Liputan Media NU : Menguping Pembicaraan NU – Muhammadiyah Akhir Pekan ini
NU Muhammadiyah Kerja Sama Bangun Ekonomi dan Sosial
Jakarta, NU Online
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengadakan silaturahim di gedung PBNU, Jakarta, pada Jumat (23/3). Kedua pimpinan ormas terbesar di Indonesia itu saling bertukar pikir dalam membahas kebangsaan. Salah satunya tentang kesenjangan sosial.
Kiai Said menyatakan bahwa pertukaran pikiran yang dilakukan di lantai tiga gedung PBNU itu guna menyelaraskan cita-cita dan orientasi. Hal itu juga perlu ditindaklanjuti dengan aksi bersama.
“Silatul afkar harus ditindaklanjuti menjadi silatul amal, mari kita membangun dua organisasi membangun jaringan silatul amal,” ujarnya.
Kiai itu berharap agar NU dan Muhammadiyah bisa bekerja sama saling membangun untuk bidang ekonomi dan sosial. Percuma misinya sama, tapi aksinya tak sama, tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah juga menyampaikan pentingnya mengatasi isu ekonomi dan sosial tersebut. Kesenjangan sosial, menurut Haedar, memicu banyak hal, ekstremisme, radikalisme, benih konflik, dan lainnya.
“Komitmen harus ada itikad bersama seluruh kekuatan termasuk yang punya aset dan penguasaan ekonomi berlebih untuk tidak rakus dan mari berbagi bahwa ada komitmen keindonesiaan agar ini berjalan,” tandasnya.
Pada pertemuan tersebut hadir jajaran Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini, Bendahara Umum PBNU H Bina Suhendra, Ketua PBNU H Marsudi Syuhud dan beberapa pengurus PP Muhammadiyah seperti Sekretaris Umum H Abdul Mu’ti, Bendahara Umum Suyatno. (Syakir NF/Muiz)
Sumber : NU Online
NU dan Muhammadiyah Sepakat Jaga Keutuhan NKRI
Jakarta, NU Online
Indonesia memiliki wilayah yang cukup luas, dari Sabang hingga Merauke. Tidak hanya wilayah yang luas, Indonesia juga kaya akan budaya.
Dalam silaturahim keluarga besar NU dan Muhammadiyah, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyampaikan bahwa keharusan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Keutuhan NKRI bukan hanya keutuhan geografi, bukan hanya keutuhan wilayah, tapi juga keutuhan budaya,” katanya di gedung PBNU lantai 5, Jakarta, Jumat (23/3).
Kiai Said menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus bangga akan budayanya. Ia mencontohkan beberapa kiai, seperti Gus Dur, Gus Mus, Habib Quraish Shihab, Prof Said Agil Munawwar, dan Mbah Maimoen belajar ke negara Arab tetapi pulangnya membawa ilmu, tidak dengan budayanya.
“Silakan belajar ke Australia kayak Pak Mukti (Sekretaris Jenderal PP Muhammadiyah), tapi pulang harus bawa teknologi dan ilmu saja. Jangan bawa budaya,” kata kiai lulusan Arab Saudi itu.
Hal itu dikarenakan budaya Indonesia, menurut Kiai Said, lebih mulia dan lebih bermartabat. Ia mencontohkan di Arab, adik memanggil kakak tidak dengan sebutan penghormatan seperti Mas atau Kang. Pun istri kepada suami. Mereka menyapa dengan namanya
“Belum lagi, kita lagi sujud, mereka biasa saja melangkah di atas kepala kita,” ucap kiai asal Cirebon itu.
Indonesia itu darul muahadah (negara kesepakatan) atau darussalaam (negara perdamaian). Sejak dulu, NU dan Muhammadiyah sepakat akan negara Indonesia. Hal ini diwakili oleh KH Wahid Hasyim dari NU dan H Kahar Muzakkir dari Muhammadiyah pada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Tiga hal penting agar Indonesia tetap eksis
Senada dengan Kiai Said, Ketua Umum PP Muhammadiyah juga mengungkapkan bahwa Indonesia bukan sekadar fisik.”Indonesia bukan fisik. Indonesia juga bukan instrumen yang vakum,” katanya.
