Tiga Gerakan Umat Islam, Ini Paling Tepat Menurut Gus Dur
Penulis buku Humanisme Gus Dur, Syaiful Arif mengungkapkan, Gus Dur membedakan ada tiga gerakan di dalam tubuh umat Islam yang bertujuan untuk mengubah masyarakat.
Pertama, gerakan sosio-politik. Gerakan ini ingin mengubah masyarakat dan struktur sosialnya dengan menggunakan pendekatan politik.
“Kita harus mendirikan negara Islam dulu, lalu kemudian masyarakat bisa diubah. Mereka menunggu mendirikan negara Islam dulu untuk menciptakan keadilan sosial,” jelasnya.
Hal itu disampaikan saat ia menjadi narasumber dalam acara seminar Keadilan Sosial Perspektif Gus Dur dan Imam Khomeini yang diselenggarakan oleh Iranian Corner UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang bekerja sama dengan Konsuler Kebudayaan Republik Islam Iran di Ruang Teater Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Rabu (7/6).
Kedua, gerakan Islam kultural. Gerakan ini menempatkan Islam hanya sebagai budaya semata terutama dalam hal pemikiran dan pengetahuan. Gerakan ini tidak meminjam struktur masyarakat yang ada untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai Islam.
Ia mencontohkan, mereka yang belajar di bidang-bidang agama sudah bisa dianggap sebagai muslim yang sempurna meski tingkah lakunya sangat meterialistik. Gus Dur menyebut gerakan Islam kultural membuat umat Islam menengah elit.
“Menurut Gus Dur, ini (gerakan Islam kultural) kurang cocok juga. Islam bukan hanya kultur, tetapi juga struktur,” katanya.
Ketiga, gerakan sosio-kultural. Menurut Syaiful, gerakan ketiga inilah yang menurut Gus Dur paling tepat untuk menerapkan nilai-nilai Islam.
“Ingin mengubah masyarakat tetapi menggunakan pendekatan kultur, bukan pendekatan politik,” terangnya.
Lebih jauh, Syaiful menerangkan, ada dua hal dilakukan untuk mengubah masyarakat melalui pendekatan kultural, yaitu pertama berangakat dari nilai-nilai budaya setempat. Seperti Pancasila adalah produk dari nilai budaya setempat.
“Maka wahabisme itu tidak cocok karena mereka berangkat dari nilai-nilai budaya Riyadh,” katanya.
Terakhir, menggunakan lembaga-lembaga budaya sebagai kendaraan untuk mengubah masyarakat. Dalam hal ini, Gus Dur menggunakan pesantren sebagai kendaraan untuk mengelola masyarakat. (Muchlishon Rochmat/Fathoni)
Sumber : NU Online