Kiai Ahmad Abdul Hamid, Puasa, dan Pola Hidup Hemat
Alfi Saifullah – Berbicara mengenai puasa, tidak akan bisa terlepas dari goal setting dan hikmah utamanya. Tidak semata-mata, “agar kamu bertakwa”, seperti yang mengendap dalam ingatan kolektif kita. Namun penggalan ayat 183 surat Al-Baqarah tersebut memiliki makna, artikulasi, hikmah dan cakupan yang lebih luas, melebihi narasi tekstualnya.
Adalah Kiai Ahmad Abdul Hamid (1915-1998), kiai dari Kota Kendal-Jawa Tengah, telah menulis risalah yang mendedah puasa berikut seluk beluknya. Dengan kitab yang diberi judul ‘Risalah As-Shiyam’, Kiai Ahmad telah mengurai dimensi fiqhiyah puasa secara rinci―dari rukun, syarat, hingga pernak-pernik ibadah lain yang berhubungan langsung dengan bulan Ramadhan, seperti zakat hingga shalat Ied. Bukan sekadar instruksi teknis atau semacam manual book, melalui kitab setebal 76 halaman tersebut, Pengasuh Ponpes Al-Hidayah Kendal itu berbicara bagaimana puasa seharusnya membawa manusia ke dalam taraf kehidupan yang lebih baik. Alih-alih hanya berbicara dalam koridor fiqh dan sufistik, namun juga urusan domestik yang paling sederhana. Tentang bagaimana manusia mangalokasikan keuangan secara proporsional. Tentang pola hidup hemat.
Hemat sebagai hikmah Puasa
Dalam Risalah As-Shiyam―Kiai Ahmad mencatat, setidaknya terdapat 6 hikmah utama dalam berpuasa.
Menumbuhkan belas kasih terhadap faqir miskin
Menjernihkan dan mencerdaskan fikiran.
Menyehatkan badan.
Mengurangi Nafsu Bahimiyah.
Mengurangi ongkos belanja.
Terbebas dari api neraka.
Diantara sekian hikmah, yang cukup menarik adalah hikmah nomor 5, mengurangi ongkos belanja. Dengan kata lain, dapat disederhanakan dengan kata ‘hemat’. Pada halaman 29, Kiai Ahmad memberikan penjelasan,
“Nerangaken hikmahipun siyam. Nomer gangsal. Ngirangi ongkos belanja, kalangkunganipun punika saged dipun tasarrufaken nulung fakir miskin, tuwin Pembangunan pondok, madrasah, langar, masjid”.
Menerangkan hikmah daripada berpuasa. Nomor lima. Mengurangi ongkos belanja, dimana harta dari kelebihan puasa ini dapat disalurkan dengan menolong fakir miskin, atau Pembangunan pondok pesantren, madrasah, mushola, dan masjid.
Logika yang dipakai Kiai Ahmad terbilang sederhana. Dengan puasa, porsi makan cenderung lebih sedikit, dan kebutuhan pokok sehari-hari otomatis berkurang. Dengan berkurangnya kebutuhan, pengeluaran akan menyusut. Dengan demikian, uang yang tersisa bisa dialokasikan untuk membantu fakir miskin atau menopang keperluan lain yang lebih bermanfaat. Dus, ada banyak hal yang dapat diselesaikan dengan puasa―ada sekian problematika sosial yang menunggu puasa sebagai solusinya.
Pada titik ini timbul pertanyaan, apakah demikian faktanya? Sudahkah hemat terejawantahkan sebagai hikmah puasa secara rill? Ataukah sebaliknya, justru keborosan yang terealisasi?
Puasa dan perubahan pola konsumsi
Jika hemat adalah satu dari sekian hikmah puasa, maka realitas berkata lain. Terjadi paradoks yang justru begitu tajam ketika bulan Ramadhan tiba. Tidak hanya sebagai bulan suci, Ramadhan justru menjadi high season bagi sejumlah pelaku industri retail dan konsumsi domestik. Kehadiran bulan Ramadhan ditangkap sebagi peluang memunculkan semacam tren-tren baru, buka puasa eksklusif, promo belanja berbasis spiritual, hampers mewah, hingga paket wisata religi yang dikemas dengan estetika konsumtif. Dan bulan puasa yang idealnya digunakan untuk praktek menahan nafsu, justru menjelma sebagai peluang kapitalisasi religi, dikuasai hukum pasar yang justru mengakomodasi nafsu itu sendiri. Dus, kapitalisme modern telah mengubah hampir semua aspek kehidupan menjadi komoditas, termasuk ibadah.
