The news is by your side.

Pemikiran Hadis Abdur Rauf As Singkili

 

Oleh : Sri Rahayu

Pendahuluan

Pembelajaran mengenai perkembangan pemikiran hadis di Nusantara bisa dibilang kurang mendapat perhatian. Selain dari pada ilmu lain seperti ilmu tafsir, ilmu kalam dan ilmu tasawuf, padahal hadis memegang peranan penting sebagai kajian islam dan merupakan sumber kedua setelah Alquran. Kajian hadis juga masih berpusat pada karya-karya para ulama klasik dengan pembahasan mengenai sejarah perkembangan hadis pada abad ke-2 H sampai dengan abad ke-4 H. Selain itu juga terdapat pembahasan mengenai pengujian status keshahihan suatu hadis.

Pembahasan mengenai perkembangan pemikiran hadis setelah masuknya islam di Indonesia bisa terbilang jarang bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Padahal islam sudah menyebar di Nusantara sejak abad ke-13 M, hal tersebut cukup memprihatinkan. Padahal, dalam sejarah sebelum abad ke-19 M, intelektual umat islam memiliki intensitas yang terbilang cukup tinggi. Oleh karena itu tulisan ini akan mencoba untuk menjelaskan mengenai perkembangan pemikiran hadis di Indonesia melalui pemikiran tokoh Abdurrauf Al Sinkili.

Pembahasan

A. Biografi

Syekh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili memiliki nama lengkap Aminuddin Abdul Ra’uf bin Ali al- Jawi Tsumal Fansuri al-Singkili. Syekh Abdur Rauf lahir di Sinkil, Aceh, pada tahun 1024 H (1615 M). Abdur Rauf memiliki garis keturunan dari Syeikh Sinkel yang berasal dari Persia yang kemudian datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Nama Sinkil berasal dari daerah kelahirannya itu. Beberapa literatur menyebutkan bahwa ayah dari Syekh Abdur Rauf adalah saudara laki-laki dari Hamzah Al-Fansuri, namun tidak cukup bukti yang menjelaskan bahwa ia merupakan keponakan dari Al-Fansuri. Namun, terdapat juga pendapat yang menyatakan bahwa ayah Syekh Abdur Rauf yaitu Syeikh Ali yang merupakan keturunan darah Arab yang menikahi wanita dari Fansur (Barus). Menurut pendapat Voorhoeve, Fansur berarti seluruh daerah pantai Barat Sumatera dan menerjemahkan kata tambahan nama itu dengan “orang Indonesia yang berasal dari pantai Barat Sumatera atau dari Singkel” . Dan di masyarakat beliau lebih dikenal dengan julukan Teungku Syeikh Kuala .

Syekh Abdur Rauf merupakan seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian belajar belajar pada ulama-ulama di fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses perjalannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam. Ayahnya adalah seorang ulama yang memiliki dayah (madrasah) sendiri di Simpang Kanan. Menurut A. Hasjmy setelah menyelesaikan pendidikannya pada sebuah dayah tinggi di Barus yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Selanjutnya belajar pada Syeikh Syamsu al-Din al Sumatrani diperkirakan dayahnya di wilayah Pase. Terakhir al-Singkili belajar di Timur Tengah, meliputi Doha, Qatar, Yaman, Jeddah dan akhirnya Mekkah dan Madinah selama 19 tahun . Menurut catatan al-Singkili sendiri yang ditulis dalam Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, ada 19 orang guru yang dia belajar langsung dalam bermacam disiplin ilmu. Selain itu juga dia mempunyai hubungan pribadi dengan sejumlah ulama-ulama lain yang sangat mungkin ini merupakan teman diskusi dalam ilmu-ilmu tertentu.

