PBNU Jelaskan Sembilan Kerugian Sekolah Lima Hari
Rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menerapkan kebijakan kegiatan belajar mengajar lima hari harus dikaji ulang. Berbagai penolakan dan resistensi masyarakat yang terus menguat adalah early warning bagi masa depan sistem pendidikan nasional kita.
Setelah mencermati secara seksama poin-poin kebijakan ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melihat ada lebih banyak potensi kerugian (mafsadat) dibanding kebaikan (maslahat)-nya.
“Kami mencatat sedikitnya ada sembilan potensi kerugian yang bisa dipastikan terjadi jika penerapan proses belajar mengajar lima hari ini terus dipaksakan,” ujar Sekretaris Jenderal PBNU HA. Helmy Faishal Zaini, Senin (12/6) di Jakarta.
Pertama, terkait beban belajar yang akan makin memberatkan siswa. Hasil jajak pendapat dengan sejumlah pakar psikologi di Jawa Tengah beberapa waktu lalu menyimpulkan, bahwa anak usia SD setelah jam 13.00 daya serap ilmunya cenderung menurun. Ini artinya jika kegiatan belajar mengajar ditambah sampai jam 16.00 maka keterserapan pendidikan pada anak usia dini tidak akan maksimal.
Kedua, terkait aspek mental spiritual. Fakta dunia pendidikan dasar kita selain SD dan MI juga terdapat pendidikan pesantren dan Madrasah Diniyah (Madin) yang berfungsi memberikan penguatan pelajaran dibidang agama, terutama terkait praktik muamalah dan ubudiyyah sehari-hari. Keberadaan lembaga pendidikan pesantren dan Madin ini telah banyak memberikan kontribusi pada pembentukan kepribadian dan watak mental spiritual anak.
Di banyak tempat Madin biasanya dilaksanakan sore hari. Jika sekolah diberlakukan sampai sore hari maka praktis mereka tak bisa mengikutinya. Sebagai gambaran, di Jawa Tengah saja saat ini terdapat 10.127 Madin dan TPQ, dimana 90 persen siswanya adalah anak usia SD dan SMP.
Ketiga, terkait aspek akademik. Aturan belajar mengajar lima hari tentu harus diikuti oleh pembenahan kurikulum sekolah. Sementara mengubah kurikulum lama yang sudah secara sistematik diterapkan di sekolah tentu tidak semudah membalikkan tangan. Sebab skema kurikulum juga berkait erat dengan tingkat kemampuan rata-rata siswa dalam menyerap materi pelajaran di sekolah.
Keempat, terkait aspek kompetensi non akademik. Konsep lima hari sekolah, akan memutus kreatifitas anak dalam penguatan ilmu non akademik. Semisal, anak yang memiliki keunggulan bidang seni, budaya, olahraga, tentu harus ikut kegiatan les sore hari. Saat kebijakan ini diterapkan tentu akan memakan habis waktu mereka untuk penguatan ilmu non akademik.
Kelima, terkait hak atas dunia sosial anak. Penambahan jam belajar mengajar selain mengambil jam belajar di luar sekolah, pada saat yang sama juga merampas jam bermain anak. Kesempatan mereka untuk membangun dunia sosial dengan sesama umurnya dengan demikian akan hilang. Bukankah ini bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi anak untuk mengembangkan psikomotorik dan afektif mereka sebagai calon generasi bangsa?
Keenam, terkait aspek ekonomi. Penambahan jam belajar sekolah praktiknya juga berhubungan dengan penambahan uang saku anak di sekolah. Dan ini tentu saja menambah beban finansial orang tua. Kalau jam makan siang tidak bisa dilakukan dirumah alias harus membeli di sekolah, budget uang saku bisa-bisa tiga kali lipat dari biasanya.
Ketujuh, terkait aspek keamananan. Ketika siswa harus pulang sore hari tentu juga harus dipikirkan ulang jaminan terhadap keselamatan dan keamanan jiwanya. Siswa yang jarak perjalanan dari rumah ke sekolahnya membutuhkan waktu 1 jam misalnya, kalau jam pulang sekolah pukul 16.00 akan sulit pulang tepat waktu karena harus bertaruh dengan kepadatan arus di jalan raya.
Di mayoritas kota besar, jam 16.00-17.00 adalah jam-jam macet karena bersamaan dengan jam karyawan pulang kerja. Dari sisi keamanan akan sangat rawan kalau anak setiap hari harus pulang sekolah kelewat petang.
Kedelapan, dari aspek sarana prasarana penunjang. Seperti diketahui untuk sekolah di daerah-daerah tertentu masih sulit terakses sarana transportasi umum. Ini menjadi masalah lanjutan kalau jam pulang sekolah berubah. Masalah lain terkait keterbatasan ruang kelas.
Di Lombok Barat misalnya, kami kerap mendapat keluhan dari beberapa Kepala Sekolah karena ruang-ruang kelas di sekolah mereka sudah lama dibagi penggunaannya. Pagi digunakan sekolah formal dan sore Madrasah Diniyah. Jadi mereka tidak mungkin melaksanakan sekolah sampai sore hari.
Kesembilan, aspek ketahanan keluarga. Siswa yang berasal dari keluarga tak mampu, biasanya usai pulang sekolah selalu membantu orangtua, ada yang menjadi buruh tani, berdagang, nelayan, dan sebagainya. Jika anak-anak ini harus bersekolah hingga sore hari maka dua hal sekaligus membebani orang tua. Pertama, bertambahnya kebutuhan uang saku sekolah, kedua berkurangnya penghasilan lantaran berkurangnya tenaga dalam mencari nafkah.
“Dengan berbagai pertimbangan tersebut di atas, kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, kami dengan hormat meminta agar dikaji ulang dan dibatalkan,” tegas Helmy.
Menurutnya, ketegasan dan kearifan sikap pemerintah penting dan harus segera ditunjukkan untuk menghentikan kegaduhan dan menjaga kondusifitas penyelenggaraan pendidikan nasional kita.
“Kami siap duduk bersama untuk memberikan masukan dan menemukan solusi terbaik bagi kebijakan kontroversial ini,” tandas Helmy. (Red: Fathoni)
Sumber : NU Online