Tanpa Kartu Kuning dan Banyak Bicara, NU Sudah Ada di Asmat Sejak 2016
ASMATKU BELUM TERUJI
Hari-hari ini hampir di semua media social tengah membincangkan persoalan #KartuKuningJokowi. Berjibun komen sanjungan hingga seloroh kata goblag goblog bersaut-sautan di setiap kolom komentar.
Berbicara mengenai Kejadian Luar Biasa (KLB) di Asmat. Izinkanlah aku untuk berbagi cerita. Aku tergabung dalam tim NU Peduli Kemanusiaan untuk Asmat. Sebelumnya tak pernah terbayangkan jikalau diriku ikut andil mengemban tugas ini. Dalam benakku sudah tergambar bagaimana susahnya menuju Asmat, apalagi ancaman penyakit malaria maupun campak membuat bulu kuduku berdesir bila membayangkannya.
Bermodal nekad dan tawakal, apalagi ini tugas mulia dari NU kusiapkanlah mental dan segala keperluan. Seminggu sebelum keberangkatan kami harus menjalani vaksin campak dan minum obat anti malaria—obat ini masih harus diminum sampai sekarang—supaya tubuh kita kebal. Bersama dokter Makky dan Kang Wahib, kita berangkat naik pesawat dari Jakarta menuju Surabaya-Makasar-Timika. Dari Timika menuju Asmat kita harus mengendarai pesawat kecil seperti capung. Itupun jadwal pesawatnya tak menentu. Beruntung tim NU lokal Timika dengan segala upaya berhasil membantu kita untuk mendapatkan tiket keberangkatan esoknya. Di jadwal awal kita berangkat jam 05.00. walhasil ketika kita berangkat Shubuh di bandara belum ada tanda-tanda kehidupan. Hujan deras menemani waktu fajar kami hingga sang petugas bandara menyampaikan kalau keberangkatan pesawat diundur menjadi jam 10.00.
Perjalanan Timika-Asmat kami tempuh dengan durasi 45 menit. Setiba di bandara Ewer, Kabupaten Asmat, kami disambut oleh PCNU Kabupaten Asmat dan beberapa tokoh masyarakat. Untuk menuju lokasi KLB, kita naik speedboat. Itupun kita tak disediakan pelampung. Jadi, ketika ombak datang menghantam kapal, seketika itu pula jantungku berdentum.
Perasaanku sedikit lega ketika speedboat sampai di distrik Agast. Di sini kami beruntung karena salah satu pengurus NU setempat adalah salah satu tetua adat di kampungnya. Beliau bernama Bapak Leo Rahmatulloh Piripas ketua Badan Musyawarah Kampung (BAMUSKAM). Kehadiran beliau membuat kami bisa disambut hangat oleh masyarakat Asmat. Hambatan komunikasi dan memahami kultur warga setempat yang dialami oleh beberapa NGO lain setidaknya tidak terlalu kami pusingkan.
Untuk meninjau bagaimana kondisi anak-anak Asmat, Pak Lea mengajak kita untuk silaturahmi terlebih dahulu dengan tetua adat di Kampung Syuru. Kami diterima oleh para tetua di rumah adat. Mereka sebut itu JEW. Di tempat inilah kami mengutarakan kedatangan kami. Pak Leo menjadi menjadi penyambung lidah di antara kami. Ditemani kopi dan rokok perbincangan menjadi semakin gayeng dan akhirnya forum tetua adat mempersilahkan kami untuk menjalankan program di Kampung Syuru.
Di sepanjang jalan kami menyusuri rumah-rumah, banyak sekali anak-anak Asmat yang ingin di foto dengan segala tingkah lucunya. Nampaknya merekapun merasa sangat bahagia atas kedatangan kami. Hanya saja ada sedikit pemandangan yang ganjil menurutku. Anak-anak balita di sini seringkali makan buah kedondong dengan dicampur micin dan jg penyedap rasa lainnya. Kata mama-mama itu sudah menjadi cemilan anak-anak. Akhir-akhir aku juga baru tahu kenapa ingus anak-anak seolah tak pernah berhenti itu karena setiap hari mereka minum air mentah. Memang air bersih di Asmat hanya mengandalkan air hujan.
Keesokan hari kami Bersama tim lokal mengumpulkan sekitar 300 anak untuk menjalani screening dengan Pak Dokter. Selain itu, anak-anak juga mendapatkan vitamin, susu, dan biscuit. Dari hasil screening sekitar 14 anak terindikasi kurang gizi. Jumlah ini kemungkinan akan terus bertambah karena ini baru screening satu kampung.
Salah satu anak yang masuk dalam list kami adalah Susana. Umurnya 1,5 tahun. Namun Susana hanya memiliki berat badan 4 kg. Dalam sehari Susana hanya makan nasi atau sagu dua kali. Di waktu pagi ia hanya minum teh atau kopi. Waktu kami beri susu dan biscuit, tangan Susana gemetar. Kata dokter ia kurang banyak protein.
Untuk memonitoring anak-anak ini NU Peduli Kemanusiaan Bersama tim lokal mendirikan rumah gizi. Atau Bahasa lokal mereka sebut CEM GIZI. CEM GIZI ini akan menjadi tempat anak-anak diberikan asupan gizi lebih.
Setiap minggu, 4 kali mereka akan datang di CEM GIZI untuk diberikan asupan makanan bergizi. Para pembaca yang budiman CEM GIZI ini akan menjadi rumah bagi anak-anak Asmat supaya tetap bisa sehat seperti anak-anak Indonesia lainnya. Oleh karena itu, NU CARE-LAZISNU juga melakukan penggalang dana untuk anak-anak Asmat di https://kitabisa.com/NUpeduliAsmat
Banyak cerita yang belum bisa aku tuliskan tentang pengalaman berhargaku di Asmat. Ini adalah kali pertamaku menginjakan kaki di tanah Asmat dan begitu pula akan tertancap dalam lembaran hidupku. Orang bilang ASMAT adalah kepanjangan dari Asal Mau Tahan. Dan nampaknya aku belum teruji sepenuhnya untuk menjadi ASMAT.
Catatanku
Moh. Agus Fuat
Ketua BEM FIB UI 2016
TIM NU PEDULI KEMANUSIAAN
#NUPEDULIKEMANUSIAAN
#ASMAT
#GIZIBURUK
https://www.facebook.com/pemuda.akhirat.3/posts/1342312915904322