Tradisi Tahun Baru Islam dan Muharaman Menurut KH. Maftuh Kholil
Cigadung, Kota Bandung – Tadi malam (Rabu, 20 September 2017) merupakan malam Tahun Baru Hijriyah 1439 H, umat Islam di dunia termasuk di Indonesia memperingati kedatangan tahun baru hijriyah ini dengan bersuka cita, mereka merayakan dengan menghidupkan berbagai macam seremonial yang bersifat kultural. Di Indonesia, ada yang memperingatinya dengan tasyakuran berdoa bersama, ada yang bersuka ria memenuhi jalan protokol perkotaan dan perkampungan dengan pawai obor, dan ada pula yang menghabiskan malamnya dengan berdzikir mendengarkan tausiyah para Kiyai di masjid dan lapangan.
Kaum Nahdliyin di Cigadung, kota Bandung pun tidak mau ketinggalan mengisi malam bersejarah ini. Mereka bersuka ria dengan berkumpul bersama dibawah komando para Kiyai dan dijaga oleh Banser dan Anshor melakukan pawai obor. Bandung sejak sore hingga malam diguyur hujan yang cukup deras, udara dinginpun sudah akrab dengan warga Nahdiliyin, cuaca tidak menyurutkan mereka untuk memenuhi jalan-jalan, masjid dan lapangan. Warga Nahdliyin Cigadung mengadakan acara Kecamatan Bersholawat dengan menghadirkan KH. Maftuh Kholil, Ketua PCNU Kota Bandung dan Habib Umar bin Husein Assegaff wakil ketua LD-PWNU Jawa Barat.
KH. Maftuh Kholil dalam pidato sambutannya, memaparkan landasan filosofis Muharaman dan Peringatan Tahun Baru Hijriyah, beliau dengan logat sundanya menyatakan, “Bari kukurilingan kota bandung, memperingati tahun baru hijriyah 1439 H. Bapak ibu iyeu urang Cigadung, memperingati muharam, tahun baru hijriyah iyeu anyar-anyar kajadiana, ayeuna-ayeuna. Kapungkur mah sim kuring keur Budak, YA HABIB, ketika saya kecil itu tidak ada namanya gebyar memperingati tahun baru hijriyah, upami dina sasih muharam sanes kaping hiji nu diperingati tapi kaping sapuluh, disebut asyuro.” Baru belakangan ini warga Cigadung memperingati 1 Muharam, dulu yang diperingati bukan tanggal 1 melaikan tanggal 10 Muharam yang disebut Asyuro.
“Didinya’, Sim kuring keur budak, seur sepuh-sepuh , almarhum almagfurlah, didieu di Cigadung, almarhum mama Ajengan Ahmad, almarhum ajengan Baidhowi , biasana kaping sapuluh teh sok ngariung di Masjid, malam kaping sapuluh. Malah sok disebutkeun malam sepuluh asyuro teh, ceuk urang Cigadung sanes asyuro, naon disebutna teh…….cing naon, aya nu emut keneh teu, didieu aya nu tos sepuh teu ? Dulu almarhum Ajengan ahmad, almarhum ajengan Baidhowi biasanya berkumpul di mesjid pada tanggal 10 muharam.
“Baheula kolot urang, dina kaping asyuro teh coba aya naon? …hadirin ada yang menjawab, ada bubur syuro, urang Cigadung mah nyebutna bubur sura, aya bubur beureum, aya bubur bodas. Itu sepuh-sepuh urang sok ngariung dina malam 10 muharam, disebut Asyuro. Jadi pada malam itu mereka menyediakan bubur yang disebut bubur syura.”
“Ngan ayeunamah tos teu aya, zaman semakin berkembang, maka akan terjadi perubahan. Nah bubur syura menjadi hilang, naon sebabna bubur syura menjadi hilang?! Kahiji tukang bubur tos aya dimana-mana, jadi bubur syura tidak laku. Tapi yang penting penyebab kedua yang menjadikan bubur syura itu hilang adalah banyaknya orang menyatakan dan menyudutkannya dengan teriakan “ Bid’ah” jadi aya nu ngabid’ahkeun. Mereka menyatakan bahwa bid’ah itu sesat, yang melakukan kesesatan pasti di Neraka. Karena inilah kebiasaan tersebut akhirnya hilang dan terlupakan.”
“Budaya terkait bubur syura akhirnya hilang dan sekarang tergantikan dengan pawai obor. Pawai obor bi’ah teu? Bid’ah teu? Untuk mengetahui itu bid’ah atau bukan maka kita harus tahu arti bid’ah, bid’ah itu adalah sesuatu yang tidak pernah diamalkan dan dianjurkan pada masa Nabi Saw, ari kanjeng Nabi sok memperingati tahun baru hijriyah apa tidak? Osok apa tara? Pasti jawabannya rada lier nyak. Tahun baru hijriyah itu diresmikan pada masa kekhilafahan Sayidina Umar bin Khatab ra, tepatnya pada tahun ke 15 H, jadi tidak ada peringatan pada tahun kesatu, kedua Hijriyah tapi langsung pada tahun ke 15 H.”
“Nah intinya kieu, anu sok melestarikeun kana budaya-budaya itu adalah NU, Saya selaku ketua PCNU Kota Bandung sangat mengapresiasi kegiatan seperti yang kita lakukan pada malam ini, karena ini merupakan budaya dan tradisi NU, saya yakin yang hadir disini semuanya termasuk bagian dari NU. Ngan aya nu katirisan dan aya nu kahanetan, nu katirisan tos uih tipayun, bukan berarti mereka yang pulang lebih dulu bukan NU, tapi mereka pulang karena kedinginan. Hadirin sekalian mengapa NU tidak anti budaya, NU tidak anti tradisi, jadi kegiatan ini merupakan tradisi NU dan budaya NU.”
“Saya ingin bertanya, ibu mengadakan acara seperti ini, baik atau buruk? hadirin menjawab, “ Baik”. Ya acara budaya seperti ini sangat baik dan harus terus dilestarikan dan merupakan bid’ah hasanah yang pasti menuai banyak pahala, bermanfaat untuk kita di Dunia dan di Akhirat.”
(Disimpulkan oleh H.AbdoelHady,Lc – Murabbi di Ponpes Atsaqofah Al Islamiyah Annahdiyah Bandung dan Pengajar di Ponpes Al Awwabin Depok)