Menteri Agama Gus Yaqut Jelaskan Paradoksal Globalisasi
Nusa Dua, NU Online – Menteri Agama Republik Indonesia H Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan, globalisasi melahirkan sebuah paradoks, dua hal yang sama sekali bertentangan. Di satu sisi ada turis dan di sisi lain ada gelandangan. Turis atau wisatawan itu merupakan analogi orang kaya yang tengah berlibur dan menyenangkan, sedangkan gelandangan gambaran kaum miskin terlunta, seperti pengungsi dan kaum imigran.
Hal itu disampaikan pada Sesi Panel Forum Agama G20 atau Forum R20 di Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua, Bali, Rabu (2/11/2022).
Semua masyarakat dan wilayah dunia, antara utara dan selatan, dunia pertama dan dunia ketiga, orang kaya dan orang miskin, semua terjalin secara paradoks dalam persamaan kultural sekaligus perbedaan jurang ekonomi dan sosial. Namun, globalisasi tetap tidak mungkin menghapuskan perbedaan-perbedaan dari warga atau umat masing-masing yang suaranya diwakili di sini. Globalisasi tidak mengubah fondasi tatanan lokal, nasional, regional, dan dunia, meski salah satunya dengan homogenisasi budaya.
“Homogenisasi dalam kebudayaan bisa berarti ekstreminasi dan kekerasan simbolik. Ia menghapuskan jejak identitas dari suatu masyarakat dan budaya lokal yang sebelumnya eksis, baik itu adatnya, makanannya, sistem politiknya, dan simbol-simbol kebudayaan lainnya,” kata pria yang akrab disapa Gus Yaqut itu.
Dengan itu, globalisasi mengundang balik respons dan tantangan. Misalnya adalah respons yang bermaksud menyuarakan identitas mereka yang dipinggirkan oleh globalisasi. Pada sisi yang lebih ekstrem, sebagian gerakan fundamentalisme agama juga muncul sebagai respons dari keruntuhan negara bangsa di kawasan Persia dan homogenisasi yang dilahirkan oleh globalisasi proses global yang intensif.
“Ini tidak hanya menggeser warga dari peta tradisional geopolitik dunia, tetapi juga menghancurkan sentralisasi yang telah diduduki oleh negara yang menunjukkan bahwa penyesuaian yang signifikan dengan persyaratan politik yang baru diperlukan untuk menopang hidup negara bangsa agar tetap relevan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Gus Yaqut menyampaikan, hal di atas adalah globalisasi yang paradoksal yang mengintegrasikan manusia dalam kultur global, tapi sekaligus dengan itu dia justru membelah dan membangun stratifikasi baru yang mengakibatkan banyak kaum miskin di berbagai negara yang ekonominya lemah makin menderita.
“Globalisasi dalam kisah ini boleh diibaratkan selaksa gelombang pasang yang memporak-porandakan identitas, bukan hanya bagi negara bangsa tetapi juga bagi kemanusiaan universal serta religius,” katanya.
Namun untungnya, cerita tidak sampai di sini. Sejak setidaknya tahun 2020, dunia mengalami globalisasi dalam rupa yang sama sekali berbeda. Globalisasi sebagai bencana duka cita sekaligus solidaritas.
Dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya, globalisasi ini bukan hanya telah mengonfirmasi ulang dan mengonfigurasi ulang struktur transnasional mobilitas dan koneksi yang telah menjadi dasar bagi globalisasi pascaperang dingin menghadapkan setiap orang di belahan dunia mana pun, dengan latar belakang kelas sosial apa pun, agama dan bangsa yang berbeda-beda untuk berhadapan dengan bela sungkawa universal di dalam pandemik, baik turis maupun gelandangan sama-sama menghadapi risiko yang dihadapkan dengan keganasan virus yang mematikan.
“Globalisasi ini mengalirkan pandemik sebagai pengalaman bersama duka cita dari kematian yang sunyi, ruang-ruang isolasi, tapi di saat yang sama ia juga membangkitkan militansi akal budi saya dan kerja keras semua bangsa,” katanya.
Dari sini, ia meminjam perumpamaan dari seorang pemikir filsafat etika, zaman pandemik ini dapat dirumuskan dalam satu kalimat pendek yang dipetik dari metafora kristianitas, “Jangan pegang aku! Jangan pegang aku apabila kau mengasihi aku.”
“Di sinilah jarak dipertahankan justru dalam rangka memelihara keakraban sosial dan solidaritas pandemi memaksa orang untuk mengambil tindakan etis di mana keselamatan diri hanya bisa dipertahankan melalui keselamatan orang lain. Dengan itu, wabah yang mengerikan menghadirkan kegentaran tapi sekaligus menumbuhkan atmosfer etik mulia,” katanya.
Globalisasi pandemik mengajarkan umat manusia, betapa berharga dan pentingnya ilmu kedokteran bersama-sama dengan kekuatan solidaritas dan kesukarelaan antarmanusia menuntun kita keluar dari bencana. Namun, etika solidaritas dan kemanusiaan yang memelihara dan memperkuat pikiran dan kesehatan jiwa manusia selama dalam bencana dengan kata lain bagi kita orang yang beriman menghadirkan kengerian yang mencengangkan yang menakutkan. Namun di saat yang sama, jika menunjukkan sisi-sisi kemuliaan manusia yang menandakan adanya cakrawala kebaikan yang transenden itu, di titik itulah, ia meyakini bahwa solidaritas manusia akan lebih merekah dan tumbuh apabila ia diatur oleh keserasian antara akal budi dan nilai-nilai yang baik.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Syamsul Arifin