SUBJEKTIF : Kisah Teladan Luqman al-Hakim
H. Muhtar Gandaatmaja
Lukmanul Hakim mengajak putranya jalan-jalan. Keledai peliharaannya tidak lupa ia tuntun. “Anakku dengarkan, sebentar lagi akan ada orang yang bicara tentang kita.” Ujar Lukman memulai pembicaraan. Benar, baru beberapa puluh meter mereka melangkah terdengar suara: “Orang gak tahu diuntung, buat apa keledai dibawa gak ditunggangi,” Ujar orang yang dilewati Lukman. Lukman pun naik ke atas keledai, keledai dituntun anaknya. Baru beberapa hela nafas di atas punggung keledai, orang yang berpapasan dengannya berucap: “Dasar orangtua gak punya perasaan, anaknya jalan kaki.” Lukman turun disuruhlah anaknya naik. “Dasar anak tak beradab orang tua jadi laden,” Celoteh orang di sekitarnya.
Lukman merenung, begini salah begitu juga salah. Ya, sudah kalau begitu naiki saja berdua, pikir Lukman. Ujaran mereka lebih parah, sewot: “Dasar goblok, keledai kecil dinaiki berdua!”. Lukman dan putranya turun lagi, berjalan seperti ketika pertama berjalan. “Itulah manusia,” kata Lukman setengah berbisik kepada putranya.
Masuk kelompok mana kita? Lukman dan putranya kah, atau masuk golongan para “komentator”? Berbahagialah yang masuk kelompok Lukman, asal sabar. Seandainya perbuatan kita benar, tidak merugikan orang lain dan kitapun tidak seperti mereka menjadi penggunjing dan pengumpat, namun kita tetap jadi bahan gunjingan, biarkan saja. Yakinlah dosa kita diambil mereka dan pahala mereka diserahkan ke kita. Kalau kita melawan? “Podo edane!”
Buku lain :