Menyoal Kebijakan Kampus Merdeka
Taufik Zaenal Mustofa, Indramayu – Education is the kindling of a flame, not the filling of a vessel- Socrates
Pada peluncuran logo kampus merdeka pada awal tahun 2020, Direktur Jenderal Pendidikan Kemdikbud, Prof. Dr. Nizam, menyatakan bahwa semangat dari kebijakan Kampus Merdeka adalah memerdekakan ruang keilmuan. Semangat itu selaras dengan apa yang dikatakan oleh Mendikbud, Nadiem Makariem, bahwa kebijakan Kampus Merdeka akan melepaskan belenggu kampus sehingga akan lebih mudah bergerak.
Ada orientasi untuk menerobos jarak, fleksibel, dan merdeka di sisi yang lain dari semangat tersebut. Suatu hal yang memang diperlukan di era Revolusi Industri 4.0 yang serba cepat dan dinamis ini. Akan tetapi, apakah semua kampus akan mampu dan cepat beradaptasi dengan kebijakan tersebut? Berapa lama kemudian kampus-kampus kecil dapat menerapkannya?
Kebijakan Utama Kampus Merdeka
Ada empat paket kebijakan yang diusung Kampus Merdeka. Mulai dari kemudahan akreditasi perguruan tinggi, kebebasan mahasiswa untuk belajar tiga semester di luar prodinya, bahkan di luar kampusnya, pemberian otonomi kepada kampus untuk membuka program studi baru, hingga kemudahan proses peralihan status Perguruan Tinggi Badan Layanan Umum (PTNBLU) menjadi Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum (PTN-BH).
Ada banyak pertanyaan tentang empat paket kebijakan Kampus Merdeka tersebut. Pertanyaan terbesar kemudian muncul dari proses implementasi pemberian kebebasan mahasiswa untuk belajar di luar prodinya, bahkan luar kampusnya. Bagi kampus-kampus yang belum memiliki sistem administrasi yang mapan, penanganan administrasi mahasiswa yang pindah-pindah tentu akan membutuhkan usaha yang luar biasa menyita waktu dan tenaga, belum lagi mengenai standar penilaian yang berbeda tiap kampus. Usaha-usaha penyelarasan dan sosialisasi yang membutuhkan waktu akan berujung semakin lebarnya jarak antara kampus-kampus mapan dan kampus-kampus yang baru berdiri dan berkembang dalam hal waktu penerapan kebijakan Kampus Merdeka. Bukankah suatu kebijakan membutuhkan masa transisi. Transisi inilah yang kemudian menjadi pembeda cepat-lambat, mulus atau tidaknya penerapan kebijakan Kampus Merdeka di berbagai perguruan tinggi.
Episode yang Datang Tak Kunjung Henti
Kebijakan Kampus Merdeka tidak berhenti hanya pada empat paket kebijakan utama yang diusung di awal tahun 2020 saja. Seiring berjalannya waktu, bermunculan episode-episode yang bukan hanya membutuhkan pemahaman bertahap tetapi juga masa penerapan yang dituntut cepat.
Episode Kampus Merdeka muncul – pada saat opini ini ditulis- di episode enam: Transformasi Dana Pemerintah untuk Pendidikan Tinggi, episode sembilan: KIP Kuliah Merdeka, dan episode sepuluh: Perluasan Program Beasiswa LPDP. Pada episode enam ada tiga program utama. Pertama, kinerja perguruan tinggi difokuskan menjadi delapan kinerja utama yang relevan. Program ini kemudian menyediakan insentif bagi PTN yang didasarkan pada delapan Indikator Kinerja Utama (IKU). Adapun delapan IKU tersebut adalah: terserapnya lulusan, banyaknya pengalaman di luar kampus untuk mahasiswa, baik dengan magang, pertukaran mahasiswa, ataupun riset, dosen bergiatan di luar kampus, praktisi mengajar di dalam kampus, hasil kerja dosen dapat digunakan masyarakat dan mendapat rekognisi internasional, program studi bekerja dengan mitra kelas dunia, kelas yang kolaboratif dan partisipatif, dan program studi berstandar internasional. Sebuah indikator yang tentunya diimpikan semua pimpinan perguruan tinggi untuk dapat dicapai. Mimpi untuk melihat kampusnya dapat mencetak sarjana unggul dan menjadikan riset dosen-dosennya relevan. Mimpi yang bahkan di beberapa perguruan tinggi baru dicanangkan lima-sepuluh tahun ke depan.
Kedua, program matching fund. Program ini ditujukan untuk mengakselerasi kontribusi industri bagi pengembangan pendidikan dan penelitian di perguruan tinggi. Ketiga, pendanaan kompetitif atau competitive fund untuk mendorong inovasi dan terobosan pendidikan tinggi yang berorientasi pada masa depan. Kedua program tersebut menuntut syarat suatu road map penelitian yang jelas dan runut dari dosen atau penelitinya. Suatu hal yang kemudian menjadi hal langka untuk kampus-kampus yang baru atau berkembang. Selain itu, kinerja perguruan tinggi dengan dosen-dosennya tentu selaras dengan modal yang dikeluarkan perguruan tinggi tersebut. Semakin besar kampus, semakin besar pula dananya, semakin jelas pula road map penelitian dari setiap dosen di dalamnya, begitu pun sebaliknya. Tahapan yang tentunya tidak bisa dicapai oleh perguruan tinggi baru dua-tiga tahun berdiri.
Kebijakan Kampus Merdeka memberikan optimisme tinggi akan sebuah perguruan tinggi yang dapat menghasilkan sarjana-sarjana unggul dan dosen-dosen berkualitas. Tetapi, dengan perbedaan sarana-prasana antarkampus dan pendeknya waktu untuk mengimplementasikan itu semua membuat optimisme ini harus berpijak bumi.
Akhirnya, yang paling penting dari itu semua adalah mari kita bersama-bersama bukan hanya menjadikan mahasiswa layaknya bejana untuk berbagai pengetahuan, tetapi jadikan mereka api yang berkobar, yang bisa memerdekakan mereka dari belenggu-belenggu kebodohan dan kejumudan berpikir.