Munas NU: Hoaks Politik dan Pelintiran Kebencian Jadi ‘Lapangan Pekerjaan’ Baru
Banjar, NU Online
Hal yang paling mengkhawatirkan belakangan ini adalah digunakannya hoaks dalam propaganda politik yang dibungkus dengan isu SARA. Hoaks politik mengandung isu SARA, dan sebaliknya isu SARA dikaitkan dengan isu politik.
Demikian termaktub dalam rekomendasi Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes) yang digelar di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat, 27 Februari-1 Maret 2019. Naskah rekomendasi dibacakan pada sidang pleno, Jumat (1/3) dini hari.
Rumadi Ahmad yang bertugas membacakan naskah rekomendasi di sidang pleno mengatakan, hoaks politik bernuansa SARA perlu menjadi perhatian serius bagi kita semua karena berisi hasutan dan kerap merekayasa ketersinggungan, yang dikenal dengan pelintiran kebencian (hate spin). Hate spin adalah usaha-usaha sengaja oleh para pengobar kebencian untuk mengada-adakan atau merekayasa kebencian.
Hoaks dan hasutan kebencian, tambahnya, harus dilawan, di samping efek sosial yang ditimbulkan, juga karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keislaman yang dipahami NU, sebagaimana tertuang dalam mabadi’ khaira ummah.
Hoaks dan hasutan kebencian mengandung bahaya, antara lain: merendahkan martabat manusia; menyuburkan prasangka dan diskriminasi; dapat memicu kekerasan/kejahatan kebencian, konflik antarkelompok dan paling buruk dapat menyebabkan pembersihan etnis.
Upaya menangkal hoaks pada dasarnya merupakan upaya untuk merawat akal sehat (hifdhul ‘aql) sebagai salah satu kebutuhan primer yang harus dilindungi. Karena itu, bersama melawan hoaks merupakan aktivitas syar’i yang perlu dilakukan bersama. Sebaliknya, orang-orang yang sengaja memproduksi hoaks untuk berbagai kepentingan pada dasarnya merupakan aktivitas yang berlawanan dengan prinsip syariat Islam, yakni hifdhul ‘aql.
Forum Munas-Konbes NU 2019 mendorong pemerintah dan berbagai elemen masyarakat untuk memperkuat literasi digital agar masyarakat mempunyai sikap kritis atas segala informasi yang diterima.Literasi digital harus terus diperkuat sebagai upaya untuk memberi daya imun kepada masyarakat dari pengaruh hoaks dan pelintiran kebencian.
Rumadi menyampaikan, masyarakat harus diberi kemampuan untuk mendeteksi kebenaran informasi yang diterima. Di pihak lain, orang-orang yang dengan sengaja memproduksi hoaks, melakukan pelintiran kebencian dengan maksud apa pun, harus mendapatkan tindakan hukum yang tegas.
“Hal ini diperlukan karena hoaks belakangan ini telah menjadi industri. Banyak orang yang menggunakan hoaks dan pelintiran kebencian sebagai ‘lapangan pekerjaan’ baru untuk menghancurkan kredibilitas orang atau kelompok yang dibenci,” katanya.
Munas-Konbes NU yang dibuka Presiden Joko Widodo ini diikuti perwakilan Pengurus Wilayah NU (PWNU) dari 34 provinsi, lembaga dan badan otonom NU di tingkat pusat, serta para kiai dari berbagai pesantren. Pagi ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla secara resmi menutup Munas-Konbes NU 2019 yang merupakan forum tertinggi setelah Muktamar.
Sebagai pelaksanaan dari mandat keagamaan dan kebangsaan, Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019 menyoroti sejumlah persoalan strategis, antara lain RUU Anti-Monopoli dan Persaingan Usaha, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, bahaya sampah plastik, niaga perkapalan, bisnis money game (MLM), sel punca, politisasi agama, perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) yang menyebabkan sumur warga kering, dan lain-lain. (Mahbib)