RM Panji Sosrokartono: Cahaya dari Timur yang Terlupakan
H. Wahyu Iryana, Sejarawan Islam UIN Raden Intan Lampung – Ketika bangsa ini sibuk merayakan emansipasi perempuan dalam nama Kartini, sering kali kita melupakan bahwa ada sosok lain, seorang laki-laki Jawa ningrat yang perjalanannya melintasi benua, bahasa, dan budaya. Ia adalah kakak kandung dari RA Kartini—RM Panji Sosrokartono. Bukan hanya seorang kakak, ia adalah inspirasi yang tenang dan dalam, bagai telaga tua di kaki pegunungan. Sosoknya tidak setenar Kartini, tapi pantulan cahayanya turut menerangi sejarah bangsa.
Lahir di Mayong, Jepara, pada 10 April 1877, Sosrokartono dibesarkan dalam keluarga bangsawan Jawa yang tengah bersinggungan dengan pendidikan kolonial. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, adalah Bupati Jepara yang membuka gerbang pendidikan Barat bagi anak-anaknya. Ibunya, M.A. Ngasirah, berasal dari kalangan priyayi rendah, namun penuh kebijaksanaan lokal. Dari pasangan inilah lahir benih-benih pemikiran kebangsaan yang lebih luas daripada sekadar adat dan istiadat keraton.
Sejak kecil, Sosrokartono sudah menunjukkan minat yang dalam pada pelajaran bahasa. Ia menempuh pendidikan Europeesche Lagere School (ELS) di Semarang, lalu melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS), sekolah bergengsi yang melahirkan calon-calon elite Hindia Belanda. Pendidikan itu membuka jalan baginya menuju Eropa. Pada tahun 1897, ia menyeberangi lautan menuju Belanda untuk belajar teknik di Technische Hogeschool te Delft. Namun, bukan mesin yang memikat hatinya, melainkan kata dan makna. Ia berpindah haluan ke Universitas Leiden, mendalami bahasa dan sastra Timur, hingga meraih gelar doctorandus dengan pujian tertinggi. Langkah ini menjadi tonggak: ia adalah putra Jawa pertama yang menjadi sarjana di universitas ternama itu.
Lebih dari sekadar sarjana, Sosrokartono adalah seorang jenius linguistik. Konon, ia menguasai lebih dari 20 bahasa asing, bahkan ada yang menyebut 35, dari bahasa Eropa, Timur Tengah, hingga Nusantara. Julukan “The Javanese Wonder” disematkan oleh pers asing padanya, karena kemampuan bahasanya bukan main-main: ia bisa berbincang dengan diplomat Prancis, membaca teks Arab klasik, dan menyapa dalam bahasa Rusia dengan intonasi yang tepat. Ia adalah pengelana bahasa, seorang kosmopolit intelektual yang tidak kehilangan akar.
Pada masa Perang Dunia I, ketika dunia dilanda kobaran nasionalisme dan darah, Sosrokartono menjadi koresponden untuk surat kabar The New York Herald. Ia meliput peristiwa-peristiwa besar dengan ketajaman dan integritas. Di Wina dan Paris, ia berdiri sebagai saksi sejarah dalam kapasitasnya sebagai jurnalis dan penerjemah. Perannya tak hanya menjadi saksi, tapi juga penafsir zaman. Kata-katanya menyeberangi batas bahasa, menjembatani Timur dan Barat, seolah-olah ia adalah padma di tengah pusaran sejarah.
Ketika Liga Bangsa-Bangsa dibentuk, lembaga perdamaian internasional pertama di dunia, Sosrokartono diundang menjadi penerjemah resminya. Ia menjadi satu-satunya perwakilan dari Hindia Belanda yang duduk di meja perundingan internasional, bukan sebagai kolonial yang tak bersuara, tapi sebagai subjek berbudaya yang setara. Di tengah hiruk-pikuk diplomasi global, seorang lelaki dari Jepara hadir, menyuguhkan kata-kata damai dari dunia yang dijajah.
Namun, Sosrokartono bukanlah pengejar ketenaran. Pada puncak kariernya, ia kembali ke tanah air pada 1925. Ia menolak berbagai tawaran jabatan dari pemerintah kolonial. Ia tak tertarik pada kemegahan jabatan maupun gemerlap istana. Ia memilih mengabdi dalam dunia pendidikan bersama Ki Hajar Dewantara. Ia mengajar bahasa di Taman Siswa dan di sekolah menengah nasional di Bandung. Di ruang kelas yang bersahaja, ia menanamkan benih pemikiran merdeka kepada murid-muridnya. Ia mengajarkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan jendela dunia dan senjata kemerdekaan.
