The news is by your side.

Pesantren Sebagai Pusat Budaya Orang Sunda

Oleh H. USEP ROMLI H.M.

Pesantren Sebagai Pusat Budaya Orang Sunda | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa BaratPESANTREN merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa termasuk Jawa Barat. Lembaga ini sudah ada sejak permulaan abad ke-16. Paling tidak, demikianlah informasi yang tercatat dalam “Serat Centini” dan “Serat Cebolek”. Opus magnum karya sastra Jawa kuno yang tersusun pada abad ke-19 itu menyebutkan bahwa sejak permulaan abad ke-16 di nusantara telah banyak dijumpai pesantren besar yang mengajarkan kitab-kitab Islam klasik di bidang fikih, teologi, dan tasawuf. Bahkan, “Serat Centini” menyebutkan judul-judul kitab yang diajarkan pesantren masa itu, seperti Mukarrar (al Muharrar, karya Imam Rafi’i), Sujak (mungkin kitab Taqrib karya Ibnu Suja), Ibnu Kajar (Ibnu Hajar al Haitami, penulis kitab Tuhfatul Muhtaj?), Samarqandi (Abu Laits Muhammad Abu Nasr as Samarqandi, penulis kitab Ushuludin, tanpa judul, sehingga terkenal dengan sebutan pengarangnya), Humuludin (Ihya Ulumuddin karya Imam Gazali), Sanusi (Abu Abdallah Muhammad Yusuf as Sanusi al Hasani, penulis kitab Ummul Barahin atau Durrah yang membahas akidah dari sudut pandang tarekat Sanusiyah), dan lain-lain.

Di luar Jawa terdapat lembaga pendidikan semodel pesantren dengan nama atau istilah lain, seperti meunasah di Aceh dan surau di Sumatra Barat. Kitab-kitab yang dipelajari di sana nyaris sama dengan kitab-kitab di pesantren Pulau Jawa. Pesantren semakin mempertegas eksistensi dan peranannya di tengah masyarakat setelah invasi kaum kolonialis-imperialis Belanda meluas ke berbagai bidang di luar bidang ekonomi.

Menurut catatan sejarah, Islam masuk dan berkembang di nusantara sekira abad ke-13 sampai dengan 14. Abad ke-16 datang gelombang ekspedisi Portugis, Spanyol, dan Belanda. Mereka mengukuhkan diri sebagai kaum penjajah dengan merebut beberapa wilayah nusantara yang dikuasai kesultanan-kesultanan Islam dari Banten hingga Maluku. Belanda, melalui institusi perdagangan “Hindia Timur” (VOC) berhasil menancapkan cakar kekuasaan pada tahun 1602 dan berlanjut hingga 350 tahun kemudian.

Pusat Perlawanan

PADA masa inilah pesantren tampil sebagai pusat perlawanan, baik kultural maupun politik dan ekonomi. Bahkan, pada saat-saat tertentu menjadi basis-basis kekuatan militer. Perang terhadap kaum kolonialis-imperialis Belanda sebagian besar dicetuskan kiai atau ulama pesantren. Sejak perlawanan Mataram (1628-1629) yang dipimpin Sultan Agung bergelar Hanyokrokusumo Ing Alogo Sayyidin Panotogomo, Perang Diponegoro (1825-1830) dengan tokoh Pangeran Diponegoro (bangsawan yang mendalami tasawuf didukung kaum santri pimpinan Kiai Mojo), Perang Padri (1821-1837) yang digerakkan Imam Bonjol (tokoh Islam reformis), pemberontakan Cilegon (1885) pimpinan Kiai Wasid dan Kiai Tapa, hingga pemberontakan Cimareme Garut (tahun 1918) pimpinan Haji Hasan dan pemberontakan Sukamanah (1944) pimpinan K.H. Zainal Mustopa.

Sebagai pusat pendidikan agama dengan ciri khas struktur bangunan yang padu satu sama lain (pondok tempat tinggal santri, masjid, dan rumah kiai) yang menaungi lingkungan “masyarakat kecil” santri, pesantren mengutamakan misi pengajaran, pengetahuan, pembentukan akhlak mulia, dan keterampilan untuk menopang kemandirian. Akan tetapi, lebih dari itu pesantren ternyata mampu menyebarkan aspek-aspek budaya yang bersifat lahiriah. Di tengah kesibukan kiai mewariskan ilmu, melatih kesucian hati, dan ketaatan beribadah para santrinya yang cenderung bersifat batiniah pesantren berperan sebagai cagar budaya lokal, sekaligus sebagai tempat pengembangan sumber daya masyarakat sekitar.

Budaya lokal yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat sekitar pesantren terdiri dari bentuk-bentuk tradisi sastra lisan, tradisi semiritual, dan tradisi teatrikal meliputi musik dan pertunjukan. Akan tetapi, pada praktiknya pemeliharaan budaya lokal tersebut agak bersifat tertutup sehingga tidak berkembang luas dan rentan terhadap serbuan budaya global.

