Memaknai Idul Fitri
Ramadhan akan segera pergi. Bagi sebagian orang, telah pergi. Di tengah hiruk-pikuk setengah hati perbedaan jatuh harinya 1 Syawwal 1444 H, Ramadhan tahun ini tetap akan berlalu meninggalkan kita cepat atau lambat. Sebut beruntung bagi kita yang sehari berlama-lama dengan sasih shaum. Memang mengecewakan di tengah banyaknya peluang untuk menyatukan momen 1 Syawwal yang dilewatkan, namun tak tega atau tidak mungkin juga untuk mengucapkan “Lana a’maaluna walakum a’maalukum”. Sudahlah, itu sudah terjadi (lagi) di tahun ini dan beruntung masyarakat sudah bertambah imun menyikapinya.
Mari tengok Idul Fitri yang akan kita jelang. Ini pun tak kalah seru untuk diperbincangkan. Malam tadi, di sebuah TV swasta Mas Ketua PBNU Savic Ali dan Pak Sukidi yang disebutkan sebagai pemikir kebhinekaan gayeng membahas makna Idul Fitri. Pak Sukidi mengkritisi pandangan umum bahwa Idul Fitri sebagai momen kembalinya pada fitrah kesucian, enak buat para koruptor negeri ini. Korupsinya sudah, tinggal mencuci dosa nya dengan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan sebaik-baiknya, lalu selesai sudah dosanya dan kembali jadi manusia suci yang baru dilahirkan. Meskipun ada celah, “Bagaimana kalo sang koruptor benar-benar tobat dan benar-benar diampuni dosanya oleh Allah SWT ? Tidak ada yang tahu juga kan ? “. Tapi memang, seingat saya belum pernah kejadian di negeri ini, koruptor yang taubatan nasuha di bulan Ramadhan kemudian pada bulan Syawwal menyerahkan diri ke KPK misalnya, mengakui perbuatan korupsinya dan mengembalikan seluruh harta hasil korupsinya kemudian bersedia mendekam di penjara untuk melanjutkan pertaubatannya.
Intinya, obrolan gayeng itu menyebutkan ada pemaknaan Idul Fitri di tengah masyarakat yang tidak berbanding lurus dengan Idul Fitri yang berarti hari untuk ifthar. Kembalinya mode pola makan-minum dll dari sebelumnya dilakukan setelah Adzan Maghrib, kembali ke mode normal. Mas Savic menggarisbawahi, ifthar pada Syawwal dan seterusnya itu harus dilakukan dengan cara yang lebih takwa sebagai hasil didikan di bulan Ramadhan.
Sudah pasti setiap orang memaknai Idul Fitri dengan cara dan daya pikirnya sendiri. Ada yang memaknainya dari segi etimologis, historis, filosofis, dan juga realis. Itu sah-sah saja. Demikian halnya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Dalam Al-Ghuniyah li Thalibi Tariqil Haq Azza wa Jalla fil Akhlaq, wat Tashawwuf, wal Adabil Islamiyah, Syekh Abdul Qadir memaknai hari Id sebagai berikut :
“Idul Fitri itu bukan mengenakan pakaian bagus, mengonsumsi makanan enak, memeluk orang-orang tercinta, dan menikmati segala kelezatan duniawi. Idul Fitri adalah kemunculan tanda penerimaan amal ibadah; pengampunan dosa dan kesalahan; penghapusan dosa oleh pahala; kabar baik atas kenaikan derajat di sisi Allah, ‘pakaian’ pemberian, ‘harta benda’ baru, aneka pemberian, dan kemuliaan; kelapangan batin karena cahaya keimanan; ketenteraman hati karena kekuatan keyakinan; tanda-tanda Ilahi lain yang tampak; pancaran lautan ilmu dari dalam sanubari melalui ucapan; pelbagai kebijaksanaan, kafasihan, dan kekuatan retoris.”
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak menolak hal-hal yang bersifat lahiriyah-material yang biasa hadir saat Idul Fitri. Tetapi ada yang tidak kalah dari unsur material, yaitu aspek non-material. Baginya, ketakwaan dan penerimaan amal-ibadah jauh lebih penting dari semua yang bersifat lahiriyah.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengutip riwayat Sayydidina Ali RA yang memakan roti dengan kualitas rendah di hari raya Idul Fitri. Betapa terkejutnya seorang sahabat yang mendapati Sayyidina Ali RA sedang memakan roti dengan kualitas rendah di hari raya Idul Fitri.
“Bukankah ini hari raya wahai Amirul Mukminin? Kenapa memakan roti seperti itu?”
“Hari raya Id itu bagi mereka yang puasanya diterima, amal ibadahnya diterima, dan dosanya diampuni. Bagiku, hari ini, hari raya Id, (mungkin) begitu juga esok hari. Setiap hari (jika) aku tidak bermaksiat kepada Allah, dan itu artinya setiap hari adalah hari raya Id bagiku,” jawab Sayyidina Ali RA. Redaksi serupa menyebutkan, “Setiap hari adalah Idulfitri bagi mereka yang tidak berbuat dosa”.
Idul Fitri bisa juga dimaknai dengan kembalinya ke masa-masa “sulit” dan “terjepit” seperti yang disebutkan dalam al-Hikam, “Kedatangan saat-saat ‘terjepit’ adalah hari raya Id bagi kalangan murid,” (Ibnu Athaillah, Al-Hikam).
Bagi para sufi, hari raya Id merupakan saat-saat atau pengalaman spiritual di mana seseorang merasa rendah, hina, dan tidak berdaya di hadapan kekuatan maha besar Allah. Bagi para sufi, hari raya Id merupakan saat di mana mereka tidak lagi mengingat nafsu dan ketinggian diri mereka.
Yang mereka ingat hanya kerendahan, kedaifan, kefakiran, kelemahan diri, dan segala atribut kehambaan mereka di hadapan Allah. Pengalaman spiritual atau momentum kefakiran seperti ini adalah hari raya Id. Apalagi saat Ramadhan akan segera meninggalkan kita, bulan yang memanjakan kita dengan limpahan Rahman-Rahim dan ampunan Allah SWT beranjak pergi.
Bukankah demikian ?