Perspektif Epistemologis
EPISTEMELOGI ISLAM
Islam (dalam fakultas amaliyah dan ilmiyah) berkembang menjadi peradaban hukum (syariah) dan segala hal yang berkaitan dengan berbagai aturan ibadah, termasuk aturan hukum politik, hukum sosial, ekonomi, hak asasi manusias dengan berbagai perspektif dinamikanya. Bidang-bidang sains empirik, fisika, matematika, technologi, astrolomi, kedokteran, pertanian, geologi, energi, segala hal yang berkaitan dengan tanah dan air, udara, masuk dalam ruang lingkup Epistemologi Islami.
Pada wilayah inilah istilah Islam mengenalkan wilayah ijtihad. Suatu aktifitas ilmiah yang sangat ketat dan berurusan dengan alam fikiran dan akal yang dicurahkan untuk mengambil keputusan-keputusan ilmiah piranti-piranti ijtihad inilah yang menjadi orientasi Epistemologi Islami. Tidak sekadar pada keputusan akan mana yang benar dan salah terhadap hukum syariat, tetapi juga pemberian seluas-luasnya untuk wilayah kontemplasi fikiran dan aktivasi akal terhadap objek-objek ilmu pengetahuan di bidang fisika dan eksoterisme.
Fungsi akal juga menjadi monitor atas seluruh perkembangan pengamatan fikiran, bahkan kelak juga menyelubungi wilayah pengamatan di wilayah peradaban Iman dan Peradaban Ihsan.
Fungsi akal terus menjembatani dan mengingatkan, agar proses “drama filosufi yang berseri” tidak saling memisah dan tidak saling mengintervensi satu sama lain, tetapi dalam ruang organism akomodatif yang utuh dalam diri manusia. (Ingat tragedi aliran-aliran filosufi dalam teologi Islam, dengan munculnya aliran Qadariyah dan Jabariyah), disebabkan oleh intervensi wilayah apresiatif epistemologis yang tidak proporsional, sehingga muncul dalam polemik spirtitual-teologis, saling saling mengklaim kebenaran final.
Benarkah wilayah epistemologi islami memberikan kebebasan ijtihad secara terbatas? Sejauhmana ruang ijtihad itu mendapatkan kemerdekaannya? Sebenarnya wilayah ijtihadiyah dalam epoistemology ini, terbatasi oleh Instrumennya sendiri, yaitu relativitas fikiran atas objek-objek ilmu pengetahuan yang tak terbatas, apalagi objeknya adalah Pengatahuan Allah yang absolute (Al-Qur’an dan Sunnah NabiSaw.). Dalam hal-hal yang berhubungan dengan wilayah metafisika, posisi fikiran sebagai instrument pun tetap sama. Karena itu apresiasi fikiran yang dijustifikasi oleh akal, dan diputuskan oleh hati (qalbu) adalah keseluruhan proses yang terus menerus dalam menempuh “Jalan Pengetahuan” yang tak terhingga.
Karena itu Epistemologi Islam tetap berkisar pada wilayah renungan pemikiran yang beradaptasi (sekaligus objek fikiran): dengan ruang dan waktu, bentuk dan warna, penjuru dan arah, bunyi dan bahasa, jauh dan dekat, gerak dan diam, dengan hukum-hukum kebenaran yang terukur oleh nalar fikiran itu sendiri.
Islam memberikan ruang fikiran dalam dimensi-dimensi tersebut, yang kelak juga melahirkan norma-norma hukum (baik itu hokum fiqih, maupun hokum-hukum pengetahuan alam). Di sini silabus pemikiran kita terarahkan oleh berbagai dukungan lainnya, seperti faktor bahasa dengan logika dan sastranya, latar belakang dan tujuan utamanya (semisal dar’ul mafasid wa jalbil mashalih dsb.).
EPISTEMOLOGI IMAN
Iman berkembang menjadi fakultas-fakultas filosufi teologis dan aksiologis yang kelak mempengaruhi cara pandang akidah ummat. Dengan perjalanan historiknya yang begitu ketat, “Peradaban Iman” telah berpengaruh dalam sejarah agama (Islam) ini penuh dialektika yang luar biasa. Inilah yang berkembang menjadi bagian-bagian sentra dari psikhologi beragama dan etika beragama (morality).
Oleh karena itu peradaban iman, secara epistemologis akan mempengaruhi tugas-tugas fakultas batin manusia, sejauhmana apresiasi, fungsi dan posisi alam fikiran, alam nafsu, alam Qalbu, alam Akal, alam Ruh, melahirkan organism teologis yang berkaitan dengan alam semesta, Tuhan dan diri sendiri. Suatu wilayah dan atmosfir akidah yang begitu cemerlang. Inilah yang saya sebut dengan Epistemology Iman.