Bentuk-bentuk budaya lokal yang dapat dicatat, antara lain Pupujian. Lagu pujian yang diucapkan dalam irama tertentu, baik menggunakan bahasa asli (Arab) maupun bahasa setempat (Sunda). Dilantunkan pada saat sebelum salat fardu (menunggu jamaah berkumpul). Isinya dapat berupa salawat kepada Kangjeng Nabi Muhammad saw. dengan lirik beraneka ragam, seperti

Allahumma solli wa salim ala
Sayyidina wa maulana Muhammadin
Adadama bi’il mila hi solatan
Daimatan bidawa bi mulkila-I 

atau

Allahumma solli ala Muhammad
Ya Robbi solli alaihi wa sallim
Allahumma solli ala Muhammad
Ya Robbi bari’ul wasila 

Dapat pula berisi peringatan agar taat menjalankan salat lima waktu sebab bagi orang yang lalai mengerjakannya akan disiksa di neraka jahanam.

Man taraka shalatan homsin
Ayyakuna muta’amidan
Fa jaza uhum fa jaza uhum
Jahannam khalidin fiha 

Di beberapa tempat pupujian ini bahkan langsung dilantunkan di dalam bahasa Sunda, seperti

Saha jalma tinggal kana solat
Lima waktu tur dihaja
Mangka dibales, mangka dibales
Dilanggengkeun di naraka jahannam 

Ada pula pupujian yang berisi istigfar (permohonan ampun) dan doa mohon diberi rezeki yang cukup serta amal-amalan diterima, seperti

Astagfirullah Robbal baroya
Astagfirullah minal khataya
Robbi zidni ilman nafi’an
Wa warzuqni amalan maqbulan 

Hingga awal 1980-an pupujian mulai lenyap dari peredaraan akibat pengaruh berbagai faktor. Sementara itu, wiridan dilakukan terutama setelah salat sunat bakda magrib dan bakda salat subuh. Berisi bacaan tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir disambung dengan bacaan yang terdiri dari potongan ayat-ayat Alquran (terkenal dengan sebutan ayat 5, ayat 7, dan ayat 15). Dibunyikan dengan suara keras dalam irama tertentu secara berjamaah. Baik pupujian maupun wiridan, bersumber dari masjid pesantren kemudian menyebar ke masjid-masjid lain dan surau-surau kecil. Penyebarannya dilakukan secara tidak langsung oleh para santri yang setelah selesai belajar, bermukim di tengah masyarakat dengan menjadi guru mengaji atau imam masjid seraya merintis pembangunan pesantren baru.

Untuk pencak silat biasanya diajarkan pada malam-malam tertentu (biasanya malam kamis dan jumat ketika santri mendapat libur mingguan). Kiai mengajarkan jurus-jurus silat kepada para santrinya dan penduduk sekitar pesantren yang berminat. Jurus-jurus silat itu disebut eusi (isi), yakni gerakan bela diri yang tidak boleh dipertunjukkan sembarangan. Jurus eusi ini berbeda dengan jurus kembang yang biasa diiringi perangkat tabuhan kendang penca. Seorang pesilat yang menguasai jurus eusi kemungkinan akan mudah menguasai jurus kembang“, tetapi seorang pesilat jurus kembang belum tentu mampu menguasai jurus eusi walaupun pesilat itu sudah menguasai segala jenis jurus kembang yang ditandai istilah “Tepak Dua”, “Tepak Tilu”, dan lain-lain.

Prinsip silat pesantren ialah menjaga diri dan menolong orang lain dalam kasus-kasus tertentu yang membutuhkan kekuatan fisik.

Melestarikan Folklor

PESANTREN beperan pula dalam melestarikan folklor, baik yang berkaitan dengan tradisi budaya setempat maupun cerita rakyat (dongeng, kisah, dan peribahasa). Pengetahuan yang diperoleh para kiai dan santri dari kitab-kitab yang rata-rata mengandung kisah (nyata atau fiksi) diaplikasikan dengan cara memelihara atau mengembangkan dalam versi baru folklor yang sudah tersedia di masyarakat. Terdapat sinkronisasi antara kisah-kisah Abu Nawas, Nasruddin Hoja, Hani, Bahlul, Juha yang berasal dari khasanah folklor Timur Tengah dengan kisah-kisah lokal Si Kabayan (Sunda), Lebai Malang (Melayu), Man Doblang (Jateng), dan Pan Balang Tamak (Bali) sehingga terjadi “rekayasa genetik” antara folklor-folklor tersebut. Mereka saling mengisi terutama dalam aspek ajaran moralnya dan tidak hanya menonjolkan kelucuan dan hiburan.