Mengutip ungkapan dari Bung Karno, alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) itu mengatakanjiwa Indonesia terletak pada filosofis groundslagh-nya, yakni Pancasila dan agama.
“Di situ ada jiwa, ada pikiran, ada cita-cita di mana bangunan Indonesia diletakkan,” ujarnya.
260 juta bangsa Indonesia memahami cita-cita memahami cita-cita tersebut. Mereka yang akan mewariskan pemikiran tersebut. Inilah yang akan terus NU dan Muhammadiyah tanamkan kepada generasi muda ke depan.
“Indonesia eksis ketika nilai-nilai dan cita-cita kebangsaan yang diletakkan oleh pendiri bangsa itu tetap lengkap menjadi alam pikiran, menjadi jiwa,” katanya.
Jika iman dan takwanya hilang, nilai perjuangannya luruh, dan cita-cita serta filosofis groundslagh-nya tidak ada, menurut Haedar, Indonesia bisa bubar. Tapi ia optimis, Indonesia akan tetap utuh jika tiga hal di atas tetap dipegang teguh.
“Jadi, selama tiga hal tersebut terpenuhi, insyaallah kita akan tetap eksis,” pungkasnya.(Syakir NF/Muiz)
Sumber : NU Online
Ini Sikap NU dan Muhammadiyah Hadapi Tahun Politik
Jakarta, NU Online
Tahun 2018 menjadi tahun politik karena adanya pilkada serentak pada Juni mendatang, pun tahun 2019 akan diselenggarakan Pilpres dan Pileg. Menyikapi hal tersebut, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyatakan bergandengan tangan dengan Muhammadiyah.
“Di tahun politik ini, sudah seharusnya kita bergandengan tangan,” katanya saat silaturahim PBNU dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di gedung PBNU, Jakarta, Jumat (23/3).
Suasana politik makin menghangat akhir-akhir ini. NU dan Muhammadiyah berupaya untuk menciptakan suasana yang dingin.
“Saya dan Pak Haedar sepakat untuk menciptakan ketenangan, kanyamanan, kedamaian, Pilkada berjalan, Pilgub Pilbup berjalan, Pilpres Pileg nanti berjalan,” ujar Kiai Said.
Kiai yang menghabiskan pendidikan tingginya di Arab Saudi itu meminta bangsa Indonesia untuk menunjukkan diri sebagai bangsa yang bermartabat, bukan bangsa yang tidak beradab.
“Tunjukkan kita ini umat berbudaya, mutamaddin,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah H Haedar Nashir menyikapi situasi politik saat ini harus lebih dewasa dalam bernegara mengingat reformasi telah berjalan dua dasawarsa.
Sejarah, menurut Haedar, tidak pernah diskontinuitas. Dinamika politik bakal tetap ada. Mengibaratkan dengan rumpun bambu, Haedar mengatakan meskipun terlihat indah, masih ada gesekan antarbambu saat diterpa angin.
“Silakan kritik dibalas kritik, lalu muncul kritik baru itu biarkan (agar) bangsa ini dewasa,” katanya.
“Mari para elit memberi contoh, dalam dinamika ini tetap ada fatsun, ada moralitas, ada akhlak, dan ada kepentingan bersama diletakkan di atas kepentingan pribadi dan golongan,” lanjutnya menegaskan.
Haedar meminta jangan terlalu gengsi dan jangan terlalu cengeng. Ia juga mengingatkan agar Pilkada dan Pilpres tidak untuk perebutan kursi. Tapi, hal yang penting adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan agenda menyelesaikan kesenjangan sosial. (Syakir NF/Muiz)
Sumber : NU Online