Nu Tilu, Kudu NU: Fikrah, Amaliyah, Jeung Harakah
Madrasah Kader Nahdlatul Ulama [MKNU] yang dihelat pada 17 dan 18 Maret 2017 yang lalu, menjadi peristiwa yang mengesankan bagi saya. Setidaknya, saya mendapat gambaran, betapa menjadi bagian dari kalangan Nahdliyyin, baik pada lokus kultural maupun struktural, harus memiliki kemanunggalan antara pola fikir [fikrah], pola tindak [amaliyah], dan pola gerakan [harakah]. Kemanungglan ini merupakan keniscayan. Karena, mengabaikan salah satunya berarti mencederai keutuhannya.
Saya sempat berpikir keras, apa bedanya antara amaliyah dan harakah. Karena hemat saya, keduanya adalah hal yang kongruen. Tetapi akhirnya saya faham, ternyata amaliyah di satu pihak adalah rutinitas yang berkaitan dengan aktivitas individual-theosentrik, berupa rangkaian ibadah keseharian khas NU. Sedangkan harakah di pihak lain, adalah khidmat NU dalam ranah sosial-antroposentrik. Tetapi, sekali lagi, itu adalah pemahaman saya.
Melalui pemahaman ini pula, betapa saya menyadari, kaderisasi dalam sebuah organisasi, termasuk NU, adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Banyak hal yang saya dapatkan berkaitan dengan hal ini, melalui MKNU tersebut. Ada banyak cerita dari para Kiai yang turut serta ambil bagian dalam MKNU tersebut. Tetiba saja orang mengaku bagian dari NU. Lantas masuk dalam struktur NU, dan bertindak dengan cara-cara yang jauh dari kekhasan NU.
Secara fikrah, NU sejak awal telah menegaskan diri, dalam tiga domain utama keislaman, baik aqidah, syariah, dan akhlak. Secara aqidah NU berhaluan Asy’ariyyah-Ma’turidiyyah. Secara syariat [fiqih], NU meyakinkan diri dalam memilih salah satu dari empat madzhab besar; Hanâfiyyah, Mâlikiyyah, Syâfi’iyyah, dan Hanâbilah. Sedangkan secara akhlak [tashawwuf] berhaluan corak tashawwuf Al-Ghazali dan Junayd al-Baghdâdi.
Konsekuensi logis dari fikrah tersebut akan terlihat secara langsung dalam amaliyah sehari-hari.
Namun uniknya, ketika warga NU kebanyakan, ditanya tentang argumentasi atas amaliyah tersebut, dengan tanpa beban mereka menjawab, saya ikut ulama, kiai, ajengan dan seterusnya. Sepertinya, jawaban tersebut terkesan gampangan. Padahal, setidaknya menurut saya, jawaban tersebut menunjukkan tanggung jawab “sanad” ilmu dan amal. Bahkan pada beberapa kasus, sekelas Kiai khas NU pun memberikan jawaban serupa. Sungguh, untuk kasus terakhir, merupakan cerminan ke-tawadl’u-an yang semakin jarang ditemukan pada sosok yang sering disebut “ulama” belakangan ini.
Selanjutnya, secara harakah ijtimâ’iyyah [gerakan organisasi], NU berpegang pada prinsip tawâzun, tawâsuth, dan tasâmuh. Tidak heran, karena prinsip-prinsip gerakan ini, jika NU selalu bergerak out of the box. NU sudah siap di-bully, difitnah, bahkan ”dinistakan”. Mengutip Gus Hasan [KH. Hasan Nuri Hidatulloh—Ketua PWNU Jawa Barat], NU sering diperlakukan demikian, karena NU berjuang demi tegak kokohnya NKRI tempat lahirnya warga NU.
Akhirul kata, bagi saya, MKNU, jika dipotret menggunakan paradigma berfikir ilmu dakwah—yang menjadi latar konsentrasi pendidikan saya—, sebangun dengan takwîn al-duât [baca: kaderisasi juru dakwah]. Tujuannya jelas, selain melahirkan kader NU yang militan, pada saat yang sama, alumni MKNU juga diharapkan menjadi muhharrik [penggerak] dan mudabbir [pengurus] NU yang mukhtarif [profesional].
Cag! Semoga, NU dan warga Nahdliyyin tetap menjadi penyangga NKRI yang kita cintai. Ada banyak kekurangan, ada banyak ketidaksempurnaan. Tetapi yakinlah, dengan selalu belajar, dan “paheuyeuk-heuyeuk leungeun” kekurangan dan ketidaksempurnaan akan menjadi ladang perjuangan kita semua.
Penulis adalah peserta MKNU Angkatan I PWNU Jawa Barat, Pengurus di Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jawa Barat Masa Khidmat 2015-2020.
Sumber : Ansor Jabar Online