Epoistemologi Imani berhubungan erat dengan Ontologi, yang kelak secara teoritis, manusia meyakini Kebenaran Hakiki, Tujuan Hakiki, dan bagaimana menempuh Jalan menuju Yang Maha Benar. Ilmu Agama dan Praktek Agama (Amaliyah dan Ubudiyah), bertperan besar dalam reproduksi pengetahuan-pengetahuan teologis, yang tentu saja apresiasi Fikiran dan Akal mengalami transformasi dari renungan Fisika menuju Renungan Metafisik, dari Akal Fisika menuju Akal Metafisik dengan logika-logika yang membuka “Rasa Yaqin yang nyata” (‘ainulk yaqin) sebagai wujud Keimanan.
Inilah wilayah Qalbu, dan bagaimana Qalbu mengapresiasi sejumlah elemen batin untuk dijadikan sumber pengetahuan. Ilmu-ilmu syariah dan ilmu-ilmu hakikat berpadu dalam Qalbu untuk menaikkan terus menerus dejarat keimanan. Semakin tinggi pengetahuan seseorang, semakin tinggi derajatnya di hadapan Allah Swt, karena apresiasi Qalbu dari oleh fikiran dan pandangan Mata Qalbu (Akal, Bashirah) terus membubung dalam nuansa Khasyyah (rasa takut dan cinta) kepada Allah Swt.
Antara Pengetahuan dan “Perilaku Batin” bergerak, dan fungsi-fungsi fikiran serta akal mengalami peningkatan derajatnya masing-masing. Transformasi menuju renungan batin dan terbukanya mata batin menjadi point-point utama dalam kehidupan pengetahuan batin.
Dalam konteks Epistemologi Imani, bisa diurai dalam fungsi yang begitu mekanis, logis dan Akal Qalbu terus membimbing melalui pandangannya.
Namun ada hambatan besar yang mesti disibak agar sumber pengetahuan yang hakiki, yang seringkali menjadi lapisan-lapisan tirai kegelapan yang menutup pandangan Akal yang jernih. Lapisan ini dsiebut dengan Hawa Nafsu.
Maka kinerja Qalbu akan membuat keputusan atas pengetahuan, apakah Qalbu memihak pada Hawa Nafsu atau memihak pada Pandangan Bashirahnya, yang telah dipancari oleh Cahaya Kebenaran Hakiki, yang dihidupkan melalui Ruhnya. Maka konsentrasi Epistemology Imani akan berorientasi pada metode-metode khusus (yang menurut istilah dunia Tasawuf disebut Thariqah) melalui Mujahadah (Perlawanan Nafsu Bathiniyah), sebagai bagian unik dari Epistemology ini.
Di sini digambarkan, Qalbu adalah Istana Spesial Ilahiyah, sekaligus raja yang memanage seluruh proses Kebenaran (melalui tafaqquhnya)agar dijalankan oleh para aparat dan rakyatnya.
Secara fundamental ada elemen-elemen yang berhubungan dengan wilayah ini, untuk difaahami agar fiungsi masing-masing tidak saling tumpang tindih, dengan tahap dan derajat spiritualitas kebenaran menuju Sang Maha Benar.
Derajat Epistemology Imany inilah yang akan memberikan respon Pengetahuan yang lebih tinggi. Dan karenanya perlu dijadikan renungan lebih dalam hal-hal yang berkaitan dengan wilayah mana yang elementer, suplementer, dan fundamental, tetrmasuk response-responsinya terhadap alam fisika (al-mulk wasy-syahadah):
EPISTEMOLOGI IHSAN
“Engkau melihat matanya berlinang karena kema’rifatan mereka pada Allah” (Al-Maidah 83).
Ihsan, secara umum adalah manifestasi dari tindakan (amaliyah) Islam dan Iman, yang menjadi puncak dari ontology dan manifestasinya (tahaqquq). Dalam bidang-bidang ilmiyahnya kelak dieksplorasi oleh dunia Tasawuf, sebagai disiplin ilmu bagi Al-Ihsan. Peradaban Ihsan adalah puncak dari dialektika dan sekaligus wujud nyata dari “kebenaran puncak” yang selama ini dilalui dalam Islam dan Iman. Varian-varian peradaban Tasawuf misalnya menggambarkan betapa dalamnya relung-relung hakikat, sekaligus begitu merdeka dan liberalnya, ketika manifestasinya bersinggungan dengan titik pandang epistemologis dan folusufis secara umum. Disinilah saya sebut sebagai epistemology paling unik dan misterius, namun sekaligus begitu sederhana dan bersahaja.