Tradisi budaya lokal yang dapat digolongkan kepada folklor, antara lain memasang “puncak manik” pada saat menjelang panen padi. “Puncak manik” terdiri dari nasi tumpeng yang di ujungnya diletakkan rebus telur ayam dan disimpan di atas nyiru. Di sekitar tumpeng terdapat rujak pedas, rujak manis, bubur asin, bubur manis, bunga tujuh warna, kelapa muda, dan ikatan kecil padi yang diambil lebih dulu dari sawah yang akan dipanen. Nyiru berisi “puncak manik” itu diletakkan pada tiang “soko” yang ditancapkan pada bagian “hulu wotan” sawah sebelum matahari terbit. Peletakan “puncak manik” diiringi sedikit upacara yang dipimpin tetua kampung dengan membacakan beerapa jenis mantra.

Setelah masyarakat berada di bawah pengaruh pesantren, tradisi “puncak manik” mengalami banyak revisi trutama dalam “upacara”. Yang tampil ke depan bukan lagi tetua kampung (dukun atau paraji) melainkan kiai atau santri senior. Yang dibaca bukan lagi mantra melainkan doa-doa yang sahih dari Alquran atau Hadis. Akhirnya, tradisi “puncak manik” berubah total menjadi tradisi syukuran, baik di awal maupun di akhir masa panen.

Perubahan pola panen yang tidak mengindahkan tata krama dan tata tertib, menggerus tradisi “puncak manik”. Menuai padi tidak lagi memerlukan waktu yang dihitung dulu berdasarkan “naktu”. Padi dapat dituai kapan saja termasuk dini hari tatkala orang terlelap tidur. Tujuannya agar tidak terlalu banyak yang ikut “gacong”. Alat yang dipakai bukan lagi ketam yang lamban, tetapi sabit dan parang. Padi dibabat kasar, dipukul-pukulkan untuk merontokkan gabah. Setelah itu, dimasukkan ke karung dalam keadaan basah dan langsung dijual kepada tengkulak yang sudah menunggu di pematang sawah.

Perilaku petani dalam menghadapi panen merupakan salah satu indikasi perubahan orientasi budaya masyarakat Sunda (yang mayoritas petani) dari kultur pesantren yang sederhana, tenang, tenteram, menjadi kultur ekonomi yang serbauang, resah, dan ganas. Perubahan itu meluas ke bidang-bidang lain. Pesantren — terutama sejak era 1970-an — pelan-pelan menjadi institusi tersendiri yang tidak begitu menentukan lagi kultur masyarakat sekitarnya.

Suatu hal yang telah coba dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak abad ke-19, yaitu dengan mengangkat beberapa tokoh agama menjadi penghulu (di tingkat Kabupaten), naib (di tingkat kecamatan) dan amil alias lebe (di tingkat desa). Pengangkatan para pejabat agama tersebut dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh kiai pesantren yang rata-rata independen dan nonkooperatif. Namun, upaya tersebut kurang berhasil. Pengaruh pesantren di masyarakat tetap kokoh. Justru pengaruh para pejabat agama itu yang nyaris tidak ada. Beberapa penghulu yang berhasil mendapat penghargaan masyarakat ternyata bukan dari prestasinya sebagai pejabat pemerintah kolonial melainkan dari prestasi pribadinya sebagai penulis. Dapat disebut antara lain R.H. Moh. Musa, H. Hasan Mustafa, dan Kalipah Apo.

Pesantren mengalami degradasi status dari pusat orientasi kultur masyarakat menjadi subkulktur akibat perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, sejak tahun 1960-an. Waktu itu, banyak tokoh-tokoh pesantren terlibat politik praktis. Setelah penggantian kekuasaan dari Orde Lama (1945-1966) ke Orde Baru (1966-1998), terjadi gerakan “depolitisasi” Islam. Pesantren ikut terkena imbas. Hampir semua pesantren yang dulu menjadi basis kekuatan politik Islam — terutama NU — berubah haluan. Tidak lagi terikat partai politik, tetapi tetap berpolitik dengan mendukung pemerintah Orde Baru, dalam hal ini Golkar.

Karena intervensi pemerintah begitu kuat, posisi pesantren selama rezim Orde Baru tampak sangat lemah. Untuk mempertahankan energi hidupnya, sebagian pesantren mengubah pola dan sistem belajar mereka dengan menyesuaikan diri pada tuntutan kebutuhan “pembangunan”. Dengan demikian, posisi aparat Depag menjadi lebih kuat daripada posisi kiai sebab di tangan aparat Depag kelangsungan hidup pesantren sekarang berada. Dari sana mengalir berbagai macam subsidi untuk mendanai kegiatan belajar mengajar di madrasah sejak tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah, hingga aliyah merupakan bagian terpenting dari pesantren masa kini. Pesantren dalam arti murni sebagai lembaga pendidikan swadaya yang hanya mengkaji kitab kuning dan menjadi pusat orientasi budaya masyarakat sekitarnya barangkali sudah wasssalam. Diukur dari kondisi sekarang, pesantren murni yang punya kultur khas mungkin sudah tidak dibutuhkan. Apalagi banyak tokoh-tokoh asal pesantren ternyata sekarang berada pada barisan yang meragukan nilai-nilai kepesantrenan. ***

Sumber: Pikiran Rakyat, Kamis, 31 July 2003, disalin dari halaman ini

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.