Permendikbud 23/2017 Lahir Prematur
Penulis heran dengan orang atau pihak-pihak yang mati-matian membela kebijakan Lima Hari Sekolah (LHS) atau Full Day School (FDS) yang mendasarkan pada Permendikbud 23 Tahun 2017. Kendatipun Presiden Joko Widodo melalui siaran pers yang dibacakan oleh Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin didampingi Mendikbud Muhadjir Effendi telah dibatalkan kemarin (19/6/2017).
Coba cermati dan baca berulang kali Permendikbud 23/2017 tentang Hari Sekolah yang beberapa minggu ini menjadi pemicu konflik dan silang pendapat. Pada Permendikbud itu, bagian menimbang diharapkan untuk pengembangan pendidikan karakter, namun isinya dari 11 Pasal tidak ada yang secara substansial menjadi guideline pengembangan pendidikan karakter sebagaimana digembor-gemborkan selama ini.
Keseluruhan pasal, lebih ditujukan sebagai pemenuhan beban jam mengajar guru. Makanya argumen Mendikbud sering berubah-ubah dari argumen untuk memperkuat pendidikan karakter hingga pemenuhan jam kerja guru.
Tulisan sederhana ini merupakan intisari dari pertemuan kalangan lembaga keagamaan Islam dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI sesaat sebelum konferensi pers pembatalan LHS oleh Presiden Joko Widodo. Perwakilan lembaga keagamaan Islam yang hadir seperti DPP FKDT, RMI, Forum Komunikasi Pondok Pesantren, Badko TPQ dan lain-lain meminta Presiden untuk meninjau ulang pemberlakuan Lima Hari Sekolah.
Keberatan kalangan lembaga pendidikan keagamaan Islam tersebut (MDT, Pesantren dan TPQ) meragukan niat baik Mendikbud tentag penguatan pendidikan karakter yang didesain melalui Lima hari sekolah dengan beban 8 jam sehari. Kurang apa komitmen dan istiqomahnya lembaga pendidikan keagamaan Islam mengembangkan akhlakul karimah, moral dan karakter anak bangsa, sehingga sekolah ingin mengambil alih melalui LHS. Padahal Permendikbud yang lahir lebih menunjuk pada pemenuhan jam kerja guru.
Bagi kalangan Lembaga Keagamaan Islam (LKI), LHS boleh saja diberlakukan asalkan tidak menambah jam belajar menjadi 8 jam sehari, sehingga aktivitas Madin, TPQ dan Pondok Pesantren tetap bisa berjalan seperti biasanya. Apa yang sudah dilakukan oleh masyarakat dalam partisipasi pendidikan nasional jangan dirusak, dengan adanya kebijakan ini.
Sementara demi menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan Dikbud mati-matian berjuang dengan menghabiskan ratusan miliar rupiah. Terwujud dalam kebijakan sekolah berbasis masyarakat (school based society). LHS bagi kami merupakan pengebirian atas partisipasi masyarakat untuk ikut terlibat dalam pendidikan yang telah tertanam ratusan tahun yang lalu.
Faktor keberatan lainnya adalah keraguan masyarakat atas keseriusan Kemdikbud mengawal kebijakan ini dari pusat hingga desa, dari konsep hingga implementasi dan dari Menteri hingga Kepala Sekolah SD, SMP dan SMA/SMK. Sering kali terjadi sebuah kebijakan sangat bagus konsepnya namun rapuh di implementasinya.
Bagaimana konsep sinergi Madin dengan sekolah akan diterapkan, kesiapan SDM sistem pendidkan LHS, pemenuhan sarana dan prasarana sekolah dan Madin hingga menyatukan kepentingan Madin di satu sisi dengan sekolah pada sisi lainnya. Menurut hemat penulis, kedua lembaga pendidikan ini jenis, sistem dan kulturya sangat berbeda. Alih-alih mengembangkan LKI malah akan menghancurkan sesuatu yang telah kita miliki sebagai geniun umat Islam Indonesia.
Karakter Madin adalah karakter nonformal yang lentur (fleksibel), tidak terbatasi dengan segenap aturan. Madin juga lembaga pendidikan yang murah namun tidak kehilangan kualitas. Sementara sekolah sangat rigit dengan berbagai aturan dan kadang sangat ditentukan oleh figur pimpinan yang sangat dinamis berubahnya. Apakah dua senyawa ini mudah disinergikan sehingga dapat membangu harmoni tumbunya anak bangsa yang mempunyai keimanan dan ketaqwaan serta akhlakul karimah yang unggul.
Dikhawatirkan bukan mensinergikan Madin, yang terjadi malah akan melahirkan lembaga pendidikan keagamaan Islam yang aneh-aneh yaitu jauh dari spirit Islam yang rahmatan lil alamin khas Indonesia. Sejarah telah membuktikannya demi sebuah program pemerintah, maka apa yang telah eksis di masyarakat menjadi terdegradasi dan kemudian hilang.
Kemdikbud harus mengakui secara jujur, kebijakan ini memang diperuntukan hanya untuk memenuhi jam mengajar guru, tidak lebih dari itu walau dalihnya untuk mengembangkan pendidikan karakter. Menurut hemat penulis, kalau hanya tujuan itu, mestinya tidak perlu sampai mengubah menjadi LHS cukup seperti biasa dengan Enam Hari Sekoah (EHS). Alih-alih menyelesaikan problem pendidikan, malah menimbulkan kegaduhan dan masalah baru pendidikan nasional.
Terakhir, penulis melihat Permendikbud 23/2017 adalah Permen yang lahir dipaksakan, tidak melalui kajian yang mendalam dan komprehensif, makanya menjadi lahir prematur. Lesson Learn dari peristiwa ini adalah sebagus apapun kebijakan yang tidak dikomunikasikan dengan dengan baik kepada publik hanya akan sia-sia, apalagi program yang tidak mempunyai landasan filosofis, sosiologis serta ideologis masyarakat. Wallahu a’lam bisshowab.
Penulis adalah Ketua Bidang Organisasi Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah (DPP-FKDT) dan Ketua Bidang Kaderisasi Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.
Sumber : NU Online