Ulama Makkah ke Cabang NU Bandung 1937
Wawasan tentang dunia itu para ajengan kita terbentuk ketika mereka menimba ilmu di sumbernya, Timur Tengah. Di sana, mereka menjalin hubungan dengan orang dari berbagai negara. Terjadilah persinggungan pengalaman dan persentuhan pengetahuan. Mereka diperkuat jaringan guru murid.
Bahkan di Timur Tengah ajengan-ajengan itu memiliki murid dari dari daerah sama atau negara lain. Contoh terbaik dalam hal ini adalah Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Sambas dan lain-lain.
Seorang santri atau ajengan yang hanya mengaji di tingkat lokal pun, ia akan bersentuhan dengan pemikiran Syekh Al-Malibari dari India, Imam Ghazali dari Thus, Iran. Imam Syafi’i (meninggal di Mesir). Juga bersentuhan dengan kisah hidup Syekh Abdul Qadir Jailani (Baghdad), Alfiyah karya Ibnu Malik dari Andalusia, Spanyol.
Tinggal boleh di kampung, tapi pertemuan mereka dengan pemikiran dunia.
Wawasan ajengan tentang dunia juga terbukti di majalah Al-Mawaidz, Pangrojong NO Cabang Tasik. Di situ ada rubrik Dunia Islam. Melalui rubrik itu, para ajengan, paling tidak yang bergabung ke NU, wawasannya berhubungan dengan wilayah terjauh yang paling kekinian pada waktu itu. Tema yang pemberitaannya tidak melulu masalah agama, tapi politik, ekonomi, dan kebudayaan, serta perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah.
Pada tahun 1930-an, seorang syekh dari Arab Saudi, Ali Thayyib pernah tinggal di kediaman salah seprang pendiri NU Tasikmalaya, KH A. Qulyubi (Ajengan Unung). Bahkan, syekh tersebut mewakili Tasikmalaya di Muktamar NU kelima di Pekalongan, 1930. Ia turut serta dalam membincang dan memutuskan permasalahan yang diajukan para peserta muktamar.
Ulama dari India dan Singapura juga pernah hadir di muktamar-muktamar NU. Bahkan 15 ulama Singapura menyatakan berdirinya NU di negaranya ketika awal berdiri, saat dikunjungi KH Wahab Hasbullah pada 1926, ketika ia hendak ke Makkah untuk menyampaikan surat dari Komite Hijaz.
Dan perlu diingat, Syekh Ghanaim Al-Mishri, adalah salah seorang mustasyar NU. Ia seorang syekh dari Mesir.
Jadi, tak heran, NU memiliki jaringan dengan ulama-ulama internasional, tidak hanya pengurus di tingkat pusat, tapi di tingkat cabang. Mislanya Cabang NU Bandung yang dilaporkan majalah Al-Mawaidz.
Pada bulan Mei 1935, NU Cabang Bandung mengadakan pertemuan anggota di clubhuis NO. Pada kesempatan itu, anggota NU dan kring-kring NU yang jauh pun berdatangan. Pokok pembicarannya adalah hasil Kongres NU di Solo atau Surakarta yang berlangsung tahun itu.
Menurut Al-Mawaidz, sebelum kegiatan itu dimulai, seorang syekh dari Makkah (Arab Saudi) bernama Mahmud Sa’ad hadir di acara tersebut. Ia membacakan ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia diajak oleh vorrzitter NU Hasan Wiratmana untuk hadir pada acara itu. Hadir penceramah Ajengan Ambri dan Wakil Syuriyah NU Ajengan Syamsudin yang baru pulang dari Mekkah. Sementara HM Dahlan menceritakan hasil kongres Solo. (Abdullah Alawi)
Sumber : NU Online