“Radikalisme”, Jangan Pernah Terlalu Menyederhanakan Kata ini
Setelah wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Tholib akibat tikaman Abdurrahman bin Muljam, Abdullah bin Ja’far memanggil Abdurrahman. Abdullah memegang pedang, meminta Abdurrahman mengeluarkan lidahnya untuk dipotong, tapi Abdurrahman berteriak, memohon agar lidahnya jangan dipotong. “Mengapa kamu melolong?”, tanya Abdullah bin Ja’far. “Aku melolong bukan karena takut akan kematian. Tapi aku melolong justru karena takut hidup di dunia ini tanpa dapat lagi menyebut nama Allah”, jawab Abdurrahman bin Muljam. Petikan kisah ini ditulis oleh Ibnu Sa’ad dalam kitab “Al Tabaqat al Kubro”.
.
Abdurrahman bin Muljam Attamimi sejatinya seorang yang rajin beribadah dan juga seorang hafidz Qur’an, namun dengan kejamnya dia membunuh Sayyidina Ali – seorang sahabat terdekat Nabi, menantu, dan juga ayah dari cucu-cucu kesayangan Rosululloh. Ia bahkan membunuh Ali ketika sedang sholat di masjid jami’ Kufah, Iraq.
Segala ibadah yang dilakukan Abdurrahman, sepertinya tidak menuju hati nuraninya. Dia melolong, takut lidahnya dipotong, karena baginya; Tuhan memang baru sebatas lidahnya. Ketakutannya terhadap Tuhan, berada di ujung lisannya, tapi membunuh seorang manusia, baginya bukanlah sebuah ketakutan akan dosa.
Apa yang dialami Abdurrahman, juga banyak dialami oleh kita dan orang-orang disekitar kita. Kadang kita terlalu gampang memuntahkan kalimat kecintaan terhadap Tuhan, tapi kadang lemah dalam kemanusiaan. Banyak diantara kita, kadang dengan bangganya meneriakkan nama Tuhan, sembari memaki orang lain. Bahkan juga melemparkan batu atau molotov. Batu yang dilempar, ternyata bukan batu yang bersemayam dihatinya, dan molotov yang justru semakin membakar amarahnya. Nama Tuhan, sekedar di ujung lidahnya – seperti Abdurrahman bin Muljam Attamimi.
Radikalisme – jangan pernah terlalu menyederhanakan kata ini. Bagi mereka yang terpapar radikalisme, wujud manusia apapun yang dianggap menghalangi keyakinannya, akan dianggap musuh Tuhannya. Membabat penghalang itu, sama artinya dengan mensterilkan “sampah” di sekeliling Tuhan. Itulah yang dirasakan Abdurrahman bin Muljam. Dan bayangkan, dimatanya – sampah itu bernama Sayyidina Ali, yang menurut Nabi: sang gerbang ilmu dan ahli sorga.