Ramadhan di Bandung: Dari Bubur Suro Hingga Hujan Senja
Wahyu Iryana, sejarawan dan kader muda NU – Bandung selalu punya cara untuk membuat Ramadhan terasa lebih syahdu. Kota ini tidak hanya menawarkan keindahan alam dan hawa sejuk, tapi juga kisah-kisah yang melekat di ingatan warganya. Sejarah, budaya, dan kenangan berbuka puasa di Jalan Braga, mencium aroma kolak di sudut Alun-Alun, hingga mendengar azan berkumandang dari Masjid Raya, semua itu menjadi fragmen kisah yang menghidupkan Ramadhan di Kota Kembang.
Namun, Ramadhan di Bandung tidak lengkap tanpa bubur suro. Jangan salah, ini bukan bubur sembarang bubur. Bubur ini bukan sekadar hidangan pembuka puasa, melainkan warisan turun-temurun yang sarat makna. Konon, bubur suro pertama kali dikenalkan oleh para ulama yang datang dari Demak, menyebar ke tanah Pasundan lewat jalur dakwah para wali. Bubur ini melambangkan kebersamaan, kesederhanaan, dan rasa syukur.
Sajadah Panjang dari Alun-Alun Hingga Cihampelas
Setiap Ramadhan, Alun-Alun Bandung berubah menjadi pusat peribadatan yang luar biasa. Karpet-karpet sajadah terbentang luas, orang-orang duduk bersila menunggu waktu berbuka, dan pedagang kaki lima sibuk menawarkan kolak pisang, es goyobod, serta aneka takjil lainnya.
Salah satu momen yang paling ditunggu adalah saat hujan senja turun. Ini semacam tradisi alam yang sulit dilewatkan. Awan Bandung yang romantis sering kali mendung menjelang maghrib, seolah-olah ikut berpuasa dan menangis bahagia ketika adzan berkumandang. Dan tak ada yang lebih syahdu daripada berbuka puasa sambil menikmati suasana gerimis di pinggir jalan Dago.
Sejarah mencatat bahwa Bandung memang kota yang erat hubungannya dengan Islam dan Ramadhan. Pada masa kolonial, para santri dari pesantren sekitar kota sering berkumpul di Masjid Agung untuk mengaji dan berdiskusi tentang perlawanan terhadap Belanda. Salah satu tokoh yang terkenal adalah KH. Ahmad Sanusi, seorang ulama yang sering memberikan ceramah di tengah kota, mengobarkan semangat perjuangan melalui dakwah.
Bulan Puasa, Braga, dan Nostalgia yang Tak Pernah Usai
Bagi generasi 80-an dan 90-an, Braga bukan sekadar jalan tua dengan bangunan klasik. Dulu, di sepanjang trotoarnya, anak-anak muda duduk berkelompok sambil menunggu adzan maghrib. Ada yang bermain gitar, ada yang bercanda soal ujian sekolah, dan ada yang hanya duduk termenung, mungkin mengingat mantan yang pernah berbuka puasa bersama.
Dulu, Braga juga menjadi saksi bisu para aktivis pergerakan Islam yang mendiskusikan ide-ide besar di warung kopi kecil di sudut jalan. Mereka berbicara tentang kebangkitan umat, reformasi, dan harapan tentang Indonesia yang lebih baik.
Namun kini, Braga sudah berubah. Gedung-gedung tua masih berdiri, tapi suasananya tak lagi sama. Namun, bagi mereka yang pernah merasakan Ramadhan di sini, kenangan itu akan selalu hidup.
Pasar Kosambi dan Tradisi Belanja Takjil
Tak lengkap bicara tentang Ramadhan di Bandung tanpa menyebut Pasar Kosambi. Pasar ini selalu ramai menjelang berbuka puasa. Warga berburu kue balok, tahu susu, dan berbagai makanan khas Bandung lainnya.
Dulu, para ibu-ibu akan menyeret anak-anak mereka ke pasar untuk membeli bahan masakan berbuka. Sang anak mungkin lebih tertarik pada deretan mainan plastik di sudut pasar, sementara ibunya sibuk menawar harga daging sapi. Dan tentu saja, aroma harum bumbu rendang selalu menggoda siapa pun yang lewat.
Masjid-Masjid Bersejarah dan Malam Lailatul Qadar
Ketika malam ke-27 Ramadhan tiba, suasana di Masjid Raya Bandung menjadi sangat istimewa. Para jamaah datang dari berbagai penjuru kota, berharap bisa meraih keberkahan malam Lailatul Qadar.
Masjid-masjid lain seperti Masjid Cipaganti dan Masjid Salman ITB juga tak kalah ramai. Di sini, para mahasiswa dan santri berkumpul, bertadarus, dan berdiskusi tentang tafsir Al-Qur’an.
Ada sesuatu yang unik dari Ramadhan di Bandung. Ia bukan sekadar bulan suci, tetapi juga musim di mana nostalgia, sejarah, dan budaya bertemu dalam satu harmoni yang indah.
Penulis coba menuliskan Syair Senja di Bandung*
Hujan turun di ujung senja,
di Braga yang basah oleh kenangan,
orang-orang berjalan pelan,
menyusuri waktu yang kian usang.
Seorang bocah mengangkat tangannya,
menadah rintik di telapak kecilnya,
sementara azan berkumandang lembut,
membelah dingin yang mulai merayap.
Di Kosambi, aroma kolak menguar,
cangkir teh manis berembun di meja,
dan seorang ibu tersenyum lirih,
menyembunyikan letih dalam rindu.
Ramadhan di Bandung selalu begitu,
seperti hujan yang tak pernah jemu,
mengingatkan kita pada rumah,
dan waktu yang berjalan terlalu cepat.
—
Itulah Ramadhan di Bandung, sebuah perayaan yang bukan hanya tentang ibadah dan kuliner, tetapi juga tentang sejarah, cinta, dan kenangan. Kota ini mengajarkan bahwa setiap hujan yang turun ada cerita yang bisa dikisahkan untuk tahun depan.