NU dan Politik Kontemporer
- NU dan Politik Kontemporer
Nahdlatul Ulama ( NU ) dan politik, merupakan sebuah senyawa yang sulit untuk dipisahkan. Baik secara kolegial-organisatoris, maupun personal-individual, sepanjang sejarah, anasir-anasir NU larut dalam riuhnya dinamika politik. Daya tarik politik begitu masif menyihir alam sadar dan tidak sadar warga NU. Alam sadar, karena ada pendekatan rasional warga NU terhadap politik. Alam bawah sadar dikarenakan sikap irrasional warga NU terhadap politik dan tokoh-tokohnya yang berpolitik.
Kedua pendekatan ini juga merupakan refleksi segmentasi warga NU, yaitu warga NU tipe urban, yang secara politik, partisipatif-sadar, terpelajar dari sisi pendidkan, dan mapan dari sisi ekonomi. Ke-dua adalah warga NU pedesaan, yang secara politik, non-partisipatif, rendah tingkat pendidikanya, dan miskin secara ekonomi. Namun dari sistem kepemimpinan bersifat patrimonialisme, yang bersandar kepada personalism, dalam hal ini figur ulama. Sehingga partisipasi mereka terhadap politik, adalah semu dan sangat tergantung kepada preferensi tokoh panutannya, tanpa reserve ( sami’na wa atho’na ).
Maka berbeda dengan Muhammadiyah, misalnya. Pemimpin politik dari NU, maka citra ke-NU-anya sangat kelihatan. Dari aspek tradisi-ritual seremonial, tradisi yang dimiliki NU sulit di-divestasikan dari panggung politik. Kita ingat ketika Abdurrakhman Wahid terpilih jadi presiden, sholawat badar berkumandang di gedung MPR/DPR. Para juru bicara partai berpidato dengan doa penutup majelis, wallahul muwafiq ilaa aqwamitthoriq, ( semoga Allah menunjukkan jalan yang sebenar-benarnya ) adalah ciri khas yang dimiliki oleh NU.
Buku lain :