PENULIS SATU – SATUNYA TAFSIR ISY-‘ARI NUSANTARA: KYAI SHOLEH DARAT SEMARANG (C. 1820 – 1903)
Nama lengkapnya adalah Muḥammad Sholeh bin ‘Umar as-Samārānī.
محمد صالح بن عمر السماراني.
Namun masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai Kyai Sholeh Darat.
Dia adalah Seorang Penulis produktif yang karyanya diterbitkan dan menyebar luas mencapai dunia Islam Nusantara, Mesir, dan bahkan Turki Utsmani.
Beliau juga Guru dari banyak tokoh terkemuka selama kelahiran negara bangsa, Indonesia.
Selain itu, Beliau adalah penafsir penting Imam al-Ghazzālī (w. 1111) bagi masyarakat Indonesia pada akhir abad ke-19.
Kiai Sholeh lahir sekitar tahun 1820 M dari keluarga Kyai di Jepara, Jawa Tengah, Indonesia (Majmū‘āt al-Sharī‘at al-Kāfiyat Li al-‘Awwām Karya Syaikh Muhammad Shalih ibn Úmar al-Samarani. Suatu Kajian Terhadap Kitab Fiqih Berbahasa Jawa Akhir Abad 19, 21).
Ayahnya, Kyai ‘Umar adalah pendukung Pangeran Diponegoro (1785-1855) dalam Perang Jawa tahun 1825-1830 (Sejarah dan Perjuangan Kyai Sholeh Darat Semarang, 5).
Setelah menimba ilmu di Mekkah, dia menikah dengan Putri Shahabat ayahnya dalam perjuangan Diponegoro, Kyai Murtadha.
Beliau kemudian melanjutkan mengajar di Pesantren mertuanya di Semarang (Warisan Intelektual Islam Jawa Dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih As-Samarani, 55).
Setelah merantau di beberapa pesantren di Jawa, pada sekitar tahun 1835 M, Kyai Sholeh bersama ayahnya berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studinya . (Warisan Intelektual Islam Jawa Dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih As-Samarani, 44).
Di Mekah sampai sekitar tahun 1870 M, Kyai Sholeh belajar dengan beberapa ulama penting. Salah satu guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Aḥmad bin Zaynī Daḥlān (W. 1886)
Dari siapa Kiai Sholeh mempelajari Iḥyāʼ Ulm al-Dīn karya Imam al-Ghazzālī di mana ia menerima ijazah, rantai transmisi yang kembali ke Penulis Kitab. (Al-Murshid al-Wajīz Fī ‘Ilm al-Qu’ān al-‘Azīz, 119).
Setelah belajar, Kyai Sholeh kembali ke Semarang, Jawa Tengah.
Sisa hidupnya didedikasikan untuk mengembangkan Pesantren Darat dan mendidik umat Islam awam melalui kajian kolektif rupa pengajian umum (majlis ta‘līm). Pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan (W. 1923) dan Pendiri Nahdlatul Ulama, Kyai Hasyim Asy’ari (w. 1947) dikabarkan pernah menimba ilmu di pesantren Kyai Sholeh.
Beliau juga mendedikasikan hidupnya untuk mendidik dasar-dasar ilmu keislaman melalui Penulisan buku-buku dalam aksara Pegon (aksara modifikasi Arab yang digunakan untuk menulis dalam bahasa Jawa).
Penyusunan buku-buku Pegon menunjukkan perhatian Kyai Sholeh untuk menerangi kegelapan di bidang pendidikan.
Kyai Sholeh menandai semangat baru pada tradisi penulisan buku-buku dalam bahasa daerah yang memuat ajaran Islam ortodoksi terbatas berdasarkan kitab-kitab Islam klasik.
Sementara mengakui peran penting yang dimainkan bahasa Arab dalam pengajaran Islam, Kyai Sholeh mengklarifikasi bahwa:
“Ilmu yang bermanfaat” (‘ilm al-nāfi‘) tidak harus ditulis dalam bahasa Arab (Sabīl al-’Abīd ’ala Jauharah at-Tauḥīd, 2).
Ia mengkritik Para Ulama’ pada waktu itu yang melarang orang awam mempelajari Islam melalui terjemahan, baik dalam bahasa Melayu atau bahasa Jawa, karena menyesatkan mereka (Sabīl al-’Abīd, 66).
Jika syarat mempelajari Islam adalah memahami bahasa Arab, kata Kyai Sholeh, maka banyak umat Islam yang tidak akan pernah bisa masuk Islam secara utuh (Al-Murshid al-Wajīz, 4).
Pada abad ke-19, pengajaran Islam bagi masyarakat awam di Indonesia pada umumnya pada tataran membaca teks Al-Qur’an dengan sedikit penetrasi pemahaman makna.
Seorang yang semasa dengan Kyai Sholeh, Raden Ajeng Kartini (W. 1904) mengeluhkan penekanan pada aspek: “Kesucian Al-Qur’an” sementara mengabaikan upaya penerjemahan. Padahal, menurutnya orang Jawa tidak tahu apa-apa tentang bahasa Arab.
Keistimewaan memahami Al-Qur’an adalah kalangan elit agama, termasuk Kyai dan Santri Pesantren.
Oleh karena itu, tafsir Al-Qur’an Kyai Sholeh dalam bahasa daerah merupakan upaya untuk memperluas ruang lingkup ortodoksi pembelajaran di luar komunitas Pesantren sehingga juga mencakup masyarakat awam.
