The news is by your side.

Ki Ageng Glego dan Reog Jathilan di Bulan Syawal

Klaten, NU Online
Ada yang menarik pada hari kedua setiap bulan Syawal datang di Desa Kalikebo, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah. Masyarakat desa tersebut selalu menggelar sebuah tradisi turun temurun yakni jathilan, yang oleh masyarakat setempat disebut Reogan.

Reog Jathilan adalah acara tahunan yang memiliki nama resmi Seni Naluri Reog Brijo Lor. Acara ini dilaksanakan di halaman Masjid Dukuh Brijo Lor mulai pagi sampai dengan sore hari.

Tradisi yang juga merupakan Bersih Dusun ini tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh yang menyiarkan agama Islam di daerah tersebut yakni Ki Ageng Glego atau Eyang Suro Lawung yang makamnya terletak di belakang Masjid Dukuh Brijo Lor.

Uniknya, semua pemain reog yang tampil merupakan keturunan para pereog generasi sebelumnya. Mereka secara turun-temurun menjadi pemain reog sejak masa hidupnya Ki Ageng Glego.

Kisah perjalanan Ki Ageng Glego dari kerajaan Majapahit, bersama dua orang sahabatnya yaitu Ki Ageng Jayengresmi dan Ki Ageng Siwogoro atau Ki Ageng Selogoro menjadi dasar adanya ritual pementasan Seni Naluri Reog Brijo Lor ini.

“Ini juga sebagai pepundhen (awal) atas keberadaan kolektif masyarakat di Desa Kalikebo. Adanya pertunjukan Seni Naluri oleh Ki Ageng Glego digunakan untuk menyebarkan ajaran agama Islam di daerah Kalikebo, selain dengan cara pencak silat,” Ungkap tokoh masyarakat sekaligus penerus pereog, Sagino.

Dikisahkan bahwa Ki Ageng Glego adalah panglima perang di kerajaan Majapahit. Ki Ageng Glego meninggalkan Majapahit ditemani oleh dua sahabat dan kerabatnya yakni Jayengresmi dan Selogoro.

Sunan Kalijaga melalui muridnya memerintahkan Ki Ageng Glego, Jayengresmi (dimakamkan di Gaden, Trucuk), dan Selogoro (sampai saat ini belum diketahui makamnya) untuk pergi menuju wilayah Barat daya (Kidul-Kulon) dari kerajaan Majapahit dan pada akhirnya sampailah di suatu daerah yang pada saat ini bernama Brijo Lor.

“Melalui kesenian Reog Jathilan, Ki Ageng Glego menyebarkan ajaran agama Islam. Usaha yang dilakukan oleh Ki Ageng Glego tidak sia-sia meskipun hanya beberapa orang saja yang masuk agama Isam,” tambah Sagino.

Kesenian Reog Naluri pada awalnya hanya dimainkan oleh tiga orang saja. Ki Ageng Glego memerintahkan kepada ketiganya untuk memainkan kuda-kudaan, dan satu orang sebagai penthul.

“Pertama kali yang ada adalah kuda-kudaan berwarna merah dan berwarna hitam. Mereka bertiga bertugas untuk memberikan hiburan kepada kerabat-kerabat dekat yang ada, dengan menampilkan adegan peperangan antara kuda berwarna merah dan berwarna hitam. Setelah keduanya kelelahan, penthul bertugas untuk menghibur,” jelasnya.

Ada yang unik dalam kehidupan Ki Ageng Glego yang sampai dengan saat ini dilakukan turun temurun oleh masyarakat Brijo Lor. Selama hidupnya Ki Ageng Glego mempunyai peliharaan kuda kore, kambing gembel, sapi plongko (hitam), ayam walik (bulunya terbalik) dan burung gemak (puyuh). Lima jenis hewan peliharaan ini sampai sekarang tidak diperbolehkan dipelihara oleh masyarakat setempat. (Minardi Kusuma/Muhammad Faizin)

Sumber : NU Online

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.