Satu Abad Diplomasi Perdamaian NU
Oleh: Munawir Aziz
Sejak awal mula didirikan sebagai wadah konsolidasi pergerakan bagi para kiai-santri, Nahdlatul Ulama telah menempatkan posisinya dalam konteks dan dinamika geopolitik internasional. Nahdlatul Ulama tidak hanya organisasi regional, apalagi dalam lingkup yang sangat sempit dalam sebuah wilayah atau negara. Lebih dari itu, para pendiri NU sadar betul pada visi jangka panjang sekaligus horizon yang sangat luas: dalam konteks keislaman global.
Cara pandang ini, harus menjadi visi besar yang terwariskan pada setiap generasi. Bahwa, Nahdlatul Ulama dalam segala dinamikanya, memiliki daya jangkau yang sangat luas. Daya jangkau ini, perlu dimaknai dalam proses pengambilan keputusan, penempatan posisi pada dinamika internasional, perumusan program, hingga penyiapan kader-kader yang beragam kapasitasnya.
Di titik terjauh pemaknaan Nahdlatul Ulama pada masa kini, di tengah dinamika politik akhir-akhir ini, serta hiruk pikuk gerakan kebangsaan, refleksi tentang peran serta Nahdlatul Ulama pada segala lini, perlu disegarkan dan difokuskan kembali.
Dari jejak historis Komite Hijaz hingga proses-proses perdamaian internasional yang diinisiasi NU pada dekade terakhir, menunjukkan betapa luas daya jangkau para kiai. Hal inilah yang seharusnya menjadikan seluruh kader NU percaya diri dengan nilai-nilai, serta semangat yang diwariskan para generasi terdahulu.
Dari Komite Hijaz ke Perdamaian Afghanistan
Dalam rentang panjang sejarahnya, NU terlibat dalam proses perdamaian di Afghanistan. Para kiai NU, menginisiasi proses damai antar kabilah yang sedang bertikai di Afghanistan. Bahkan, NU beberapa kali menjadi tuan rumah untuk pertemuan-pertemuan antar tokoh dari beberapa kabilah Afghanistan, hingga menemukan kata sepakat untuk damai.
Saat ini, proses perdamaian di Afghanistan berlangsung sangat baik, meski tetap ada kendala-kendala yang menyulitkan. Akan tetapi, NU berhasil meyakinkan beberapa kepala kabilah serta jaringan ulama di Afghanistan, untuk membangun perdamaian. Buktinya, barisan ulama Afghanistan mendirikan Nahdlatul Ulama, sebagai ruang mediasi konflik serta menjembatani aspirasi antarkelompok.
Dalam beberapa kesempatan, rombongan ulama Afghanistan juga berkunjung ke Indonesia, untuk belajar bagaimana mengharmoniskan gagasan kebangsaan dan keislaman. Rombongan ulama Afghanistan juga belajar tentang nilai-nilai Pancasila, yang menjadi ruh dari keindonesiaan kita.
Nahdlatul Ulama juga pernah menjadi aktor perdamaian, yang mempertemukan kelompok Sunni dan Syiah di Irak. Di negeri itu, konflik berbasis ideologi dan aliran agama, sangat terasa, menjadi akar yang membelit warganya. NU hadir untuk mendamaikan Sunni-Syiah, bahkan mempertemukan kedua kelompok ini dalam forum perdamaian di Qatar. Diplomasi perdamaian di Israel-Palestina, juga menjadi agenda penting dari Nahdlatul Ulama.
Pada konflik regional mutakhir, NU juga berperan aktif untuk membangun perdamaian di Cina, ketika terjadi krisis terhadap kelompok muslim Uighur. Delegasi NU hadir ke Uighur, menyapa sekaligus mendengar mereka, seraya mengkomunikasikan dengan pemerintah Cina tentang masa depan komunitas Muslim di negeri itu.
Misi-misi perdamaian yang dikerjakan KH Abdurrahman Wahid, KH Hasyim Muzadi, KH Said Aqil Siroj, KH Yahya C Staquf dan beberapa kiai lain, menegaskan misi-misi perdamaian yang harus diteruskan lintas generasi.
