Panggillah Istrimu Ibu/Bunda/Umi, Itu Sangat Baik!
Oleh: Harry Yuniardi
Awalnya saya tidak tertarik sedikit pun untuk mengulas masalah ini. Namun seiring pergantian tahun, dari 2015 ke 2016, ternyata semakin ramai penyebaran informasi di medsos tentang larangan memanggil Ibu (ummi) atau ukhti kepada isteri, bahkan ditambah larangan memanggil Bapak (Abi) kepada suami. Dengan itu pula semakin masif pemahaman yg salah tentang hal tersebut di kalangan masyarakat umum.
Akhirnya, terbersitlah keinginan untuk turut “memperumit” wacana tersebut, dengan tujuan semoga saja dapat memberikan tambahan pengetahuan sebagai bahan antawacana dalam membangun pemahaman yang tepat pada masyarakat.
Jika kita telisik, dari sekian banyak tulisan yang lalu-lalang terkait larangan memanggil Ibu/Bapak kepada pasangannya, setidaknya ada beberapa poin pokok, yaitu:
- Larangan dengan tegas mengharamkan karena dianggap sebagai zhihar (menyamakan bagian tubuh tertentu isteri dengan mahram abadi suaminya).
- Larangan dengan memakruhkan (sebagian menggunakan kalimat “dibenci”).
Benarkah pernyataan tersebut?
Untuk menjawabnya, pertama-tama saya hendak menelusuri dulu referensi yang digunakan oleh penulis wacana tersebut (saya tidak tahu siapa yang pertama kali menulisnya). Rata-rata mereka merefer kepada buku ar-Raudhatul Murbi’ Syarah Zadul Mustaqni’, juz 3/195 (mungkin maksudnya Al-Rawdl al-Murbi’ Syarh Zâd al-Mustaqni’). Buku tersebut disusun oleh Manshûr bin Yûnus bin Shalâhuddîn ibn Hasan bin Idrîs al-Bahûtiy al-Hanbaliy (w. 1051 H), sebagai penjelas buku Zâd al-Mustaqni’ yang disusun oleh Abû al-Najâ Mûsâ bin Ahmad Mûsâ bin Sâlim (w. 968 H).
Parafrasa yang disitir oleh penulisnya adalah: “Dan dibenci memanggil salah satu di antara pasutri (pasangan suami istri) dengan panggilan khusus yang ada hubungannya dengan mahram, seperti istri memanggil suaminya dengan panggilan ‘Abi’ (ayahku) dan suami memanggil istrinya dengan panggilan ‘Ummi’ (ibuku).”
Sayangnya saya tidak memiliki buku yang sama persis cetakannya, kemungkinan buku tersebut dicetak sebagai lampiran dalam buku komentar, karena seharusnya buku dimaksud tidak berjilid-jilid lembarannya sebagaimana disebutkan oleh penulis (juz 3, halaman 195), melainkan hanya satu jilid/juz, dan yang ada dihadapan saya hanya satu jilid, adapun kalimat tersebut terletak di halaman 593, sebagai berikut:
ويكره نداء أحد الزوجين الآخر بما يختص بذي رحم محرم كأبي وأمي
Jika diterjemahkan sesuai konteks (buku ini adalah buku fiqh, sehingga mengartikannya pun harus fiqhiy), maka artinya adalah: Dan dimakruhkan memanggil salah satu suami istri kepada pasangannya dengan panggilan yang dikhususkan kepada kerabat semahram, seperti (istri) memanggil suaminya “Ayahku” (Abiy), dan (suami) memanggil istrinya “Ibuku” (Ummiy).
Dari sini saja sudah ditemukan dua kesalahan, Pertama, menerjemahkan “yukrahu” dengan “dibenci”. Secara bahasa tidak salah mengartikan “yukrahu” dengan “dibenci”, namun secara istilah tentu saja tidak tepat. Kata “dibenci” masih sangat umum maknanya. Jika hendak digunakan dalam konteks hukum, maka kata “dibenci” menjadi multiinterpretable, rawan menimbulkan gagal paham. Karena ini berada dalam wilayah hukum, seharusnya kata “yukrahu” diartikan sesuai konsep fiqh, yaitu “sesuatu yang diberi pahala jika ditinggalkan, dan tidak apa-apa jika dikerjakan”, sederhananya cukup diterjemahkan dengan “dimakruhkan” saja, yang dalam KBBI artinya “dianjurkan untuk ditinggalkan, tetapi tidak berdsa apabila dikerjakan”; Kedua, ketika parafrasa tersebut mau dijadikan sebagai larangan memanggil “Umi” atau “Abi” kepada pasangan, maka itu pun tidak tepat, karena yang dibicarakan adalah perihal memanggil pasangan dengan kalimat “Ibuku” (Ummiy, bukan Ummi) atau “Ayahku” (Abiy, bukan Abi), yang terang beda maknanya ketika kata “Ibu/Ayah” disandingkan dengan kata “ku” sebagai bentuk klitik yang menunjukkan terhadap kepemilikan, dibandingkan dengan kata “Ibu/Ayah” saja. Ketika suami memanggil istrinya dengan kata “Ibuku” maka dapatlah (kalau mau dipaksakan) disamaartikan suami menganggap istrinya sebagai “Ibunya”. Adapun ketika suami memanggil istrinya dengan kata “Ibu”, maka sedikitpun tidak ada indikasi suami menganggap istrinya sebagai ibunya.