Di Yaman dia belajar kepada pada Ibrahim bin ‘Abdullah bin Jaman dan Qadhi Ishaq. Guru gurunya di Yaman nampaknya ahli dalam bidang Hadis dan Fiqh. Seperti murid dari Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, yang pada akhirnya al-Singkili sendiri juga belajar pada Ahmad Qusyasi dan Ibrahim al Kurani. Setelah itu Abdurrauf Singkili belajar ke Makkah dan Madinah selama 19 tahun dengan para guru besar al-Qusyasyi dan Ibrahim al Kurani serta puteranya, Muhammad Thahir, di Madinah. Setelah kembali pada tahun 1661, ia menjadi ahli fiqih terkenal di Aceh dan juga seorang sufi yang mencari keseimbangan antara berbagai pandangan para pendahulunya dan mengajarkan zikir wirid Syatariyah. Setelah belajar di Madinah pada Syeikh tarekat Syatariyah, Ahmad al Qusyasyi (w.1661/1082 H) dan kemudian pada khalifah atau penggantinya, Ibrahim al Kurani, Abdurrauf memperoleh ijazah dari pimpinan tarekat tersebut . Ini berarti ia telah beroleh pengakuan dan hak untuk mengajarkan tarekat Syattariyah itu kepada orang lain atau untuk mendirikan cabang baru di tempat lain. Dapat dilihat dari pendidikan meggambarkan bahwa Syaikh Abdurrauf al-Singkili seseorang yang ahli berbagai disiplin ilmu seperti fiqh, hadits, tasawuf. Selain seorang faqih, beliau juga seorang sufi dan mursyid tarekat Syatariyah yang dikembangkan ke berbagai Nusantara.

Abdurrauf meninggal tahun 1105 H/1693 M. Dia dimakamkan di dekat kuala atau mulut sungai Aceh. Tempat tersebut juga menjadi kuburan untuk istri-istrinya, murid kesayangannya Dawud Al-Rumi dan murid-murid lainnya. Di kemudian hari, ia dikenal dengan nama Tengku Syekh Kuala yang namanya diabadikan pada perguruan tinggi di Banda Aceh yakni Universitas Syiah Kuala. Sinkel pun dikenal sebagai Wali Tanah Aceh.

B. Kondisi Sosial, Politik dan Keagamaan

Abdurrauf mulai menjalani karir intelektualnya ketika Aceh dalam situasi chaos. Hal itu terjadi karena adanya persengketaan antara penganut doktrin wujudiyyah dengan pendukung al Raniri. Keadaan semakin memanas hingga salah satu pihak yaitu dengan dukungan politik mengambil jalan kekerasan seperti melakukan pengejaran, penyiksaan, pembakaran, hingga pembunuhan .

Kehidupan politik pada zaman itu dipegang oleh empat ratu secara berturut turut hingga akhir abad ke 17 M. Ratu pertama adalah Safiatuddin yang memerintah kurang lebih 34 tahun (1050-1086 /1641-1675) menggantikan suaminya, Iskandar Sani. Ratu kedua adalah Naqiqtuddin (1086-1088/1675-1678). Ketiga adalah ratu Zakiatuddin (1088-1098/1678-1688) dan akhirnya ratu Kamalat Syah (1098-1109/1688-1699). Pada keempat ratu itulah Abdurrauf melewati masa hidupnya di Aceh. Dalam sejarah tercatat bahwa di masa pemerintahan ini Aceh mengalami banyak kemunduran. Terjadi banyaknya wilayah yang lepas dari kekuasaan Aceh, Adanya kekacauan bermotif agama antara penganut paham wujudiyah (wahdat al-wujud) dan paham wahdat al syuhud (sebutan untuk penganut paham ortodoks). Namun menurut Hasjmi, sejarah ilmu pengetahuan kebudayaan dan seni budaya makin mengalami perkembangan pesat.

Kondisi sosial politik dan keagamaan di Aceh pada zaman itu adalah pertama, adanya persengketaan agama antara dua kelompok yang menjurus pada tindakan saling menghujat dan bahkan mengkafirkan. Kedua, ada kontrofersi tentang kepemimpinan dari kalangan perempuan. Ketiga, bahwa peran qadhi malik adil (mufti) yang dijabat oleh Abdurrauf sangat strategis. Abdurrauf saat itu tidak hanya mengurusin permasalahan tentang keagamaan, namun juga berperan dalam menentukan proses pengangkatan dan penurunan sultan.

Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa berkat jasa dan pengaruh Abdurrauf, usaha pemberontakan terharap kepemimpinan perempuan gagal dilakukan. Dari poin inilah, muncul anggapan bahwa keempat ratu sesungguhnya yang memegang kendali dari balik layar adalah Abdurrauf. Dari kejadian itu membuat Abdurrauf mangkat. Saat itu Kamalat Syah diturukan dari kekuasaannya, dikarenakan qadhi waktu itu tidak mempunyai pengaruh yang sebanding dengan Abdurrauf. Dalam sosial-politik dan keagamaan, Abdurrauf menjalankan perannnya sebagai qadhi malik al-adil (mufti) dan menyusun beberapa karyanya termasuk al-Mawaiz al-Badi’ah.

C. Karya-karya

Syeikh Abdurrauf merupakan seorang ulama yang sangat produktif, kreatif dan evolusioner, dalam berbagai kesibukannya selain sebagai ulama juga menjabat mufti kerajaan namun dalam kesibukannya mampu mengarang berbagai kitab. Selama hidupnya Abdurrauf atau dikenal dengan Sinkel telah menggarap sekitar 21 karya tulis, yang terdiri dari :

  • 1 kitab tafsir yaitu Tarjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) sebagai kitab tafsir lengkap pertama yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu
  • 3 kitab hadits, yaitu Syarah Latif ‘ala Arba’in Hadisan li Imam Al-Nawawi, dan Al-Mawa’iz al-Badi’ah, keduanya berbahasa Melayu.
  • 3 kitab fiqih. Yaitu Mi’rat al-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syar’iyyah li al Malik al Wahhab (Cermin bagi Penuntut Ilmu Fiqih pada Memudahkan Mengenal Hukum Syara’ Allah) yang ditulis atas perintah Sultanah.
  • Sementara di bidang tasawuf, karyanya yakni ‘Umdat al-Muhtajin (Tiang Orang-Orang yang Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (Pencukup Para Pengemban Hajat), Daqa’iq al-Huruf (Detail-Detail Huruf) serta Bayan Tajalli (Keterangan Tentang Tajalli).
  • dan selebihnya kitab ilmu tasawuf.

Kitab Tarjuman al-Mustafid merupakan salah satu kitab yang dianggap penting bagi kemajuan Islam di Nusantara. Kitab ini ditulis ketika Sinkel masih berada di Aceh, kitab ini telah beredar luas di kawasan Melayu-Indonesia bahkan ke luar negeri. Tafsir ini diyakini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu. Kitab ini juga berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir Alquran dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam .

D. Perkembangan Studi Hadis di Indonesia

Secara Umum

Menurut Snouck Hurgroje ahli yang telah mengamati secara langsung di Aceh selama 6 tahun, mengungkapkan bahwa kondisi Aceh pada saat itu sangat kental dengan praktik tasawuf warisan dari Hamzah Fansuri. Pada zaman itu tidak catatan mengenai perkembangan hadis secara pesat. Sejak Abad-19 M, telah ada karya-karya yang menggunakan rujukan hadis. Karya tulis yang ditemukan di zaman itu seperti karya dari Hamzah Fansuri atau Syam Al-Din Al-Sumatrani.
Karya Hamzah banyak dituangkan dalam bentuk puisi atau prosa. Melalui bait-bait syairnya, ia menjelaskan beberapa ayat-ayat Al-Quran dan hadis tertentu yang dikombinasikan dengan Bahasa Melayu. perkembangan selanjutnya terdapat karya Abd Shamad al Palempani, yang menerjemahkan kitab Lubab Ihya’ ‘Ulum al-Dinnya al-Ghazali dengan judul Siyar al-Salikin.

Perspektif Abdurrauf Al-Sinkili

Singkel memiliki peranan penting bagi perkembangan islam di Nusantara dalam bidang fiqih, teologi, tasawuf, tafsir dan hadis. Dalam bidang tafsir, ia adalah alim pertama yang melakukan penafsiran Alquran secara lengkap dalam bahasa Melayu. Tarjuman al-Mustafid mempunyai peranan yang sangat penting dalam sejarah Islam di Nusantara. Lewat karya ini, Singkel memberikan banyak sumbangan kepada telaah tafsir Alquran di Nusantara.

