‘Lakum Partaikum Walana Partaiuna’
Oleh M. Zidni Nafi’
Secara teologis, agama Islam sangatlah toleran. Makanya Al-Quran menyebutkan potongan sebuah ayat dalam Surat Al-Kafirun, lakum dînukum waliyadîn, bagimu agamamu, bagiku agamaku. Ayat ini dapat sebagai landasan penegasan bahwa keragaman agama di dunia ini merupakan suatu keniscayaan (sunnatullah).
Dalam kata lain, Allah tidak menghendaki adanya satu agama saja yang eksis di muka bumi, meskipun sesungguhnya Dia punya kuasa untuk menciptakan situasi dan kondisi yang demikian. Oleh karenanya, membangun pola pikir dan sikap dalam menyikapi keragaman keagamaan sangat penting agar tidak ‘kagetan’ ketika melihat perbedaan di sekitar kita.
Sebagian ulama mengembangkan lebih dalam lagi, terutama karena berangkat dari derasnya arus dinamika perbedaan mazhab di kalangan Muslim. Sehingga muncul juga semacam kaidah, lakum mazhabukum wa lana mazhabuna, bagimu mazhabmu dan bagiku mazhabku. Ini juga mengisyaratkan bahwa pemahaman atau tafsir terhadap Islam tidak mungkin tunggal. Masing-masing mazhab di dalam beberapa aspek keagamaan memiliki metode, hasil hukum, hingga paradigma yang berbeda-beda.
Terinspirasi dari ayat di atas, dalam konteks Indonesia saat ini perlu juga menghadirkan sejenis kaidah “lakum partaikum walana partaiuna”, bagimu partaimu dan bagiku partaiku. Mengapa kaidah ini dirasa penting? Selain mazhab atau aliran keagamaan, di Indonesia juga terdapat beragam partai.
Partai Hanya Jalan, Bukan Tujuan
Istilah “lakum partaikum walana partaiuna” yang diperkenalkan oleh KH Ma’ruf Amin ini memang terdengar kocak, tapi sangat penting untuk disadari bersama oleh umat beragama di Indonesia. Kita sudah mengetahui, selain telah terkotak-kotak dalam mazhab, aliran, hingga ormas, umat Islam juga seringkali terkotak-kotak—bahkan konflik—dalam perbedaan partai, baik itu sebagai politikus, kader, atau hanya sebatas simpatisan saja.
Sejarah mencatat, momen-momen pemilihan umum dalam berbagai level, tidak jarang membuat masyarakat benar-benar terkuras tenaga dan materinya demi mendukung calon yang maju dalam konstelasi perpolitikan. Sayangnya, dukung-mendukung banyak yang tidak sehat dan tidak subtansial, bahkan beberapa kasus ada yang menggunakan sentimen SARA untuk melibas partai lawan.
Jauh sebelum hari ini kita bisa mengamati tidak sedikit partai-partai yang mengalami konflik, perpecahan, muncul dualisme kepemimpinan, dan lain sebagainya. Walaupun itu semua adalah bagian dari dinamika berpartai, namun seringkali melahirkan perpecahan hubungan secara personalmaupun kelompok.
Perbedaan dukungan terhadap pimpinan partai seolah-olah merupakan suatu masalah serius dan membutuhkan standar ganda untuk lawan politiknya. Akibatnya, kesamaan agama, mazhab, bahkan ormas pun bukanlah menjadi jaminan adanya toleransi, kerukunan, dan relasi produktif atas nama memperjuangkan rakyat.
Membangun Toleransi Politik
Kita bisa mengingat kembali Pemilu Presiden 2014, bagaimana hajat demokrasi tersebut berdampak luar biasa di tataran masyarakat akar rumput hingga saat ini. Pembelaan, penghinaan, fitnah, cibiran, bertebaran di mana-mana, terutama media sosial. Seolah-olah mereka yang berpartai dan simpatisannya yang kurang sehat dan kurang waras hendak mengatakan, “Apa pun agamamu, apa pun ormasmu, kalau beda partai dan pendukung, kita akan lawanhabis-habisan”.
Belum lagi gejolak Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu yang memunculkan kelompok pembela agama atas kasus Ahok. Klaim aksi sebagai momentum persatuan umat Islam Indonesia kini malah melahirkan sentimen baru. Kelompok yang aksi menganggap kelompok yang tidak ikut aksi sebagai Muslim yang imannya lemah atau tidak pro Islam. Sebaliknya, mereka yang tidak ikut aksi menganggap ada motif politik di balik aksi-aksi bela agama.Nampaknya hanya sedikit saja yang bisa memahami posisi masing-masing pihak secara bijak.
Gambaran peristiwa di atas dapat menjadi bukti bahwa konflik dan perpecahan di Indonesia saat ini cenderung bersumber dari “perbedaan partai”. Perbedaan demikian kemudian dibawa-bawa dalam berbagai aspek. Akibatnya muncul sikap fanatisme dan arogansi pendukung partai yang terlewat batas.
Makanya Indonesia terutama umat Islam saat ini harus membangun kesadaran untuk menumbuhkan sikap ”toleransi partai”. Meskipun ada yang mengatakan berpartai politik itu kejam, tidak boleh baper, namun demi integritas dan keharmonisan bangsa haruslah mengedepankan sikap toleransi terhadap orang atau kelompok yang berbeda partai.
Maksud dari toleransi partai di sini merupakan penegasan bahwa partai hanya wadah, jalan dan tidak sesakral keimanan beragama. Berbeda partai itu hal biasa, perlu sikap saling menghargai dan menghormati kepada orang yang berbeda selera partai politiknya. Dalam partai, benar dan salah tentu sangatlah relatif, karena semuanya tergantung pada kebijakan dan kepentingan apa yang mau diperjuangan.
Untuk itu, dalam momentum pesta demokrasi seperti sekarang ini, prinsip lakum partaikum walana partaiuna bisa menjadi pegangan penting dalam membina hubungan yang sehat dan produktif sesama pejuang dan simpatisan politik. Kalau tidak demikian, apakah kita rela dan tega menyaksikanmasyarakat pecah, diadu domba, saling caci maki, menyebar hoaks, bentrok bahkan sampai perang gara-gara berbeda partai politik?
Penulis adalah santri alumnus Qudsiyyah Kudus, Penulis buku “Menjadi Islam, Menjadi Indonesia”
Sumber : NU Online