MERDEKA DARI SISI GELAP GAYA HIDUP
Zahro Diniyah – Setiap bangsa yang terlahir, selain membawa seperangkat tempat tinggal, batas teritorial, kekayaan alam, undang-undang, norma dan tata tertib, juga dibekali hak untuk merdeka demi menjunjung poin-poin kedaulatan. Karena sejatinya, kemerdekaan ialah batu pertama yang mesti diletakkan sebelum membangun suksesi sebuah negeri.
Sejak Indonesia merdeka tujuh puluh sembilan tahun lamanya, tidak terhitung anak bangsa yang mengangkat buah-buah pemikiran mereka untuk mencatat definisi kemerdekaan yang sejati. Ada yang mengaitkannya dengan kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan memilih jalan hidup, kemerdekaan memilih keyakinan, kemerdekaan menuntut ilmu, mendapatkan fasilitas yang layak, jaminan kesehatan, jaminan keamanan dan sub materi lainnya yang dirasa cocok dijadikan sisi terminologi untuk kata “Merdeka”.
Tidak lama kemudian, mereka rem mendadak ketika merasa bahwa sebenarnya Ibu Pertiwi ini belum seutuhnya merdeka. Ada yang beralasan biaya hidup sehari-hari mahal, uang SPP mahal, sandang pangan papan mahal, kontaminasi budaya asing, tontonan yang tidak tersaring, pertikaian lintas suku, ras, agama dan lain-lain.
Sebetulnya, ada yang dilupakan oleh kita dan mereka. Bahwa, kemerdekaan ini jelas faktual dan sudah final tanpa harus dibuat ragu oleh sebab kenyataan hidup setiap individu. Hanya saja, kemerdekaan ini sendiri perlahan dikikis oleh hipokrisi yang timbul dari masing-masing diri sebab terjajah oleh keinginan yang tidak sepadan dengan kemampuan dan kenyataan.
Dalam sektor perekonomian, kita sudah merdeka. Untuk memperoleh sandang, banyak alternatif yang bisa digunakan tanpa harus mengeluarkan nominal uang yang banyak. Tapi apa ? Tidak sedikit dari kita yang memaksakan diri membeli pakaian mewah demi bersaing di kancah busana padahal modal yang dimiliki tidak seberapa.
Demikian untuk memperoleh hak pangan, pun banyak varian booster gizi yang bisa didapat di ladang-ladang, pasar-pasar tradisional dengan bandrol harga yang bisa menyesuaikan nilai ekonomi konsumen. Namun bagaimana? Banyak dari kita yang terbawa dampak negatif daya tarik kuliner. Lidah kita banyak yang akhirnya tergoda oleh panganan lintas kasta hingga tak peduli berapapun biaya yang harus direlakan. Padahal, nilai gizinya sama saja.
Terlebih lagi dalam persoalan papan. Untuk berlindung dari panas dan hujan tentu tidak perlu membangun gedung yang mewah. Cukup dengan pondasi dan tiang-tiang yang kokoh juga tembok dan atap yang tertutup rapi. Bepergian kesana kemari sangat bisa memanfaatkan banyaknya alat transportasi umum yang boleh dipilih sesuai ketersediaan ongkos. Alhasil, biaya yang dibutuhkan untuk dua hal tersebut pun terhitung bisa diusahakan sesuai keadaan.
Namun apa ? Kita tidak bisa menahan diri dari apa yang dimiliki tetangga. Tidak bisa menahan gengsi saat berkumpul dengan sahabat dan kolega. Akhirnya, kejar-kejaran membeli kendaraan, membangun rumah. Kendaraan murah masih belum puas serta merta ambil yang mewah. Tidak betah dengan rumah sederhana hingga terpaksa membangun spek istana.
Dalam sektor pendidikan, kita juga sudah merdeka. Tersedia sekolah-sekolah, tempat kursus, balai-balai pelatihan, lembaga pendidikan keagamaan, dan ruang pembelajaran lainnya dengan beragam fasilitas dan bermacam nilai akreditas. Biaya yang perlu digelontorkan pun bermacam-macam, dari mulai yang ekonomis hingga eksekutif semua ada. Kita bebas memilih belajar dimana saja sesuai basic lembaga dan biaya yang kita inginkan.
Lagi-lagi yang jadi persoalan, masih saja ada dari kita yang memiliki stigma keliru bahwa image manusia berkelas adalah mereka yang belajar di lembaga pendidikan dengan biaya tinggi dan fasilitas kelas atas. Padahal kita seharusnya tahu, penunjang utama kualitas pendidikan bukanlah nilai komersil dan materil sebuah lembaga, melainkan tanggungjawab moral yang benar-benar diterapkan oleh masing-masing pengampu lembaga. Dari mulai pimpinan, guru, murid, hingga perangkat lainnya.
Rasulullah SAW pernah mengutarakan sebuah peringatan lewat haditsnya yang berbunyi,
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Artinya, “Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lihatlah orang yang berada di bawah kalian dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, karena hal itu lebih nyata membuat kalian tidak menganggap rendah nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian.” (Muttafaq ‘alaih).
Konteks dari hadits tersebut sangat mudah dipahami bahwasanya, perasaan serba kekurangan dan serba terbatas pada diri seseorang itu timbul dari kelirunya memposisikan perhatian.
Dalam persoalan dunia, tentu saja kita dituntut untuk melihat mereka yang berada “di bawah” agar ringan mengungkapkan syukur dan selalu merasa berkecukupan. Dengan demikian, tidak perlu muncul dari kita yang menonjolkan perilaku Flexing hingga pada akhirnya meragukan kemerdekaan dari sebab dihampiri banyak kerugian.
Sejatinya, yang sangat perlu dimerdekakan adalah sisi gelap dari gaya hidup yang menurunkan kadar kualitas hidup itu sendiri. Berprilaku sepantasnya, mengambil seperlunya, memiliki semampunya, puas dengan tetap menjadi diri sendiri ialah ulasan paling definitif untuk memaknai hakikat kemerdekaan.
Penulis:
Zahro Diniyah