Lurah Santri Putri Pesantren Citangkolo Ini Hafal Al-Qur’an 30 Juz
Banjar, NU Online
Lurah santri putri Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Nurkholifah, merupakan seorang penghafal Al-Qur’an. Ia menceritakan pengalamannya suka dan dukanya saat menghafal Al-Qur’an.
“susah senang sih dalam menghafal,” ungkapnya kepada NU Online, Selasa (26/2) di lokasi pesantren yang tengah menjadi tuan rumah Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama dari 27 Februari hingga 1 Maret itu.
“Waktu saya belum mondok, dulu, saya belum lancar membaca Al-Qur’an. Tapi setelah belajar di sini, perlahan saya bisa dan suka membacanya. Terus saja ngaji binadzri (membaca dengan melihat ayat-ayat Al-Qur’an, red.), selama tiga tahun. Kemudian saya disuruh menghafal Al-Qur’an oleh Umi (bu nyai). Awalnya saya takut tidak bisa menjaga hafalan saya, tapi ya saya jalani saja. Dan alhamdulillah akhirnya saya khatam dalam 3 tahun,” ceritanya.
Ia mengaku agak kerepotan saat menghafal Al-Qur’an. Sebagai lurah pondok putri, di samping menjaga hafalan, ia juga harus membimbing, memberi contoh kepada para santriwati lain. Di sisi lain, sebagai seorang mahasiswi, ia juga mendapat banyak tugas makalah. Namun, semua itu terobati saat hafalannya bertambah.
“Senengnya kalau sudah dapat beberapa juz; rasanya hati saya tenang dan selalu termotivasi,” katanya.
Nurkholifah mulai menjadi santri Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-azhar Citangkolo pada 2008. Ia berasal dari Gandrung Mangu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Satriwati yang akrab disapa Mbak Olip ini, mengaku mengidolakan Hadratusyekh KH Hasyim Asy’ari.
“Seneng didatangi alim ulama baik nasional maupun internasional. Ini merupakan suatu kesempatan yang sangat wah sekali,” ungkapnya ketika ditanya soal kesan Munas dan Konbes, “Semoga berjalan lancar dan berkah, bermanfaat untuk Indonesia,” tambahnya.
Menurutnya, NU adalah ormas Islam terbesar yang mencintai negaranya. Ormas semacam NU, perlu ada dan terus ada negara ini di tengah banyak aliran yang membenci negara berdasarkan agama.
“Dengan adanya acara ini, saya jadi tahu bagaimana menyelenggrakan acara. Zaman sekarang santri itu harus bisa ilmu keorganisasian. Itu pun sudah disebut ngaji,” tegasnya.
Santriwati kelahiran 1993 berterima kasih kepada para bu nyai dari para pengasuh pondok Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-azhar Citangkolo yang semuanya penghafal Al-Qur’an yang tak pernah membimbingnya dan para santri lain.
“Dengan bimbingan para bu nyai itulah, para santri dapat menghkatamkan hafalan 30 juz Al-Qur’an,” pungkasnya. (Siti Aisyah/Abdullah Alawi)
Sumber : NU Online