Sampai di sini seharusnya sudah selesai, namun baiklah kita lanjutkan untuk mendapatkan pemahaman yang sedikit lebih jauh.
Benarkah memanggil pasangan dengan kata Ibu/Ayah (Ummi/Abi) adalah bagian dari zhihar?
Sebelum menjawabnya, saya sedikit menegaskan, bahwa argumentasi utama dilarangnya memanggil Ibu/Ayah terhadap pasutri adalah karena dianggap sebagai bagian dari zhihar. Benarkah itu bagian dari zhihar? Untuk menjawabannya sebenarnya tidak perlu detil menjelaskan konsep zhihar dalam fiqh (karena lumayan panjang), cukup saja dengan merujuk ke dalam buku komentar dari al-Rawdl al-Murbi’, yaitu Hâsyiyah al-Rawdl al-Murbi’, susunan `Abdurrahmân bin Muhammad bin Qâsim al’Âshimiy al-Hanbali (w. 1392 H), juz 7/8. Saat menjelaskan alas hukum memakruhkan memanggil “Ibuku/Ayahku” (bukan memanggil Ibu/Ayah), yaitu riwayat lemah dlam Sunan Abû Dâwûd (2/264) tentang larangan Nabi Saw., kepada sahabat yang memanggil istrinya dengan panggilan “Saudariku” (Ukhtiy). Menurut penyusun komentar, panggilan tersebut hanya menyerupai ucapan zhihar, dan tidak diharamkan, serta tidak menimbulkan efek hukum zhihar (menjadi haram melakukan hubungan intim dengan istrinya sebelum membayar kifarat zhihar).
Lebih jauh, Syaikh Muhammad bin Shâlih bin Muhammad al-`Utsaymin (w. 1421 H) dalam buku penjelasnya terhadap al-Rawdl al-Murbi’, yang diberi nama al-Syarh al-Mumti’ `alâ Zâd al-Mustaqni’, juz 13/236, menyatakan:
فإذا قال: يا أمي تعالي، أصلحي الغداء فليس بظهار، لكن ذكر الفقهاء ـ رحمهم الله ـ أنه يكره للرجل أن ينادي زوجته باسم محارمه، فلا يقول: يا أختي، يا أمي، يا بنتي، وما أشبه ذلك، وقولهم ليس بصواب؛ لأن المعنى معلوم أنه أراد الكرامة، فهذا ليس فيه شيء، بل هذا من العبارات التي توجب المودة والمحبة والألفة.
Maka jika suami berkata (kepada istrinya): Wahai Ibuku ayo siapkan makan siang, maka itu bukanlah zhihar. Namun sebagian fuqaha, semoga Allah merahmati mereka, menuturkan bahwasanya dimakruhkan kepada suami memanggil istrinya dengan nama mahram (abadi)-nya, maka tidak boleh memanggil wahai ibuku, anakku, atau apapun yang semacamnya, dan penuturan sebagian fuqaha tersebut tidaklah benar, karena sudah maklum bahwasanya makna panggilan tersebut adalah bentuk penghargaan, tidak ada (efek hukum) apa pun, melainkan itu bagian dari ekspresi yang dapat menimbulkan rasa sayang, cinta dan kelembutan.
Begitulah penjelasan Syaikh Utsaymin, mantan anggota Lembaga Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Hay’ah Kubâr al`Ulamâ’). Demikian jelas tanpa perlu dimaknai ulang dengan beragam alat pemahaman.
Dan satu hal lagi, hukum zhihar itu hanya berlaku bagi suami yang menyamakan bagian tubuh tertentu istrinya dengan mahram abadinya saja, adapun sebaliknya, yaitu istri menyamakan suaminya dengan mahram abadinya, itu tidak menimbulkan efek hukum apa pun. Sekali lagi itu ketentuan hukum dalam konsep zhihar. Sedangkan panggilan Ibu/Ayah kepada pasutri, jelas bukanlah bagian dari zhihar.
Walhasil, tidak perlu ragu untuk memanggil Ibu/Ayah (Ummi/Abi) kepada pasangan nikahnya, sedikitpun tidak makruh atau dibenci, apalagi diharamkan, atau kalau mau silahkan panggil dia “sayang”, namun hati-hati saja jangan sampai anak anda ikutan memanggil “sayang” kepada orang tuanya, rasanya kurang nyaman lho….falyatafakkar.
Sukasari Indah, 04/01/2016