Perlawanan Madrasah Kiai Ahmad Dahlan
Pemerintah Kolonial Belanda memang licik. Utamanya, dalam menelurkan kebijakan-kebijakan pendidikan bagi rakyat pribumi.
Hal tersebut menjadikan seorang ulama asal Yogyakarta merasa tak bisa lagi berharap banyak. Sosok yang bernama KH Ahmad Dahlan itu, kemudian berinisiatif mendirikan madrasah sebagai bentuk perlawanan.
Kiai Ahmad Dahlan menyulap ruang tamu rumahnya menjadi semacam kelas. Dalam bangunan yang cuma berukuran 2,5 x 6 meter tersebut, ia isi dengan 3 buah meja, 3 bangku, dan 1 papan tulis. Sebanyak 9 orang murid angkatan pertama, sebatas berasal dari sanak keluarga dan tetangga dekat.
Kegigihan Kiai Ahmad Dahlan ini, mengawali tekadnya mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, yang kelak, memiliki ribuan lembaga pendidikan yang tersebar nyaris di seluruh Indonesia.
Diskriminatif
Dengan misi kolonialisme, Pemerintah Hindia Belanda tidak sedikit pun membiarkan kaum pribumi memperoleh pengetahuan secara leluasa. Terlebih, meraih pendidikan Islam.
Oleh Pemerintah Kolonial, pendidikan Islam dikategorikan sebagai sekolah liar. Segala peraturan yang menyulitkan pun sengaja diterbitkan. Dengan harapan, sekolah-sekolah rakyat dan partikelir, termasuk madrasah, tak dapat bertahan dan gulung tikar.
Kiai Ahmad Dahlan, rupanya cukup teruji dalam hal pendidikan berikut tantangan-tantangan di dalamnya. Di tengah tekanan penjajah, madrasah yang baru didirikannya itu tetap mampu menarik minat banyak orang. Enam bulan sejak pertama dibuka, ruang tamu yang terbatas itu pun terus disesaki murid baru hingga membengkak menjadi 20 anak.
Ahmad Faizin Karimi, dalam Pemikiran dan Perilaku Politik Kiai Haji Ahmad Dahlan (2012) menyebut, kepiawaian Kiai Ahmad Dahlan dalam mengelola madrasah ini diserap dari Rasyid Ridha. Perjumpaannya dengan ulama modernis asal Suriah itu diawali ketika Kiai Ahmad Dahlan berangkat haji untuk yang kedua kalinya pada 1902.
Lagi pula, sekembalinya dari Tanah Suci, Kiai Ahmad Dahlan juga sempat mengajar di Sekolah Menengah Gouvernement Yogyakarta. Ditambah, tokoh yang memiliki nama asli Muhammad Darwis tersebut juga memiliki kedekatan dengan banyak aktivis pergerakan di Budi Utomo.
“Pada bulan ke tujuh, Kiai Dahlan mendapat bantuan guru dari Budi Utomo tamatan Kweekschool yang belum menerima penetapan tempat mengajar dari Gouvernement. Madrasah Kiai Dahlan menjadi tempat magang bagi guru-guru Kweekschool yang belum bekerja. Pada hari Minggu, di madrasah itu diisi dengan diskusi agama oleh Kiai Dahlan,” tulis Faizin.
Penjajah Belanda, tentunya tak tinggal diam. Pada babak berikutnya, Pemerintah Kolonial terus menumpuk dan memperbanyak aturan yang sangat mengekang gerak pendidikan di madrasah.
Ambil misal, menerbitkan aturan yang masyhur disebut Ordonansi Guru. Undang-undang yang diberlakukan mulai 1905 itu mengharuskan pengajar pendidikan Islam mendapatkan izin tertulis dari Pemerintah Hindia Belanda.
M.B. Hooker, dalam Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial (2003) menjelaskan, dalam aturan itu juga disebutkan bahwa daftar mata pelajaran sekaligus nama-nama murid harus disetorkan. Merasa masih ada celah, pada 1933 Pemerintah Kolonial kembali menerbitkan aturan Wilde Schoolen Ordonantie, penertiban sekolah liar.
“Peraturan itu dikeluarkan untuk mematikan sekolah Islam, termasuk madrasah,” tulis Hooker.
Sepuluh tahun sebelum itu, tepatnya jelang Persyarikatan Muhammadiyah dideklarasikan, penjajah Belanda kian menekan ruang gerak Kiai Ahmad Dahlan.
Perjuangan Pendidikan
Pengujung Desember 1912, Persyarikatan Muhammadiyah yang sudah didirikan sebulan sebelumnya belum diperbolehkan Pemerintah Kolonial untuk disiarkan kepada masyarakat. Kiai Ahmad Dahlan, selaku ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah segera mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alexander Willem Frederik Idenburg di Batavia.
Isinya, meminta agar Muhammadiyah lekas diberi statuten oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dengan itu, Kiai Ahmad Dahlan merasa akan lebih mudah mengembangkan pendidikan Islam melalui rumah gerakan yang baru saja didirikannya.
Nahasnya, Pemerintah Kolonial sengaja menyambut surat itu secara bertele-tele. Untuk meloloskan izin, Belanda mengatakan harus berembuk terlebih dahulu, paling tidak, dengan melibatkan sebanyak 4 lembaga, yakni Gubernur Jenderal, Directur van Justitie (Pengadilan), Adviseur Voor Inlandsce Zaken (Penasehat urusan pribumi), serta Residen Yogyakarta.