Setiap tahun grafik inflasi di Indonesia memperlihatkan pola yang sama: harga bahan pokok melonjak seiring datangnya Ramadhan dan Idul Fitri. Daya beli dan intensitas masyarakat dalam berbelanja begitu tinggi. Permintaan naik, hargapun ikut terangkat.
Meja makan yang biasanya mengepul dengan masakan sederhana, kini dijejali dengan berbagai varian lauk pauk yang lebih kompleks, yang ironisnya justru tidak tersaji di bulan-bulan biasa. Tidak sedikit diantara kita rela mengorbankan anggaran untuk kebutuhan lain demi memenuhi ekspektasi sosial terkait konsumsi di bulan Ramadhan. Alih-alih bisa hemat dan menyalurkan kelebihan harta kepada yang membutuhkan seperti yang diutarakan Kiai Ahmad Abdul Hamid, masyarakat kita acapkali terjerat dalam siklus konsumsi yang begitu eksesif.
Barangkali, fenomena ini lebih dalam dari sekadar hukum ekonomi. Ini berkaitan dengan kebudayaan, dengan pola pemahaman kita terhadap puasa. Ramadhan, dalam imajinasi kolektif kita telah bertransformasi dari bulan pengekangan hawa nafsu menjadi bulan pelampiasan. Dari pengendalian diri dalam tataran konsep, dalam praktiknya menjadi sebuah siklus yang konsumtif. Seolah-olah menahan diri dari pagi hingga sore hari adalah harga yang harus dibayar demi menyantap sesuatu yang lebih nikmat dan lebih banyak di waktu berbuka. Dus, ibadah puasa telah direduksi dengan sekadar perayaan konsumsi. Fenomena ini dikenal dengan compensatory comsumption―dimana seseorang mengkonsumsi yang lebih untuk menutupi perasaan kekurangan yang dialami sepanjang hari. Ini adalah refleksi dorongan bawah sadar yang mengaitkan antara makanan dengan rasa aman dan bentuk kepuasan.
Kembali ke hikmah puasa
Ada baiknya kita merenungkan kembali hikmah puasa yang disampaikan Kiai Ahmad Abdul Hamid. Bahwa puasa bukan tentang membalas lapar dengan pesta. Bukan pula sekadar ritual, melainkan memiliki dimensi ekonomi dan sosial. Puasa adalah tentang mengendalikan keinginan dan mengelola sumberdayanya secara lebih bijak. Hikmah mengurangi ongkos biaya dari Kiai Ahmad, bukan sebatas mengurangi konsumsi individu. Tidak. Hikmah tersebut adalah bentuk lain akan pentingnya redistribusi sumber daya dan strategi menciptakan keseimbangan ekonomi masyarakat. Karena puasa membawa misi pembebasan, bukan penjara baru dalam sistem kapitalisme.
Bulan Ramadhan bukan tentang siapa yang bisa menyajikan makanan paling enak saat berbuka, tetapi siapa yang mampu menjaga diri dari nafsu rakus yang tersembunyi. Banyak yang berpuasa, namun justru nafsunya menemukan jalan sendiri, menyelinap dalam bentuk lain―dalam keinginan akan hidangan yang lebih lezat, lebih mewah, lebih banyak.
Pada akhirnya, esensi puasa yang dikemukakan Kiai Ahmad Abdul Hamid menggiring kita untuk merubah kesadaran. Bahwa puasa tidak tergantung pada statistik konsumsi atau fluktuasi harga pasar. Tidak pula terletak di meja makan yang penuh atau kosong, tetapi dalam hati yang menjalankannya―apakah ia menjalani dengan penuh kesadaran, ataukah hanya sekadar ritus tahunan? berlalu begitu saja tanpa ada makna? Wallahua’lam.