Di kalangan Ulama’ di Nusantara saat itu, Kyai Sholeh menempati tempat yang dimuliakan. Kyai Sholeh dikenal dengan sebutan: “Ghazzālī Kecil” (al-Ghazzālī al-Ṣagīr) oleh Kyai muda Jawa (Saleh Darat: Muhammad Sâlih b. `Umar al-Samarânî, 25-26).
Sebutan ini menunjukkan fakta bahwa Beliau – seperti yang dilakukan oleh al-Ghazzāl – menekankan pemahaman kolaboratif antara Syariah dan Tasawuf yang tidak dapat dipisahkan dalam tubuh Islam.
Selain itu, al-Ghazzāli selalu menjadi sumber penting yang pendapatnya dirujuk oleh Kyai Sholeh di hampir semua kitab Pegon-nya.
Kiai Sholeh menunjukkan bahwa ia menyadari perdebatan antara Kyai yang berorientasi syariah versus mistik (Minhāj Al-Atqiyā’ Fī Sharḥ Ma‘rifat al-Adhkiyā’ Ilā Ṭarīq al-Awliyā’, 210).
Meskipun tidak ada informasi yang valid tentang inisiasi Sholeh ke dalam satu Tarekat, Beliau mendukung keberadaannya dan melarang orang-orang mengutuk organisasi Tarekat (Minhāj Al-Atqiyā’, 210).
Faktor lain dari kecenderungan ini adalah terlindungnya masyarakat awam dari ajaran-ajaran yang bisa menggelincirkan dari beberapa pengarang Muslim-Mistik Jawa yang mungkin tanpa sadar menjauhkan Aqidah Islam yang valid dari umatnya.
Karya-karya mereka ini, seringkali menjadi sumber kesalahan pemahaman, sehingga masyarakat Muslim meninggalkan pemahaman syariah (lahir) dan hanya berpegang pada ajaran mistik (batin).
Kyai Sholeh secara tegas melarang orang awam membaca beberapa karya suluk karya pujangga Jawa akhir abad XIX yang mengajak untuk meninggalkan ajaran Islam (Majmū‘āt al-Sharī‘at al-Kāfiyat Li al-‘Awwām, 27).
Beliau juga percaya bahwa orang-orang umum harus dijauhkan dari waḥdat al-wujūd.
Beliau melarang orang awam membaca kitab-kitab yang mempromosikan konsep ini pada saat itu seperti: Tuḥfah al-mursālah dan al-Insān al-Kamīl (Majmū‘āt al-Sharī‘at, 27).
Kyai Sholeh juga terkenal karena pandangannya yang anti-Belanda.
Setelah kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, Para Kyai tradisional ditarik dari “perang fisik” dan kembali ke Pesantren untuk berperang dalam pertarungan kultural.
Kiai Sholeh menghidupkan kembali gagasan untuk mengidentifikasi yang tertindas dari yang menindas (Kyai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M, 121–22).
Mengacu pada hadits Nabi Shalallahu alayhi wa Sallam dia menyatakan bahwa haram hukumnya bagi umat Islam untuk berpakaian seperti orang Eropa.
Dia berkata: “Beberapa ulama Al-mmMuḥaqqiqin menyebutkan bahwa seseorang yang memakai selain pakaian muslim seperti jas, topi dan dasi, dianggap sebagai murtad”. (Majmū‘āt al-Sharī‘at, 24–25).
Sebaliknya, tidak hanya pada pakaian, tetapi Muslim awam juga diberitahu untuk tidak meniru setiap perilaku yang spesifik dari budaya Barat pada umumnya. (Majmū‘āt al-Sharī‘at, 25–26).
Kuatnya pendirian Kyai Sholeh terhadap penjajah juga dimaksudkan untuk menjauhkan umat Islam sejauh mungkin dari kontak dengan Belanda. Kyai Sholeh menyatakan bahwa bekerja untuk pemerintah Belanda sama dengan menjadi “Hamba Rezim Dhalim” (khādim al-ẓulmah) yang merupakan salah satu dosa besar (Minhāj Al-Atqiyā’, 67). Untuk mencegah santri menjadi abdi Belanda.
Beliau menyatakan bahwa Ulama’ dilarang mengajar murid-murid yang dikenal jelas ingin dengan ilmunya menjadi penghulu, jabatan resmi yang bertanggung jawab atas masalah-masalah agama di bawah pengadilan kolonial Belanda.
Lebih dari masalah kehidupan sosial, Kyai Sholeh juga ikut campur dalam agenda politik.
Pada tahun 1883, Konsul Belanda di Jeddah melaporkan bahwa Kyai Sholeh dari Semarang mengundang Kesultanan Utsmaniyah untuk ikut campur melawan Hindia Belanda di Jawa.
(Saleh Darat: Muhammad Sâlih b. `Umar al-Samarânî, 25-26).
Kyai Sholeh wafat pada tanggal 28 Ramadhan 1321 H. Atau 18 Desember 1903 M di Semarang.
Beliau dimakamkan di pemakaman umum Bergota. Pada tanggal 10 Syawal, ada peringatan tahunan (ḥaul) untuknya dengan ribuan Peziarah dari berbagai daerah di Indonesia.
والله اعلم بالصواب
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم