayasa politik, seperti tak mau hadir ke ruangan ketika seorang capres yang sangat dikenalnya sedang kampanye di lingkungan Cipasung. Ia hanya mau menerima para capres itu di rumahnya sebagai tamu biasa. Semua tamu diterimanya dengan ramah sebab ia tak pernah membeda-bedakan tamu apapun kedudukannya.
Ajengan Ilyas hadir di panggung nasional dengan kejujuran, ketulusan, dan kesederhanaan. Ia membuktikan sikap jujur dan sederhana bukanlah penghalang untuk diakui orang lain, melainkan sebagai kekuatan dan modal utama. Ajengan Ilyas juga mempraktikkan pluralisme secara paripurna. Selain bersikap baik kepada non-Muslim, ia tak pernah bermasalah dengan sesama Muslim yang berbeda mazhab. Ia tetap aktif di MUI sekalipun dikecam kawan-kawan sendiri. Ajengan Ilyas membuktikan bahwa di MUI, ia tidak kehilangan sikap independen. Dalam kasus Darul Arqom umpamanya, ia kukuh memberikan dissenting opinion bahwa ormas itu tidak melanggar akidah, sementara MUI secara resmi memutuskannya sebagai aliran sesat.
Lahumal fatihah …
(Iip Yahya)
Sumber : NU Jabar Online