HIJRIYAH DAN MASEHI MILIK SIAPA ?
Zahro Diniyah – Salah satu sebab munculnya pertikaian tahunan perihal hukum menyambut dan merayakan tahun baru Masehi ialah, adanya segelintir orang yang mengangkat kesan “kepemilikan”, sehingga muncul istilah Hijriyah Tahun Baru Islam dan Masehi Tahun Baru non Islam.
Padahal sejatinya, pikiran kita terkait Hijriyah dan Masehi itu sangat bisa disederhanakan dengan memakai pendekatan urusan astronomis, atau setidaknya dipandang dari sisi sosial, bukan stop di keagamaan. Meski, pada mulanya kalender Hijriyah dicetuskan oleh Khalifah Umar bin Khattab, namun hal demikian tidak beliau tujukan untuk menggarisbawahi perbedaan keyakinan.
Dan meski kalender Masehi diprakarsai oleh Paus G sebagai non muslim, apa bedanya dengan kita yang mengamini dan ikut mengambil manfaat dari banyak perangkat materiil dan non materiil buatan non muslim pula ?.
Masehi ialah bentuk penanggalan yang mengacu pada perputaran bumi mengelilingi matahari ( rotasi bumi ). Sedang Hijriyah mengacu pada perputaran bulan mengelilingi bumi ( rotasi bulan ).
Baik Masehi maupun Hijriyah sama-sama dihadirkan sebagai misi penanda waktu dan segala aktivitas hamba di muka bumi. Sangat disayangkan jika keberadaanya harus dibenturkan lewat alasan teologi. Padahal Allah SWT sudah berfirman dalam surat Ar-Rohman lewat kutipan
الشمس والقمر بحسبان
Dan penanggalan Masehi pun sudah dari dulu tertera dalam surat Al Kahfi untuk menghitung lamanya tujuh pemuda Ashabul Kahfi saat tertidur.
Jika dua macam penanggalan Masehi ( Syamsiyah / solar ) dan Hijriyah ( Qamariyah / lunar ) saja sudah menjadikan kita selaku umat muslim terkotak-kotak, lantas bagaimana caranya kita bisa membuka pemikiran terkait penanggalan Lunisolar yang banyak dijumpai di belahan dunia termasuk Indonesia? Seperti tahun Bali, tahun Saka ( penanggalan Jawa ), buddhis, Tionghoa, India dan lainnya.
Kecaman kita terhadap tahun baru Masehi cukuplah hanya di batas perayaan saja. Dimana sebuah perayaan yang tertuju pada kemaksiatan tentu harus kita enyahkan. Dan hal ini tidak hanya berlaku untuk ceremonial tahun baru Masehi semata. Apapun bentuk sebuah perayaan, jika komposisi dan formasi nya ialah dosa dan hura-hura kita akui dan yakini sebagai sesuatu yang ditentang oleh Agama.
Dan jika perayaan tahun baru Masehi kita isi dengan perihal yang bermanfaat, semisal doa bersama, dzikir, atau dirayakan dengan suatu hal yang bersifat mubah semisal silaturahmi keluarga dengan makanan sebagai sajiannya, lalu kenapa tidak ?.
Penulis :
Zahro Diniyah
Khadimul Ma’had di Ponpes Raudlatul Mubtadiin Putri Cianjur