Seperti yang sudah diduga sebelumnya, keempat lembaga itu kompak menolak permohonan Kiai Ahmad Dahlan agar diberikan keleluasaan bagi Persyarikatan Muhammadiyah untuk bergerak seluas wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
“Pada 21 April 1913, barulah Residen Yogyakarta Liefrinck menyetujui ruang gerak Muhammadiyah. Itu pun terbatas di Yogyakarta,” tulis Faizin, masih dalam buku yang sama.
Atas usulan itu, pada 26 Januari 1914 Pemerintah Hindia Belanda meralat rancangan statuten Persyarikatan Muhammadiyah. Kalimat “Hindia Belanda” dalam pasal ruang gerak diganti dengan “Residen Yogyakarta”. Pada 2 Agustus 1914, Belsuit alias keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang amat dinanti itu pun terbit. Dengan konsekuensi, gerakan Muhammadiyah tetap dibatasi.
Kiai Ahmad Dahlan tak menyerah. Dengan penuh kesabaran, surat permohonan berikutnya ia kirimkan kembali pada 20 Mei 1920. Dalam surat itu, Hoofbestuur Muhammadiyah menyertakan beberapa alasan pentingnya memperoleh perluasan izin gerak. Pertama, media yang dikelola ormas berlambang matahari itu, yakni Suwara Muhammadijah memiliki donatur yang menyebar hingga keluar Yogyakarta. Sementara mereka, sangat membutuhkan kehadiran pengajaran Muhammadiyah di daerahnya masing-masing.
Alasan kedua dan ketiga, sebenarnya serupa. Dalam surat itu dituliskan bahwa alumnus Kweekschool Yogyakarta yang pernah mendapatkan pengajaran dari Kiai Ahmad Dahlan dan beberapa anggota Muhammadiyah, sudah berkepentingan di luar Residensi Yogyakarta. Mereka, menuntut agar Kiai Ahmad Dahlan diperkenankan membuka pengajaran selain di Kota Gudeg dan sekitarnya.
“Kelima, peranan Kiai Dahlan sebagai komisaris dan penasehat Islam pada Sarikat Islam (SI) menjadikan beberapa anggota SI ingin mendirikan Muhammadiyah di tempatnya,” tulis Faizin.
Argumen-argumen itu pun, ternyata tak langsung ditanggapi Pemerintah Hindia Belanda sesuai dengan harapan. Pada Agustus 1920, memang diterbitkan Besluit yang menyetujui perluasan ruang gerak Muhammadiyah. Akan tetapi, masih tidak mengizinkan pendirian cabang Muhammadiyah.
Barulah setelah Kiai Ahmad Dahlan kembali menyurati Pemerintah Kolonial pada Mei 1921, empat bulan kemudian, diterbitkan peraturan baru melalui Belsuit No. 36 September 1921.
Sejak itu, Kiai Ahmad Dahlan memiliki sedikit keleluasaan dalam memperjuangkan pendidikan pribumi melalui madrasah-madrasah Muhammadiyah.
Madrasah dan Islam Indonesia
Kiai Ahmad Dahlan merasa begitu penting mempertahankan eksistensi madrasah. Makin dilarang dan diakali Belanda, kian muncul pula beragam masalah.
Sirozi, dalam Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-Tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 21 1989 (2004) menuliskan, setidaknya ada empat dampak yang timbul dari kebijakan pendidikan Pemerintah Kolonial Belanda yang menyulitkan pendidikan Islam dan madrasah.
“Pertama, meningkatnya konflik agama antara kelompok muslim dan nonmuslim, khususnya Kristen. Kedua, terciptanya pemisahan sosial dan kesenjangan budaya antara elite pribumi dan mayoritas rakyat Indonesia. Ketiga, terciptanya polarisasi rasial. Dan keempat, kebijakan kolonial tidak berbuat apa-apa terhadap keterbelakangan pendidikan bangsa Indonesia,” tulis Sirozi.
Madrasah, termasuk oleh Kiai Ahmad Dahlan, tidak melulu diorientasikan demi kepentingan Islam. Melalui lembaga pendidikan tersebut, santri-santri juga diberi wawasan keislaman yang moderat. Madrasah, tidak membeda-bedakan latar belakang demi terwujudnya cita-cita kebangsaan Indonesia.
Contohnya, dengan semangat keislaman yang dimilikinya, hal itu tak menghalangi penghargaan Kiai Ahmad Dahlan atas prinsip persaudaraan, bahkan, dengan yang tidak seiman.
Kiai Ahmad Dahlan tercatat pernah berkunjung ke sebuah lembaga pendidikan milik Yesuit, Kolese Xaverius di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah sekadar untuk meminta saran ketika merintis madrasah sebagai alat perjuangan kesetaraan pendidikan.
“Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dalam rangka mendirikan pendidikan pernah mendatangi Pastoran di Muntilan dan melakukan dialog tentang pendidikan yang bermartabat dan memanusiakan manusia. Kunjungan itu menjadi sumber keragaman bangsa yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan bangsa ini,” kata mantan Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar, sebagaimana dikutip Kompas, pada 12 Agustus 2009.
Alhasil, siasat penjajah juga tepat. Syarat utama membubarkan Islam dan semangat persatuan Indonesia, tiada lain, ialah dengan mematikan madrasah.
Penulis adalah alumnus Madrasah Hidayatul Mubtadiin Ketitang, Cirebon, Jawa Barat. Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon (Ikhwan KHAS).
Sumber : NU Online
Luar biasa perjuangan KH. Ahmad Dahlan…….