Adapun pemikirannya tentang hadis, Singkel menulis 2 karya dalam bidang ini, yang pertama adalah Syarah Latif ‘ala Arba’in Hadisan li Imam an Nawawi, ini merupakan penafsiran mengenai 40 hadis karya al-Nawawi, yang kedua adalah al-Mawa’iz al-Badi’ah, sebuah koleksi hadis qudsi. Jika ditelaah lebih jauh tentang para gurunya, yaitu Al-Qusyasyi dan al-Kurani, diketahui bahwa al-Kurani mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan intelektual, yang dikenal dengan ‘ilm zahir seperti ilmu hadis, ilmu tafsir dan ilmu kalam. Sedangkan dari Al-Qusyasyi, Al-Sinkili mewarisi ilmu-ilmu esoteris atau ‘ilm bathin. Begitu juga Ibrahim ibn ‘Abd Allah ibn Ja’man, beliau dikenal sebagai seorang muhaddis dan sekaligus faqih. Keduanya mempunyai jalur isnad yang terhubung kepada para muhaddis.

Singkel melewatkan sebagian besar waktunya bersama Ibrahim ibn ‘Abd Allah ibn Ja’man, mempelajari apa yang dinamakan ‘ilm zahir seperti fikih, hadis, dan ilmu-ilmu yang terkait. Singkel sendiri telah menghabisi masa hidupnya di Mekkah dan Madinah.

Pengaruh warisan dari guru-gurunya tersebut terlihat dalam kedua karyanya ini, yang mencerminkan perhatian Singkel secara sungguh-sungguh terhadap kaum muslim yang masih awam tentang pemahaman hadis, dengan karya tersebut juga dimaksudkan agar memudahkan mereka dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Singkel secara khusus menekankan perlunya bagi setiap Muslim membedakan antara pengetahuan (‘ilm) dan perbuatan baik (‘amal). Karena pengetahuan saja tidak akan membuat seseorang menjadi Muslim yang baik. Karya Al-Mawa’iz al-Badi’ah ini menunjukkan usaha-usaha yang dilakukan Singkel untuk membuat cara-cara Nabi, di samping ajaran-ajaran Alquran, tidak hanya menjadi sumber hukum, tetapi juga inspirasi bagi amalan moral yang layak. Oleh karena itu, dengan sendirinya, melalui telaah-telaah hadis, Singkel ingin mencapai tujuan-tujuan kesalehan yang lebih tinggi. Singkel percaya, bahwa hadis akan menuntun kepada kedekatan yang sejati dengan Nabi, yang menempati posisi kedua setelah Tuhan sebagai intisari iman.

Makna khusus yang diberikan Al-Sinkili pada kajian hadis mencerminkan usaha-usaha untuk membuat cara-cara Nabi di samping ajaran-ajaran Alquran tidak hanya menjadi sumber hukum, tetapi juga inspirasi yang tak habis-habisnya bagi amalan moral yang layak. Karena itu dengan sendirinya, dalam telaah-telaah hadis, Al-Sinkili tidak membatasi diri hanya mempelajari alkutub al-sittah. Enam buku induk hadis itu hanya merupakan sebagian kecil dari telaah-telaah hadisnya. Singkel memiliki pengaruh besar dalam telaah hadis, tidak hanya dalam menghubungkan para ulama dan berbagai “tradisi-tradisi kecil” Islam, tetapi juga dalam menimbulkan perubahan perubahan dalam pandangan mereka atas tasawuf, terutama dalam kaitannya dengan syariat.

Al Singkili menganut konsep tauhid Ahlussunah Wal jamaah, ia sangat menekankan konsep transendensi Tuhan terhadap alam semesta, dia menegaskan bahwa tuhan tidak serupa dengan alam semesta, Tuhan tidak membutuhkan alam semesta, sementara alam semesta membutuhkan Tuhan.

Ajaran tasawuf al-Singkili yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan: Pertama, martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, yang mana alam pada waktu itu masih merupakan hakikat ghaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awwal, yang mana sudah tercipta haqiqat Muhammadiyyah yang potensial bagi terciptanya alam.

Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan a’ayyan al-tsabitah dan dari sinilah alam tercipta. Menurutnya, tingkatan itulah yang dimaksud Ibn’ Arabi dalam sya’ir-sya’nya. Tetapi pada tingkatan wahidiyyah atau ta’ayyun tsani, alam sudah memiliki sifatnya sendiri, tetapi Tuhan adalah cermin bagi insan kamil dan sebaliknya. Namun, Ia bukan ia bukan pula yang lainnya. Bagi al-Singkili, jalan untuk mengesakan Tuhan adalah dengan zikir: “la illaha Illa’llah” sampai tercipta kondisi fana’. Tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh Abdur Rauf al-Singkili.

Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga; Pertama, Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Paham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1- Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, bedanya oleh al Singkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Singkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya, Dia selalu memikirkan (berta’akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (al-‘ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (al-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya. Ajaran tentang ketuhanan al-Singkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syeikh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari’at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.

Bagian kedua, Insan Kamil atau manusia ideal. Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensiNya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga “Ia adalah Dia.” Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi–dari Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad SAW– dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka. Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.

Bagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari’at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat alikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma’nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.

Pendekatan al-Singkili pada pembaharuan berbeda dari pendekatan al Raniri, Singkili merupakan mujaddid bergaya evoluasioner, bukan radikal. Karenanya, seperti Ibrahim al-Kurani, dia lebih suka mendamaikan pandangan-pandangan yang saling bertentangan daripada menolak salah satu di antaranya. Meski dia tidak setuju pada aspek tertentu doktrin Wujudiyah hanya secara implisit dia menyatakan pandangan-pandangan itu. Begitu pula, dia menunjukkan
ketidaksukaannya pada pendekatan radikal yang ditempuh al-Raniri semata mata dengan cara yang tidak mencolok, seperti dikemukakan.

Penutup

A. Kesimpulan

Abdul Rauf al Singkili adalah seorang ilmuwan Aceh yang sangat terkenal dan cukup produktif. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa karyanya mengenai ilmu Fiqh, Tasawuf, Tauhid, Tafsir dan Hadis. Melalui karya karyanya ini menyebabkan para ilmuwan memberikan penilaian yang berbeda, ada yang menganggapnya sebagai seorang teolog dan adapula yang menilainya sebagai seorang penyair religious. Selama masa karier Abdul Rauf al Singkili, perkembangan politik di Kesultanan Aceh mempunyai ciri yang paling menarik yaitu kesultanan di pegang oleh empat orang sultanah berturut turut. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Abdul Rauf memang menerima pemerintahan yang dipegang oleh wanita. Suatu pemerintahan yang sangat kontrofersi pada masa itu. Boleh jadi ini merupakan tindakan politiknya, tetapi pada sisi lain juga menunjukkan bahwa ini adalah toleransi pribadinya.

Pemikiran Singkel tentang hadis, ia menulis 2 karya dalam bidang ini, yang pertama adalah Syarah Latif ‘ala Arba’in Hadisan li Imam an Nawawi, ini merupakan penafsiran mengenai 40 hadis karya al-Nawawi, yang kedua adalah al-Mawa’iz al-Badi’ah, sebuah koleksi hadis qudsi. Singkel memiliki peranan penting bagi perkembangan islam di Nusantara dalam bidang fiqih, teologi, tasawuf, tafsir dan hadis. Dalam bidang tafsir, ia adalah alim pertama yang melakukan penafsiran Alquran secara lengkap dalam bahasa Melayu.

Daftar Pustaka

Maslakil-, Umdatul-muh T Ā J Ī N I L Ā S U L Ū K I. “Tentang Tauhid Dan Zikir Dalam Kitab Mufarrid Ī N,” 2010.
Munandar. “PERKEMBANGAN HADIS DI INDONESIA (Studi Analisis Pemikiran ‘Abd Rauf as-Sinkili ).” إحياء العربية 4 (2014): 113–23.
Rosyadi, Muhammad Imron. “Pemikiran Hadis Abdurrauf As-Singkili Dalam Kitab Mawa’Izat Al-Badi’Ah.” Diroyah : Jurnal Studi Ilmu Hadis 2, no. 1 (2018): 55–62. https://doi.org/10.15575/diroyah.v2i1.2495.
Wirianto, D. “Meretas Konsep Tasawuf Syaikh Abdurrauf Al-Singkili.” Islamic Studies 1, no. 1 (2012): 103–16. https://www.academia.edu/download/54939827/Meretas_Konsep_Tasawuf_Syaikh_Abdurrauf_al-Singkili.pdf.

Penulis
Sri Rahayu

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.