Otto Iskandar Dinata dan Lembaga sebelum MPR
Alfi Saifullah – Sebagai sebuah disiplin ilmu, sjarah selalu merekam jejak-jejak besar mereka yang berani menggetarkan dunia dengan ide dan tindakan. Merekalah sosok yang terlahir bukan sebagai individu, tetapi sebuah lingkaran besar. Dalam lingkaran, mereka mendengungkan, lantas merangkai ulang suara kemanusiaan, suara perjuangan.
Dalam salah satu sudut sejarah Indonesia, nama Otto Iskandardinata bukanlan istilah asing. Ia telah menjadi obor yang tak padam, fragmen sejarah yang belum tuntas untuk ditulis, apalagi di elaborasi. Julukannya sebagai “Si Jalak Harupat” bukanlah retorika sederhana, melainkan mimpi buruk bagi jejak-jejak kolonialisme Belanda di Indonesia. Inilah salah satu episode hidup Otto Iskandardinata, seorang martir yang pernah terlahir di Bumi Pasundan. Bumi Parahyangan.
Sebelum MPR.
Pernahkah terpikir dalam ingatan kolektif bangsa indonesia, siapakah yang pertama kali menetapkan Presiden beserta Wakilnya sebelum segala struktur lembaga pemerintahan di Indonesia terbentuk? MPR? Itu setelah UUD 1945 disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dengan adanya pasal 3 tentang tugas dan fungsi utama MPR. Jika bukan MPR lantas siapa? Adalah sebuah buku berjudul ‘Risalah Sidang BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terbitan Sekretariat Negara tahun 1980 yang memuat jawaban pertanyaan tersebut.
Alkisah, sidang pertama PPKI yang terselenggara pada tanggal 18 Agustus 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-In telah dibuka oleh Ir. Soekarno sebagai ketua sidang merangkap ketua PPKI. Sidang yang dibuka pada pukul 13.45 WIB ini membawa sebuah agenda besar, pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden serta pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat. Dalam sambutannya, Ir. Soekarno meyatakan perlunya menambah anggota PPKI agar suara didalam forum tersebut memenuhi status kuorum. Karena itu, beliau memasukkan sejumlah nama seperti Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Sajuti Melik, Mr. Iwa Koesoema Soemantri dan Mr. Achmad Soebardjo.
Lebih lanjut Ir. Soekarno meminta anggota sidang untuk menerima pasal III dalam aturan peralihan, tentang Majelis Permusyawaratan yang berhak menetapkan Presiden dan Wakil Presiden. Karena Majelis Permusyawaratan belum terbentuk, maka sudah semestinya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh anggota PPKI. Lantas Ir. Soekarno meminta kepada Zimukyoku (pemerintah status qou dalam hal ini diwakili Jepang) segera membagikan stembiljet (kertas suara) untuk diadakan pemungutan suara.
Belum juga Zimukyoku membagi stembiljet, bunyi suara lantang segera membuyarkan konsentrasi hadirin. Suara itu berasal dari Otto Iskandardinata mantan anggota Volksraad (dewan perwakilan rakyat masa kolonial) dari Bandung. “Berhubung dengan keadaan waktu, saya berharap supaya pemilihan Presiden ini diselenggarakan dengan aklamasi dan saya majukan sebagai calon, yaitu Bung Karno sendiri”, kata Otto Iskandardinata yang seketika itu disetujui oleh semua anggota sidang. Bunyi tepuk tangan segera membahana, mengiringi terpilihnya Bung Karno sebagai Presiden RI yang pertama.
“Tuan-tuan, banyak terimakasih atas kepercayaan Tuan-tuan dan dengan ini saya dipilih oleh Tuan-Tuan sekalian dengan suara bulat menjadi Presiden Republik Indonesia”, kata Bung Karno. Gemuruh suara tepuk tangan kembali pecah. Hadirin serempak berdiri sembari menyanyikan lagu Indonesia Raya, lantas mereka bersorak, “Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!”.
Baru saja hadirin duduk, suara lantang Otto Iskandardinata kembali menggema di ruangan, “Pun untuk pemilihan Wakil Kepala Negara Indonesia saya usulkan cara yang baru ini dijalankan. Dan saya usulkan Bung Hatta menjadi Wakil Kepala Negara Indonesia”. Suara lantang Otto segera menggema, disambut riuh gemuruh suara tepuk tangan para hadirin. Seperti mengulang momen ketika melantik Bung Karno, mereka berdiri serempak dan menyayikan Indonesia Raya dengan khidmat. Usai bernyayi mereka berseru penuh semangat, “Hidup Bung Hatta! Hidup Bung Hatta! Hidup Bung Hatta!”.
Otto Iskandardinata telah menjadi penyelesai sejarah. Ia melakukan pengangkatan Presiden beserta wakilnya dengan aklamasi. Tidak dengan prosedur formal, melainkan dengan semangat kolektif yang mendalam. Dalam tinjauan hukum, tidakan Otto bisa dibenarkan. Ia mencerminkan improvisasi politik yang mengutamakan kehendak rakyat diatas formalitas. Dimana secara filosofis langkah ini sejalan dengan ide Rousseau tentang general will, bahwa sumber legitimasi kekuasaan terbesar bersumber dari kehendak rakyat.
Refleksi: Otto Iskandardinata dan Demokrasi yang tak terduga
Ketika pada akhirnya MPR berdiri sebagai Lembaga yang memayungi kedaulatan rakyat, jejak Otto Iskandardinata terasa dalam setiap langkahnya. Pengangkatan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden secara spontan oleh Otto, meski tidak secara formal, adalah gambaran awal dari praktik demokrasi di Indonesia. Selanjutnya keberadaan MPR sebagai sebuah Lembaga, telah memberi kerangka formal untuk mewujudkan kehendak rakyat melalui mekanisme yang terstruktur dan diatur oleh undang-undang. Lebih dari itu, lembaga ini juga menjadi cermin pluralitas Masyarakat Indonesia, sebuah forum dimana berbagai suara bisa bersatu dalam kebijakan yang inklusif.
Alhasil, Otto Iskandardinata adalah metafora dari demokrasi yang tak usai. Demokrasi yang mentah tetapi sangat otentik, dimana rakyat memiliki peran langsung dalam menentukan arah masa depan bangsa. Otto telah menjadi semacam ‘katalis’, membawa kehendak kolektif kedalam realitas politik. Meski dengan bentuk yang tidak selalu sama, spirit Otto Iskandardinata akan terus hidup dalam setiap proses delibratif di MPR.
Hari ini, ketika kita berkata tentang parlemen, tentang kedaulatan rakyat, tentang keadilan hukum, kita meski ingat bahwa suara-suara semacam itu pernah diucapkan pada masa lampau. Dan seperti kicau buruk ‘Jalak Harupat’ yang merdu, telah membangunkan kita dari tidur panjang. Ia menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan sekadar urusan prosedur, tetapi menyangkut nilai-nilai yang telah mendasarinya: keadilan, kebebasan, dan keberanian.
Wallahu a’lamu bish Shawab.
Baca juga resensi buku lainnya :
- Jejak Perjuangan K.H. Ahmad Hanafiah. Kontak pembelian : 0821 1682 5185 (Sandi). Link resensi, klik.
- Gerakan Syiah di Nusantara: Anasir Berimbang Sejarawan Muda. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Sejarah Pergerakan Nasional. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Historiografi Islam dan Momi Kyoosyutu. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Jalan Sunyi dan Rambut Gimbal : Sebuah Interpretasi atas Kehidupan Gus Qomari. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.