Keluarga Sebagai Sekolah Pertama (1)
SALAH satu tugas terpenting orang tua kepada anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Begitu bayi lahir dan membuka matanya, maka yang pertama kali dilihat adalah kedua orang tuanya. Orang tua yang pertama kali mengenalkan bahasa maupun nilai-nilai sebagai dasar pembentukan karakter dan kepribadian anaknya.
Fungsi utama keluarga adalah sebagai pelaksana pendidikan yang paling menentukan. Keluarga merupakan sekolah pertama dimana orang tua menjadi gurunya. Orang tua juga berperan sebagai peragawan/peragawati atau model bagi anak-anaknya, karena semua perilaku dan karakter yang mereka peragakan ditiru oleh anak-anaknya.
Seringkali persoalan anak yang terjadi di luar rumah faktornya ternyata ada pada keluarganya. Misalnya anak-anak yang terjerat narkoba, pergaulan bebas, tawuran, mem-bully teman dan sebagainya itu semua tidak bisa lepas dari tanggung jawab orang tuanya.
“Dosa syirik adalah dosa yang tidak terampuni. Barang siapa melakukan perbuatan syirik dan tidak bertaubat sampai dia meninggal dalam kemusyrikan maka tidak akan terampuni dosanya.”
Jika orang tua memberikan pendidikan yang baik, komunikasi yang hangat dan interaktif, serta kontrol yang bagus terhadap anak-anaknya maka tidak akan terjadi masalah tersebut.
Oleh karenanya orang tua harus memberikan kepada anak-anaknya pendidikan yang baik, menanamkan akhlak mulia, menumbuhkan kecintaan kepada Allah Swt, mengajarkan perilaku jujur, sabar, rendah hati, suka menolong, sopan, displin dan semangat kerja bersama seluruh anggota keluarga dalam suasana yang selalu menggembirakan. Kelak anak-anak akan tumbuh menjadi generasi yang sehat, gembira, lincah dan peduli kepada orang lain.
Pendidikan apa sajakah yang harus diberikan orang tua kepada anak-anaknya?
Kisah Luqman mendidik putranya diangkat oleh Al Qur`an sebagai model terbaik, meliputi pendidikan akidah, syariah dan akhlak anak-anak. Sesuai didikan orang tuanya, mereka adalah cermin masa depan bangsa. Seperti apa wajah bangsa kita ke depan dapat diprediksi dari kondisi anak-anak sekarang. Pada dasarnya anak-anak harus sehat, lincah dan gembira.
Anak yang sehat, lincah dan gembira lebih mudah dibentuk untuk menjadi anak yang berkepribadian positif dan berakhlak mulia karena sehat menjadikan anak memiliki semangat belajar yang tinggi, lincah menjadikan anak mudah beradaptasi dan gembira dapat menolong anak tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan.
Semua itu menjadi kewajiban bagi orang tua terhadap putra-putrinya masing-masing menciptakan suasana bermain dan belajar yang menyenangkan tanpa harus mengeluarkan biaya mahal.
Jika setiap keluarga sukses menjalankan peran tersebut maka wajah masyarakat dan bangsa kita akan baik, karena keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat atau bangsa.
Bagaimana mendidikan anak-anak dengan baik? Al Qur’an memberikan keteladanan kisah Luqman dalam mendidik anak-anaknya.
Pertama, keluarga sebagai pusat pendidikan aqidah atau tauhid
Inti dari diturunkannya Islam adalah menanamkan ajaran tauhid, meng-Esakan Allah, tidak mempersekutuhan Allah dengan mahkluk-Nya. Firman Allah QS Luqman ayat 12:
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberikan pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Dalam ayat tersebut Luqman tidak hanya melarang anaknya melakukan perbuatan syirik (mempersekutukan Allah) tetapi juga menjelaskan alasan mengapa tidak boleh mempersekutukan Allah, yaitu karena mempersekutukan Allah merupakan kezaliman yang besar.
Dosa syirik adalah dosa yang tidak terampuni. Barang siapa melakukan perbuatan syirik dan tidak bertaubat sampai dia meninggal dalam kemusyrikan maka tidak akan terampuni dosanya.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan Allah maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisa : 48).
Tidak hanya itu, perbuatan syirik juga bisa menghapus seluruh perbuatan baik manusia, bahkan pelaku syirik diharamkan masuk surga dan akan kekal di neraka selamanya.
Mengajarkan anak tentang keesaan Allah merupakan pendidikan paling dasar sebelum mendapatkan pendidikan yang lain. Pelajaran tauhid harus ditanamkan kepada anak-anak sejak mereka lahir, bahkan sejak ibu mengandung dianjurkan memperdengarkan kalimat thoyyibah agar kelak sang bayi lahir dan tumbuh menjadi anak yang dekat dengan Rabb-nya, menjadi anak yang sholih.
