Tindakan Politik Manusia Indonesia
Politik adalah tindakan. Begitulah narasi paling purna dari filsuf ternama Yunani, Aristoteles. Arsitoteles mengatakan hal itu bukan tanpa dasar. Dia terlebih dahulu membagi strata keunggulan makhluk hidup dalam dikotomi, phone dan logos. Binatang, sebagai makhluk yang hanya bisa bersuara manakala terluka, berjingkrak taktala bahagia, dia masukan dalam katagori makhluk yang bisa menerima phone atau suara.
Manusia, dengan kelebihan akalnya, dia masukan dalam sub bagian logos. Manusia tidak hanya mampu merintih, tertawa, dan berwajah murah tetapi juga bisa menerima serta membaca tanda-tanda (logos).
Res Privata dan perempuan
Pembagian tersebut membentuk konsekuensi. Sebagai makhluk yang hanya mampu menangkap phone, binatang atau lambat laun ditambahkan olehnya wanita disarankan untuk berada pada ranah eikos (rumah tangga) atau dalam bahasa Cicero res privata. Mereka tidak dianjurkan untuk bersikap tidak lebih jauh dari halaman rumah, urusan dapur, tanpa perlu memperbincangkan politik.
Tesis Aristoteles tersebut, pada zaman dahulu, sebelum muncul abad pencerahan sempat bertahan. Hingga marak istilah mengenai patriarki dan matriaki dalam hal politik.
Pada abad ke 18, tesis Aristoteles mengenai logos itu runtuh. Tepatnya di era Revolusi Prancis atau era dimana perempuan, melalui konsolidasi salon yang dipelopori Maddam Roland, menemukan titik perjuangannya sebagai bagian yang mampu memengaruhi kebijakan pada waktu itu. Perempuanlah yang justeru mengorganisir aksi dan melawan diskriminasi atas segala hal.
Pergulatan perempuan dalam hal yang tidak privat pun berkembang semenjak itu. Simone de Beauvoir muncul membawa panji-panji feminisme. Dia mendobrak banyak hal yang tabu, yang semula hanya dipikirkan oleh laki-laki. Hannah Arendt kemudian mengikutinya dengan isu banalisme dalam politik dan kesejahteraan sosial yang lebih dekat dengan paham Anarki. Angela Dorothea Merkel (kanselir Jerman) kemudian menjadi simbol dari runtuhnya tesis phone dan res privata Aristoteles di Eropa.
Di Indonesia sendiri, pada era globalisasi sekarang, keikutsertaan perempuan dalam hal politik bahkan diperkuat oleh regulasi-regulasi yang mengikat. Seperti dalam UU No 8 Tahun 2012 Pasal 8 Ayat (2) Poin e berbunyi “menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”.
Res Publika dan tindakan
Konsekuensi kedua, setelah phone yang berujung eikos, adalah logos yang kemudian berujung pada kebolehan masuk dalam ranah polis, atau locus dimana keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan diperbincangkan.
Robertus Robert, Sosiolog UNJ, mengatakan bahwa polis sesungguhnya adalah wahana tindakan. Dia menolak asumsi beberapa pengajar politik atau pun pelaku politik yang mengatakan bahwa politik adalah sarana memeroleh kekuasaan. Baginya, politik yang berakar dari polis adalah wahana tindakan untuk mencapai suatu keadilan bersama.
Atas dasar itu, ketika ada yang mengatakan bahwa “ya itulah politik” dalam upayanya ‘menggunting’, mempersulit, dan menghalangi orang lain sesungguhnya hal itu bukanlah politik melainkan kriminil. Atau juga gojekan menyoal “mau jadi pemimpin ya harus punya modal banyak” sesungguhnya bukanlah politik, melainkan transaksi disertai hipotesa yang keliru.
Tindakan politik manusia Indonesia
Uraian tadi setidaknya memberikan kita gambaran bahwa, baik perempuan maupun laki-laki, dalam hal berpolitik haruslah mengutamakan tindakan. Tindakan yang tidak hanya tepat, tetapi juga untuk kebaikan bersama.
Politik tentunya tergantung pada dimana kaki dan matanya berada. Tindakan politik dalam lingkup Indonesia artinya haruslah mengacu pada universum simbolic, atau juga weltanschauung dari Indonesia yakni Pancasila.
Pertama, tindakan politik dari manusia politik Indonesia haruslah mempercayai keberadaan Tuhan yang Esa. Pada setiap rencana keputusan serta kebijakan tidak boleh bertentangan dengan kaidah agama-agama yang telah disepakati bersama.
Kedua, tindakan politik perlu melihat sisi kemanusiaan. Pencapaian akan keadilan tidak boleh mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan demi keberlangsungan peradaban. Ketiga, upaya merekatkan persatuan haruslah dijadikan pandangan utama dalam mempertimbangkan tindakan politik.
Setiap rencana tindakan politik, baiknya, harus melalui proses deliberative atau dalam nomenklatur politik Indonesia disebut sebagai musyawarah. Dan yang terakhir, atau kelima, tindakan politik harus pula mengupayakan keadilan sosial seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan keadilan di bidang hukum.
Tindakan itu pun selaras dengan syarat yang ditentuntan dalam setiap pemilihan pemimpin; yakni setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Penulis adalah pemerhati politik.
Sumber : NU Online