NU Cap Apa ?
LTNNU Jabar, Bandung – Pagi tadi notif WA berdenting dikirimi foto karangan bunga di depan gedung PWNU Jawa Barat. Besar-besar tertulis “Selamat Harlah ke-101 NU, teruslah menjadi penjaga keutuhan dan keberagaman bangsa Indonesia”. Pengirimnya tertulis di bagian bawah, “Vanessa Shania SH, Nahdliyyin Tionghoa“.
“Wah, NU cap apa ini ?” dalam hati sumringah.
Menariknya lagi, ruang kosong di kanan di kiri karangan bunga itu membuatnya beraksi ibarat “single fighter“, melenggak-lenggok sendirian.
“Waduh, pada kemana yang lain, yang juga mampu, masak kalah sama Shasha ?” Bisik batinku.
“Oh, mungkin sedang sibuk merayu-rayu suara warga NU atau mungkin sudah “selesai” dengan NU.” Batinku berspekulasi. Maklum pilpres, dan “pil-pil” lain mulai DPR sampai DPRD sedang panas-panasnya.
Saya teringat sebuah kisah dari grup Facebook “Terong Gosong” yang disampaikan, Presiden Republik Terong Gosong seumur hidup kalau bukan abadi, KH. Yahya Cholil Staquf.
Adalah Dokter Fahmi Djakfar Saifuddin, Allah yarham, kakak kandung Pak Luqman Saifuddin, Menteri Agama periode lalu, seorang dokter dan sahabat yang paling “gemati” (penuh perhatian) terhadap Gus Dur. Pak Fahmi ini diceritakan sebagai seorang yang habis-habisan menggemateni Gus Dur.
Alasannya, Pak Fahmi teramat mencintai Indonesia. Demi Indonesia itu Pak Fahmi yakin harus mengelola NU. Karena skala NU adalah skala Indonesia. Bahkan, saat ini makin mendunia.
“Mengatur NU sama halnya mengatur Indonesia. Memperbaiki NU berarti memperbaiki Indonesia!” begitu kredo Pak Fahmi.
Karena Gus Dur ada di pusat NU, maka ia pun — di mata Pak Fahmi — ada di pusat Indonesia. Dan demi Indonesia itu, Pak Fahmi harus menelateni Gus Dur.
Bahkan sebelum terbetik di benak siapa pun, Pak Fahmi termasuk yang paling awal meyakini bahwa Gus Dur akan — dan harus — memimpin Indonesia. Jangan ditanya lagi perhatian Pak Fahmi kepada NU.
“Selain orang-orang NU yang biasa-biasa saja di sembarang tempat, saat ini ada dua jenis orang NU yang agak langka”, Gus Dur berkata didepan orang banyak suatu kali, “Yang pertama, ‘NU GILA’. Yaitu saya sendiri, karena sering bikin pusing orang banyak. Yang kedua, ‘GILA NU’. Begitu tergila-gilanya pada NU sampai-sampai hidupnya itu yang dipikir NUuuuuuu terus! Ini lho orangnya!”
Gus Dur menunjuk dokter Fahmi.