The news is by your side.

Santri Tawadlu’ Merunduk

M. Rikza Chamami
Dosen UIN Walisongo

Beberapa waktu yang lalu viral sebuah video para santri menghentikan langkah kaki di sebuah Pondok Pesantren saat Kyai berjalan. Sempat salah satu jama’ah saya bertanya: “Ustadz, kenapa anak-anak santri begitu menghormat pada Kyai ya?…”. Sambil tersenyum saya menjawab: “Anak Ibu kalau sama Ibu menghormat apa tidak?…”. Ia pun menganggukkan kepala.

Karena para santri itu di Pondok Pesantren tidak punya Bapak dan Ibu, maka Kyai itulah menjadi orang tuanya sekaligus gurunya. Lebih dari itu, Kyai juga pewaris para Nabi; al-‘ulama waratsatul anbiya’. Genaplah sudah bahwa rasa hormat (bahasa pesantrennya: ta’dzim) santri pada Kyai karena tiga fungsi ta’dzim pada orang tua, guru dan pewaris Nabi.

Di Pondok Pesantren ada ngaji kitab kuning yang hampir semua isinya pendidikan tentang budi pekerti—meniru ajaran Rasulullah Saw. Sederhanya begini, santri itu ingin meniru Rasulullah—lewat majelisnya Kyai, Kyai menjelaskan ilmu para Ulama Sepuh dari kitab kuning dan dari kitab kuning itu menjelaskan hadits-hadits Nabi.

Salah satu kitab pesantren yang berisi penjelasan keutamaan tawadlu’ adalah Tanqihul Qaul al-Hatsits karya Syaikh Nawawi bin Umar Banten. Dijelaskan bahwa tawadlu’ adalah menampakkan merendah pada martabat yang diagungkannya. Termasuk dikatakan tawadlu’ yaitu dengan mengagungkan orang yang di atasnya karena keutamaannya.

Tawadlu’ juga bisa disebut sebagai berserah diri pada kebenaran, menerima ketetapan hakim, merendahkan diri, menerima masukan orang baik besar atau kecil orangnya, memuliakan orang lemah, memuliakan hamba sahaya dan memperhatikan omongan orang—bukan melihat siapa yang menyampaikan omongan.

Ini semua berdasar hadits Rasulullah Saw yang artinya: “Siapa yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah meluhurkannya. Dan siapa yang sombong, maka Allah merendahkannya” (HR Ibnu Majah dan Abu Na’im).

Dengan pola semacam itu, sangat wajar jika narasi tawadlu’ santri pada para Kyai dengan cara merunduk—sebagai ekspresi menghormat orang yang mulia dan santri merasa bahwa dirinya rendah diri terhadap kemuliaan Kyainya. Niat tulus dengan tawadlu’ merunduk itulah awal mula lahirnya jiwa yang rendah diri dan mudah memuliakan orang tua.

Jika bangsa ini ingin belajar dari narasi tawadlu’ menunduk, maka pesantren menjadi tempat yang tepat untuk mewujudkan budaya dan budi pekerti memuliakan orang lain dan menyimpan kemuliaan yang ada pada diri seseorang (malu dianggap mulia). Kerena dengan pola itu, maka kesombongan itu akan hilang dengan sendirinya.*)

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.