Ridwal Kamil Paparkan Kiat Memimpin Bandung di Pesantren Tebuireng
Banyak cara yang harus dilakukan para pemimpin agar bisa sukses membawa perubahan. Namun yang lebih utama adalah keteladanan, menjaga ucapan, serta memperbanyak silaturahim.
Sejumlah pesan ini disampaikan H Ridwan Kamil saat memberikan kuliah umum di Pesantren Tebuireng Jombang, Rabu (8/3). Menurut Wali Kota Bandung tersebut, tidak ada perbedaan antara pemimpin dan orang kebanyakan. “Masing-masing memiliki waktu 24 jam,” jelas Kang Emil, sapaan akrabnya.
Akan tetapi, bagaimana mengatur waktu yang sudah dimiliki tersebut untuk kegiatan yang lebih terukur. “Ada waktu untuk diri sendiri, ibadah, keluarga serta masyarakat,” ungkapnya. Dan semakin banyak waktu yang diberikan untuk khalayak, tentu akan lebih baik, lanjutnya sembari mengutip sebuah hadits.
Pada acara yang juga diikuti sejumlah ustadz, guru dan pimpinan pesantren tersebut, Kang Emil memaparkan sejumlah terobosan ketika memimpin Bandung. “Memang butuh waktu agar ide kita bisa diterima dengan baik oleh masyarakat,” katanya. Termasuk memindahkan mereka yang menempati kawasan kumuh ke lokasi pemukiman yang lebih layak. “Untuk sosialisasi, saya butuh waktu selama setahun,” kisahnya.
Karena itu, Kang Emil memanfaatkan betul silaturahim dengan warga, sekaligus menjaga ucapannya. “Saat itu saya harus duduk bersama mereka sembari memberikan pemahaman terkait ide relokasi tersebut,” jelasnya. Dan lewat komunikasi yang kian intensif tersebut, akhirnya warga dapat menerima pemindahan dengan tanpa ada perlawanan berarti, lanjutnya.
Yang tidak kalah penting dari silaturahim tersebut adalah bagaimana menjaga ucapan agar jangan ada yang menyakiti masyarakat. “Apa senjata yang lebih tajam?” katanya sembari mengisahkan dialog Imam al-Ghazali dengan muridnya. “Bukan pedang, pisau dan sejenisnya, akan tetapi lisan atau ucapan,” ungkapnya.
Terkait ide gerakan ngaji usai waktu Magrib dan shalat Shubuh berjamaah, Kang Emil menandaskan bahwa hal tersebut sebagai kewajiban pemimpin. “Kami tidak hanya mengejar kemajuan fisik, juga mental,” katanya.
Dia beralasan bahwa banyak warga negara yang penduduknya ternyata merasa tidak nyaman kendati pembangunan infrastruktur dan kemajuan ekonomi berkembang pesat. “Minimal saya bisa mempertanggungjawabkan di akhirat bahwa yang saya bangun selama ini tidak semata kemajuan fisik,” jelasnya.
Di akhir paparannya, Kang Emil berharap para santri kelak dapat menjadi kalangan yang mandiri serta peduli dengan keadaan. “Menjadi orang yang turun tangan, bukan lepas tangan,” katanya. Juga bukan mereka yang tangannya di bawah, justru di atas, lanjutnya.
Usai memberikan kuliah umum, Kang Emil melanjutkan ziarah ke makam keluarga Tebuireng serta bertemu KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) di dalem kasepuhan. (Ibnu Nawawi/Abdullah Alawi)
Sumber : NU Online