Misi Perdamaian NU
Dalam deklarasi perdamaian, yang diterbitkan Nahdlatul Ulama dalam rangkaian acara International Summit of Moderate Islamic Leader (ISOMIL) pada Mei 2016 lalu, terlihat bagaimana misi perdamaian yang berusaha didorong ke ranah internasional.
Dalam poin 2 deklarasi ISOMIL, tercantum jelas bagaimana misi NU untuk mengajak umat muslim dunia, memberi ruang bagi dialektika budaya. “Nahdlatul Ulama tidak bermaksud mengekspor Islam Nusantara ke kawasan lain di dunia, tapi mengajak komunitas-komunitas muslim lainnya untuk melihat kedinamisan yang terbit dari pertemuan sejarah antara semangat dan ajaran-ajaran Islam dengan realitas budaya-budaya lokal di seantero dunia, yang telah melahirkan beragam peradaban-peradaban besar, sebagaimana di Nusantara.”
Pada poin 15 dan 16 deklarasi, NU mengajak bagi seluruh umat Muslim sedunia untuk tidak mempolitisasi agama, seraya menjadi penyuluh dan pejuang perdamaian untuk kemasalahatan publik (mashlahah ‘ammah).
“Nahdlatul Ulama menyeru siapa saja yang memiliki iktikad baik dari semua agama dan kebangsaan untuk bergabung dalam upaya membangun konsesus global untuk tidak mempolitisasi Islam,” (poin 15).
Seruan bernas ini, diteruskan dengan ajakan untuk berjuang bagi kemaslahatan umat manusia. “Nahdlatul Ulama akan berjuang untuk mengkonsolidasikan kaum ahlussunnah wal-jamaah sedunia, demi memperjuangkan terwujudnya dunia di mana Islam dan kaum muslimin sungguh-sungguh menjadi pembawa kebaikan dan berkontribusi bagi kemaslahatan seluruh umat manusia,” (poin 16).
Dalam konteks ini, Katib ‘Aam PBNU, KH Yahya C Staquf menegaskan betapa konsep Islam Nusantara dapat menjadi tawaran alternatif, bagi model keislaman bagi warga internasional di tengah turbulensi geopolitik global. “Islam Nusantara itu dapat menjadi prinsip etik dan referensi untuk menjaga peradaban di negeri ini. Kita lihat, negeri-negeri Afghanistan, Ethiopia, Somalia, Irak, India, dan beberapa negara lain, sebelumnya punya peradaban Islam yang kuat, namun hancur karena konflik,” ungkap Gus Yahya, dalam sebuah percakapan di sesela forum ISOMIL, Mei 2016 lalu.
Lebih jauh, Ketua Umum PBNU, Prof Dr KH Said Aqil Siroj, berkali-kali mengungkapkan bahwa kader Nahdliyyin di mana pun berada harus siap menjadi duta yang menyebarkan nilai-nilai Islam Nusantara, mengembangkan ukhuwwah wathaniyyah, ukhuwwah Islamiyyah, ukhuwwah insaniyyah untuk sesama umat di seluruh dunia.
“NU memiliki modal sosial dan infrastruktur yang cukup untuk melakukan peran itu, antara lain, dengan memaksimalkan peran 36 PCI NU di seluruh penjuru dunia,” ungkap Kiai Said, dalam sambutan penutup Munas dan Konbes NU pada 1 Maret 2019 lalu.
Optimalisasi peran Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) di seluruh dunia ini menjadi penting, untuk menyuarakan gagasan-gagasan berislam yang moderat di tengah ancaman kekekerasan global. Para pengurus PCINU yang tersebar di pelbagai negara, memiliki keunggulan sekaligus tantangan masing-masing untuk mengkampanyekan Islam Nusantara sesuai dengan konteks negara masing-masing.
Pada titik inilah, diperlukan langkah-langkah komprehensif untuk menggerakkan PCI NU dan kader-kader Nahdliyin di seluruh dunia agar selaras dengan agenda-agenda diplomasi perdamaian yang diinisiasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, seraya terus membangun jejaring struktural-kultural dengan aktor-aktor maupun organisasi perdamaian di seluruh dunia.
Penulis adalah aktivis NU, saat ini tengah melakukan riset di Southampton, Inggris; berkhidmah di PCINU United Kingdom (UK).
Sumber : NU Online