Di Bandung pula, Sosrokartono mengubah peran. Dari diplomat dan akademisi, ia menjadi tabib spiritual. Klinik Darussalam yang didirikannya bukan rumah sakit dalam arti modern, tetapi tempat orang mencari ketenangan, kesembuhan, dan doa. Ia dikenal mampu menyembuhkan penyakit melalui energi batin dan pendekatan kejiwaan yang lembut. Banyak yang menyebutnya sebagai “Orang Suci dari Bandung”. Ia menyentuh orang dengan tangan, tapi menyembuhkan dengan jiwa. Kisah pasien Eropa yang sembuh hanya lewat sentuhannya menjadi cerita yang diceritakan dari mulut ke mulut. Tak heran jika kliniknya tak pernah sepi dari peziarah.
Kita bisa menyebutnya sebagai cendekiawan spiritual. Ia menolak dikotomi antara akal dan rasa. Bagi Sosrokartono, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan lokal bisa bersatu, bukan saling meniadakan. Ia bukan mistikus yang anti-modernitas, dan bukan pula ilmuwan kering yang memuja rasionalitas belaka. Ia berada di antara, di jalan tengah yang menjembatani dua dunia: Jawa dan Eropa, Timur dan Barat, masa lalu dan masa depan.
Sebagai kakak kandung Kartini, Sosrokartono memiliki pengaruh besar terhadap gagasan-gagasan emansipasi yang muncul dari Jepara. Dalam surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, nama “Mas Karto” kerap muncul. Ia adalah yang pertama mengenalkan Kartini pada dunia luar, mengirimkan buku-buku, menulis surat dari Belanda, dan memberi semangat untuk berpikir bebas. Tanpa bimbingan kakaknya, bisa jadi Kartini tak secepat itu melampaui batas budaya Jawa dan menjadi tokoh besar nasional. Tapi Sosrokartono tak pernah mengklaim peran itu. Ia memilih diam. Ketika Kartini menjadi ikon, ia tetap setia berada dalam bayang-bayang, mendukung tanpa menuntut.
Sosrokartono wafat pada 8 Februari 1952 di Bandung. Ia dikuburkan dengan tenang, tanpa gelar, tanpa monumen megah. Tapi warisan yang ia tinggalkan jauh lebih besar daripada patung atau nama jalan. Ia meninggalkan semangat kosmopolitanisme yang berakar. Bahwa orang Jawa bisa mendunia tanpa kehilangan jatidirinya. Bahwa bahasa bukan alat penjajahan, tapi alat pembebasan. Bahwa menjadi modern tak berarti menanggalkan spiritualitas.
Kini, ketika kita sering tersesat dalam hiruk-pikuk digitalisasi dan krisis identitas, figur seperti Sosrokartono menjadi sangat relevan. Ia mengajarkan bahwa kecanggihan teknologi harus ditopang oleh kedalaman batin. Bahwa menjadi cerdas tak cukup, kita juga harus bijak. Bahwa menjadi internasional tak berarti kehilangan nasionalisme.
Dalam sejarah Indonesia, jarang ada figur sekomplet RM Panji Sosrokartono: sarjana, jurnalis, penerjemah, guru, tabib, spiritualis, sekaligus kakak dari pelopor emansipasi. Tapi sejarah sering abai pada orang-orang yang tak gemar menonjolkan diri. Sosrokartono adalah cahaya dari Timur yang redup dalam ingatan kolektif kita. Ia adalah bunga yang mekar di hening malam, harum tapi tak menggoda, memberi tapi tak menuntut balas.
Sudah waktunya kita menoleh ke belakang, bukan untuk hidup dalam nostalgia, tapi untuk belajar dari jejak-jejak orang bijak. Dalam era di mana kepakaran diukur dari jumlah pengikut dan keahlian dari viralitas, Sosrokartono mengingatkan kita bahwa kebesaran sejati datang dari kesunyian, kerja, dan cinta kasih.
Hari ini, mari kita tidak hanya mengenang Kartini, tapi juga mengingat Sosrokartono lelaki yang menyulam kata dan doa menjadi jalan panjang menuju kemerdekaan batin dan kemuliaan bangsa.
Penulis merupakan Sejarawan Islam UIN Raden Intan Lampung.
Baca juga resensi buku lainnya :
- Terbelit Dalam Kubus Tanpa Batas. Kontak pembelian : 0895-2851-2664. Link resensi, klik.
- Jejak Perjuangan K.H. Ahmad Hanafiah. Kontak pembelian : 0821 1682 5185 (Sandi). Link resensi, klik.
- Gerakan Syiah di Nusantara: Anasir Berimbang Sejarawan Muda. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Sejarah Pergerakan Nasional. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Historiografi Islam dan Momi Kyoosyutu. Kontak pembelian : 0852 9477 2060 (Jabar). Link resensi, klik.
- Jalan Sunyi dan Rambut Gimbal : Sebuah Interpretasi atas Kehidupan Gus Qomari. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
- Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.