Ruang lingkup epistemologinya, mengeksplorasi wilayah Rahasia Ruh (Sirr) yang diberlakukan secara metodologis maupun paedagogis oleh para Sufi Agung (Syeikh dan Mursyid) terhadap para penempuh Jalan Allah (Thariqah). Puncak moral yang agung akan terus mengalirkan mata airnya, menempuh liku jurang dan sungai, hingga bermuara ke lautan demi lautan yang tak terhingga kedalamannya, dari satu rahasia ke rahasia lainnya tanpa batas. Wacana ini bukanlah apologia atas ketidakmampuan manusia memasuki lembah hakikat secara final, lantas finaslisasi atas kebodohan manusia sebagai klaim akhir dari kebenaran.
Pada wilayah ini, ada nuansa upaya sang hamba untuk meraih kebenaran hakikat melalui perwujudan hakikat itu sendiri. “Dekonstruksi epostemologis” berjalan di sini, ketika akal dan fikiran harus memposisikan sebagai akibat dari sebuah proses pencahayaan kebenaran dari Allah swt. Oleh karena itu objek-objek dalam epistemolgi Ihsani adalah Allah, Dzat yang Dima’rifati (al-Ma’ruf), dan karenanya manifestasi-manifestasi (Tajalli) Ilahi, memancarkan Sifat dan KarakterNya, dalam limpahan-limpahan Cahaya (al-Muwajahah).
Ilmu, ma’rifat, pemahaman, pembenaran dan maujud hakikat bukanlah tujuan dalam proses epistemologisnya, namun limpahan-limpahan anugerah itulah yang membuat dinamika hakikat menghantarkan perjalanan masing-masing elemen dalam jiwa untuk hidup dan menemukan hakikat dirinya.
“Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, dan apabila engkau tidak bisa melihatNya, maka Dia melihatmu.” Demikian Sabda Nabi Saw.
Menyembah dan seakan-akan melihat yang disembah adalah wujud paripurna dari hakikat pengetahuan (ma’rifah), yang berarti juga memandang melalui pandanganNya, sehingga yang tampak adalah manifestasi Cahaya Nama dan SifatNya, yang kelak memancarkan hikmah dan pengetahuan.
Secara Epistemologis memang terjadi struktur yang berurutan:
Pertama metode Tazkiyah (wayuzakkiihim)
Kedua metode ilmiyah (wa-yu’allikhum al-kitaab)
Ketiga, proses munculnya hikmah-hikmah pengetahuan.
Hal demikian menunjukkan bahwa Tazkiyah, adalah awal yang kelak memantulkan cahayaNya, disertai penyucian qalbu (Tathhirul Qulub). Inilah Suasana Tanwirul Asrar, memantul dalam Qalbu, lalu memancarkan cahaya yang membuka akal, untuk memberi struktur ilmu pengetahuan. Kelak populer di kalangan Sufi, dengan metode Takhalli, Tahalli dan Tajalli, atau Tazkiyah, Tathhir, Tanwir.
Disini semakin jelas, cahaya melahirkan kehidupan ruhani, lalu menjadi perilaku ruhani (adab), kemudian melahirkan amal (akhlak), baru lahir ilmu pengetahuan.
Dalam pola Metodology Ihsany muncul berbagai pendekatan dan proses spiritual yang sangat mengagumkan. Lahirnya istilah-istilah Tasawuf, seperti Fana’, Baqa’ Taraqqy, Tanazzul, Mahw dan Shahw, Mukasyafah, Muhadharah, Mufatahah, Mujalasah, Muhadatsah, Muthalaah, dan sejumlah sistematika Maqomat dan Ahwal tidak lepas dari pendekatan Epistemologi Ihsani yang dibangun oleh para sufi.
Begitu juga terminologi yang muncul secara metaforal dan – khususnya berkaitan dengan refleksi teologis, — kita kenal disana semisal pembagian sistematik antara Tanzih, Tasbih, Tajrid, Tafrid, Tauhid, dan sebagainya, semisal Nurun ala Nur, Nuuril anwaar, Nurun Muhammadiyah, Nuurun Ahmadiyyah, Nur Tawajjuh, Nuur Muwajahah, dan sebagainya, merefleksikan sebuah pendekatan pemahaman perilaku spiritual Sufi yang sangat kaya pengetahuan