IRASIONALITAS REUNI PA 212
Oleh Ayik Heriansyah
Sukar bagi nalar publik jika tidak mengasosiasikan rencana Reuni PA 212 dengan agenda politik dukung-mendukung Capres dan Cawapres pada pemilihan Presiden tahun depan. Ada kabar panitia akan mengundang Prabowo dan Sandiaga Uno. Sedangkan Jokowi dan Kiai Ma’ruf Amin tidak. Portal JawaPos menurunkan judul ,PA 212 Pertimbangkan Undang Prabowo, tapi Tidak dengan Jokowi”.
Menurut Novel, terjadinya Aksi Bela Islam 212 pada 2 Desember 2016 lalu merupakan bentuk protes terhadap pemerintah yang diklaim banyak melakukan penistaan terhadap ulama. Atas dasar banyaknya kriminalisasi terhadap ulama, kata Novel, pihaknya enggan mengundang Presiden Joko Widodo untuk hadir pada acara tersebut. JawaPos.com (16/11/2018).
Bagi pasangan Jokowi dan Kiai Ma’ruf Amin hajatan PA 212 bukan acara penting untuk diperhatikan. Namun nalar publik jadi jungkir balik. Kiai Ma’ruf Amin sebagai ketua umum MUI pernah mendampingi GNPF MUI selaku panitia Aksi 212. Sementara itu Presiden Joko Widodo juga ikut melaksanakan shalat Jumat bersama para peserta aksi super damai. Jokowi datang menggunakan baju koko putih didampingi oleh Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. Jokowi datang sekitar pukul 11.50 WIB. Di tengah-tengah guyuran hujan deras Jokowi nampak melangkah dengan payung di atas kepalanya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) juga ikut menunaikan ibadah shalat Jumat bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Lapangan Monas, Jakarta Pusat bergabung dengan para peserta aksi demonstrasi damai. Berdasarkan pantauan dari halaman kantor Wakil Presiden, di Jalan Veteran, JK tiba-tiba menuju ke lapangan Monas bersama Jokowi. (Republika.co.id, 2/12/2016).
Sedangkan Prabowo kata Sekjen Gerindra Ahmad Muzani bicara soal isu Ketum Prabowo Subianto bakal ikut turun di aksi damai 212 di Monas. Prabowo dijelaskan Muzani punya acara sendiri dengan kader Gerindra.
“Kami sudah konfirmasi soal isu itu tidak benar. Pak Prabowo akan salat Jumat bersama kader Gerindra di Hambalang, karena setelah itu ada pelatihan-pelatihan kader,” kata Muzani kepada wartawan, Kamis (1/12/2016). Demikian diberitakan detik.com.
Sekali lagi, bagi Jokowi dan Kiai Ma’ruf Amin acara Reuni 212 tidak penting, namun nalar publik seperti dinistakan jika panitia tidak mengundang Jokowi dan Kiai Ma’ruf Amin karena alasan mendukung penista agama, maksudnya Ahok, melakukan kriminalisasi ulama, dsb. Padahal kasus Ahok sudah clear. Ahok sudah dipenjara. Sebentar lagi masa tahanannya akan berakhir. Sedangkan soal kriminalisasi ulama, apakah yang dimaksud itu adalah memproses kasus hukum Habib Rizieq Shihab (HRS)? Maka sesungguhnya siapapun yang bersalah akan diproses hukum, termasuk HRS. Sikap Presiden Jokowi sudah benar, tidak mau mengintervensi proses hukum.
Jokowi sendiri sangat terbuka untuk berdialog dengan GNPF U dan PA 212. Pertemuan Jokowi dengan tokoh-tokoh 212 terjadi dua kali, pertama waktu acara Halal Bi Halal di Istana Negara pada tanggal 25 Juni 2017 dan pertemuan di Istana Bogor pada tanggal 22 April 2018.
Pada Reuni 212 tahun lalu Jokowi diundang bahkan diakui oleh tokoh 212 bahwa Jokowi alumni 212. Jadi tidak masuk akal kalau Prabowo akan diundang pada Reuni PA 212 bulan depan sedangkan Jokowi tidak.
Irasionalitas lainnya, di Reuni 212 nanti ada acara mengibarkan bendera tauhid. Bentuk protes atas insiden pembakaran bendera HTI di Garut. Selain pelaku pembakaran bendera HTI sudah selesai menjalani masa hukuman, tentang bendera HTI sudah banyak dibahas. Itu bukan bendera tauhid. Sejatinya tauhid tidak punya bendera. Yang punya bendera itu ormas HTI. Ormas yang kembali ke hukum asalnya sebagai ormas terlarang setelah badan hukumnya dicabut.
Kontribusi HTI waktu Aksi Bela Islam 212 sangat minim. Sudah jadi rahasia umum kalau HTI itu ormas kecil. Massa HTI sekitar 20.000 terbukti ketika HTI mengadakan aksi sendiri menolak cagub DKI incumbent Basuki Tjahaja Purnama hari Minggu (12/5/2017). Anggap saja massa aksi 212 sejumlah 7 juta orang. Berarti kontribusi massa HTI hanya 0,28% dari seluruh massa yang hadir Monas dan sekitarnya.
Maka ketika PA 212 akan mengadakan Reuni Akbar 212 di Monas, apa sebenarnya urgensi dan relevansinya bagi umat, bangsa dan negara. Betul, bangsa ini sedang mengalami krisis multidimensi, akumulasi dari krisis-krisis di masa pemerintahan sebelumnya. Siapapun yang jadi Presiden, pasti akan menerima warisan krisis. Pemerintah sendiri tidak menutup mata atas kenyataan ini. Segala langkah dilakukan agar bangsa Indonesia bisa keluar dari krisis. Langkah-langkap pemerintah dalam koridor konstitusi negara dan konvensi-konvensi internasional.
Ada kalangan yang tidak puas, itu lumrah. Wajar sebagian tokoh nasional mengkritisi kebijakan-kebijakan Presiden. Namun baik kebijakan pemerintah maupun ketidakpuasaan sebagian orang, semuanya sangat relatif. Tidak mutlak benar adanya.
Tokoh-tokoh di GNPF Ulama dan PA 212 tergolong pemimpin informal yang kritis terhadap pemerintah. Aspirasi politik mereka tidak tersalurkan di lembaga-lembaga politik resmi mau men-drive ormas sebesar NU dan Muhammadiyah, rasanya tidak mungkin.
Karena itu kegiatan pengerahan massa Reuni Akbar 212 lebih dari sekedar acara kangen-kangenan, tapi untuk menunjukkan sikap protes lunak atas pengeloaan negara oleh pemerintah. Acara reuni akbar juga untuk menyampaikan pesan kepada ormas-ormas Islam yang sudah mapan, bahwa ada gerakan umat di luar mereka. Sekaligus untuk menyatakan kepada masyarakat luas, bahwa PA 212 jadi gerakan Islam alternatif di masa depan. Jadi sebenarnya Reuni Akbar 212 membawa pesan politis dengan kemasan agamis.
Bandung, 20 November 2018
makasih admin artikelnya sangat membantu
sama-sama Kang..