Kedua, keluarga sebagai pusat pendidikan syari’at
Setelah mengajarkan tauhid, pendidikan yang diajarkan oleh Luqman kepada anaknya adalah shalat. Ya bunayya aqimi ash shalah. Inti dari pendidikan syariat yaitu shalat. Shalat adalah tiang agama, dalam pengertian bahwa shalat merupakan fasilitas yang disediakan Allah kepada hamba-Nya untuk berkomunikasi langsung.
Sekurangnya lima kali dalam setiap hari Allah membuka kesempatan kepada hamba-Nya untuk mengadukan segala persoalan hidupnya, khususnya menyangku kesulitan-kesulitan yang di luar kemampuan manusia untuk mengatasi.
Shalat sangat bermanfaat untuk kesehatan jasmani dan rohani. Setiap gerakan shalat mengatur susunan saraf pada posisi yang normal, misalnya ketika sedang sujud, posisi jantung yang lebih tinggi dari kepala menjadikan jantung lebih bebas mengalirkan darah.
Syariat memberi tuntunan hidup manusia untuk mencapai kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat.
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS Luqman : 17).
Di antara manfaat shalat adalah mencegah dari perbuatan keji dan mungkar seperti dalam firman Allah:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Ankabut : 45)
Shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar apabila dilakukan dengan sempurna, tidak hanya menjadikan shalat sebagai ritual dalam melafalkan bacaan dan gerakan shalat, tapi harus menghadirkan hati saat shalat dan merenungi setiap ayat dan bacaan yang diucapkan serta bertekad melaksanakan apa yang diucapkan dalam lafad atau bacaan shalat tersebut.
Mengajarkan anak-anak untuk melaksanakan shalat tidaklah sulit asalkan dilakukan sedini mungkin dengan pendekatan yang tepat. Pendidikan yang kita berikan kepada anak seyogyanya membuat anak senang dan menikmati. Terkadang bukan shalatnya yang tidak disukai anak, tetapi cara orang tua mengajarkannya. Ajaklah anak gembira dalam melakukan shalat.
Pengalaman penulis dalam melatih shalat kepada anak-anak sewaktu mereka masih usia antara kelas satu-tiga SD, kadang lucu tetapi unik. Suatu ketika penulis mengajak shalat, “Adik shalat yuk sama mama” apa jawabnya, “Emang anak harus sama seperti mama semua, kan bakat anak beda-beda ma !” Jadi di benak mereka shalat atau membaca Al Qur`an itu merupakan bakat, bukan kewajiban beribadah.
Anak yang satunya lagi ketika pulang dari mesjid usai shalat tarwih lapor, “Ma, di masjid berjubel, tarawihnya 20 rakaat, tempat berwudhu cuma tiga dan antreannya panjang, jadi adik tadi wudhu dua kali supaya kalau pas sedang shalat wudhunya batal masih punya satu lagi wudhu yang belum dipakai, boleh kan Ma?”
Pengalaman unik dan lucu membuat penulis berpikir, cara apa ya yang menyenangkan anak untuk semangat melaksanakan shalat, akhirnya kami mengadakan shalat tarawih di rumah. Sebelum shalat, cukup kita bentangkan karpet dan sajadah untuk imam lalu di belakangnya kita bentangkan sajadaah berderet untuk makmum.
Kita duduk saja mengaji, sambil menunggu anak-anak kumpul. Ternyata tanpa dikomando mereka segera bergegas untuk mengikuti shalat. Mereka langsung berebut mengambil air wudhu dan segera memilih tempat untuk shalat berjamaah.
Dengan melihat sajadah digelar saja anak-anak merasa itu sudah menyenangkan seperti bermain. Mereka juga merasa terhormat dan dilayani, lalu mereka pun berjejer di belakang siap diajak shalat. Tentunya orang tua lebih mengatahui tentang bagaimana cara atau pendekatan yang tepat kepada anak-anaknya.
Cara ini sangat berbeda dengan pengalaman penulis waktu kecil, orang tua membawa sapu lidi sambil mengancam, hayo pada shalat, kalau nggak shalat, lihat ini! Sambil mengacungkan lidi seperti mau mencambuk anak-anak yang bandel.
Apa yang terjadi? Kami lari ke kamar mandi bukan untuk berwudhu, tetapi sekadar cuci muka dan kaki asal kelihatan basah. Setelah itu masuk kamar mengeringkan muka dan kaki, sampai kira-kira sepuluh menit baru keluar. Kalau ditanya sudah shalat? jawabnya tegas, “Sudah!“.
Ini pengalaman tidak baik, karena pendekatan yang dilakukan orang tua dengan cara menakut-nakuti, menjadikan anak tidak paham shalat, tidak menikmati shalat, bahkan mendorong anak untuk berbohong.
(http://www.muslimat-nu.com/)
Sumber : NU Jabar Online