Keterpurukan Peradaban Politik Kita
Fenomena itu semakin menegaskan hilangnya nalar dalam pengalaman politik kita. Politik yang seharusnya menyuntikkan kesadaran tentang pentingnya merawat keadaban publik dengan mendahulukan argumentasi justru yang terjadi sebaliknya: saling menghujat, menebar hoax dan menista satu sama lain.
Demokrasi yang kita rayakan hari ini telah membelah manusia Indonesia secara bipolar. Antara pendukung petahana dan oposisi yang tak sabar ingin lekas berkuasa. Seolah tak ada jalan tengah yang bisa menyelesaikan sengketa itu.
Tagar 2019 ganti presiden juga menurut saya sudah kelewatan. Bukan hanya tidak sopan namun juga semakin memanaskan atmosfer politik. Seharusnya yang dilempar ke publik adalah isu-isu mencerahkan, bukan pernyataan pernyataan propokatif. Apalagi sampai kita melihat bagaimana pihak oposisi menggotong kaos ganti presiden itu sampai ke tanah suci. Haji yang sejatinya ritus sakral justru dinodai tindakan politik primitif dan kepentingan jangka pendek. Perbuatan memalukan.
Artis-artis semacam Neno Warisman, Sarumpaet, Ahmad Dani, menjadi sebuah fenomena tentang kiprah selebritas yang kehilangan kiprahnya di panggung hiburan akhirnya bermigrasi ke dunia politik dengan pikiran yang pas-pasan. Akal alakadarnya. Pernyataan-pernyataannya bukan hanya tidak cerdas tapi juga melambangkan peradaban politik yang terbelakang. Dianggitnya diksi Badar, Uhud, dan ayat ayat Alquran yang dimaknai serampangan yang disampaikannya dalam pidatonya, menegaskan betapa alam pikiran mereka terhunjam dalam limbo faham politik keagamaan abad pertengahan.
Harus ada upaya dari semua pihak mengembalikan politik kepada khitahnya: memilih dengan cara cara sehat. Demokrasi semestinya memberikan kegembiraan bukan menebar ketakutan dan ancaman. Mengabarkan visi optimistis bukan murung dan pesimistis. (cmk)
Sumber : watyutink.com