Raja Arab Saudi, Nahdlatul Ulama dan Islam Nusantara
Hari ini, Rabu 1 Maret 2017 menjadi sejarah baru harmoni dua negara berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia-Arab Saudi. Kemesraan ini bukan hal yang baru, mengingat memang selama ini dua negara sudah saling bekerja sama.
Ada yang aneh dan di luar kebiasaan kunjungan Kepala Negara lainnya. Kehadiran Raja Salman seakan membuat heboh media karena membawa 1.500 rombongan dengan tujuh pesawat dan perlengkapan serba mewah.
Wajar saja, negara Petro Dollar itu memang sangat menghormati Rajanya dan ingin memberikan yang terbaik ketika hadir kemanapun. Indonesia juga menyambut dengan penuh kegembiraan.
Buktinya, titik lokasi yang dikunjungi Raja Salman dari Istana Bogor, Gedung DPR/MPR, Masjid Istiqlal, Hotel dan Bali sudah dipersiapkan secara khusus. Bahkan kekuatan TNI dan Polri dikerahkan khusus dalam pengamanan Khadimul Haramain ini.
Dalam keterangan resmi Duta Arab Saudi untuk Indonesia, Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuaibi dijelaskan bahwa Jokowi dan Raja Salman akan menandatangani 10 kerja sama. Di antara kerja sama yang penulis singgung dalam tulisan singkat ini adalah terkait kerjasama bidang agama dan keagamaan.
Jangan sampai dengan janji-janji kerja sama bidang ekonomi dengan nilai investasi USD 25 miliar atau sekitar Rp.333 triliun (kurs USD Rp.13.350), problem keagamaan lenyap dari perhatian publik.
Tour Raja Arab Saudi ke berbagai negara Asia memang baru menjadi sorotan dunia. Apalagi kebijakan politik diskriminatif Donald Trump kepada Timur Tengah baru-baru ini membuat Arab Saudi mulai berpikir mencari mitra strategis.
Maka pilihan Arab Saudi berkomitmen menjalin kemitraan dengan Indonesia, Malaysia, China dan Jepang bernilai strategis. Oleh sebab itu, Indonesia harus mampu menangkap semua peluang kemitraan dengan Arab Saudi.
Bagi Arab Saudi sendiri, Indonesia pasti dianggap sangat istimewa karena menyumbang jama’ah umroh dan haji yang sangat besar. Termasuk Indonesia dianggap sebagai saudara karena memiliki tenaga kerja terbesar di tanah suci itu.
Kesan Positif
Kesan Indonesia yang bermadzhab Sunni dan Arab Saudi bermadzhab Wahabi bukan satu-satunya pemisah bekerjasama. Sebab masyarakat Arab sendiri sangat menghormati keanekaragaman madzhab dan bahkan menjalin kerja sama dengan negara-negara sekuler.
Maka, jika selama ini bantuan yang mengalir dari Arab Saudi ke Indonesia boleh dibilang salah sasaran. Kenapa? Sebab bantuan itu justeru beralamat bagi “Islam Ngamukan” dan “Islam Fentungan” yang tidak khas Indonesia.
Masyarakat Indonesia yang toleran dijual dan dihasut anti Arab–oleh mereka. Intinya agar bantuan itu diambil mereka sendiri. Alhasil, pola busuk itu membuat suasana yang makin runcing.
Awal Maret 2017 menjadi momentum yang baik untuk Indonesia dalam mengenalkan Islam Indonesia. Siapa? Nahdlatul Ulama sebagai wadah mayoritas muslim Indonesia.
NU adalah pewaris Islam Arab yang sudah mengindonesia, bukan mengindonesiakan Arab. Sehingga jika ingin memahami Islam Indonesia perlu melihat NU sebagai organisasi terbesar dengan sikapnya yang sangat Islami dan moderat.
Bahkan NU mengajari untuk menghormat orang-orang Arab keturunan Nabi Muhammad dengan sebutan Habib, Yek atau Sayyid. Rasa hormat warga NU pada keturunan Arab juga diaktualisasikan dengan gelar acara rutin maulid bersama para habaib.
NU menjadi satu-satunya lembaga Islam yang sangat konsisten menggunakan kitab Arab dan ilmu Arab. Kajian-kajian di Madrasah dan Pondok Pesantren hingga kini masih mempertahankan kitab-kitab berbahasa Arab.
Maka, jika menyebut NU sebagai sebuah jam’iyyah tidak akan lepas dari manhaj Arab. Apalagi jika dirunut sanad keilmuan para pendiri NU, ilmu yang diajarkan hingga kini berasal dari negeri Arab dan dari guru-guru Arab.
Oleh sebab itu, kehadiran Raja Salman ke Indonesia menjadi sebuah momentum baru bagi penataan agama dan keagamaan Islam khas Indonesia atau Islam Nusantara.
Pemahaman komprehensif Arab Saudi terhadap Islam Nusantara akan semakin memantapkan arah kerjasama keagamaan. Sebab boleh dipastikan, peserta umroh, haji dan ziarah ke Arab Saudi adalah warga NU. Termasuk para pelajar dan tenaga kerja di Arab Saudi juga banyak dari NU. Sebab NU-lah yang memiliki kesadaran menjalankan sunnah dan dekat dengan garis sanad ilmu Arab.
Jika memang momentum ini dapat dibuka, maka akan ada warna kiblat keagamaan yang bersifat pelangi, yaitu Pelangi Nusantara Arabia. Sebab kekhasan Arab jika sudah menyatu dengan Indonesia akan tampak beda. Apalagi kekhasan itu diracik oleh NU, pasti ada seni dan budaya yang begitu indah.
Itulah ciri khas keNUan yang sejak awal menjadikan Wali Songo sebagai kiblat Islam Nusantara. Dari para tokoh Walisongo yang berasal dari keturunan bangsa Arab itu, NU berdiri dan besar hingga saat ini. Menyebut orang NU anti-Arab, sama halnya dengan menutup sejarah dan tidak paham sejarah.
Selamat berNU dan berArab.*)
Penulis adalah Dosen UIN Walisongo & Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang
Sumber : NU Online