Yerusalem diantara Kesucian dan Konflik
Oleh Hapid Ali (Pengurus PW Lakpesdam NU Jawa Barat)
Konflik Palestina–Israel merupakan konfrontasi dua Bangsa yang masih belum berakhir. Beberapa proses rekonsiliasi yang kerapkali ditempuh untuk mengakhiri ketegangan diantara kedua belah pihak tapi hanya menghasilkan kesepakatan yang semu. Dalam mengamati konflik sekala global ini, tentu tidak bisa mengalihkan dari Israel sebagai pihak pendatang di tanah Palestina.
Konflik Israel-Palestina ini merupakan konflik yang memakan waktu 1 abad lamanya yang mungkin ini merupakan konflik yang memakan waktu panjang di abad ke 19 M setelah perang salib. Konflik ini cukup akut dan menyita perhatian masyarakat dunia. Konflik Israel-Palestina kini telah menumbuhkan stigma ditengah masyarakat Islam sebagai konflik yang bernuansakan Agama.
Paradigma ini setidaknya tumbuh berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini sebagai salah satu simbol spiritual Islam dimana disitu terjadi proses perjalanan spiritual yang dilakukan oleh Rasullullah SAW ketika melakukan Isra’ dan Mi’raj dari Baitul Maqdis di Yerusalem tanah Palestina, dan di tanah Yerusalem pula telah menghabiskan banyak korban yang berjatuhan terhadap warga palestina yang secara umum merupakan penduduk Muslim dimana satu sama lain menyuarakan “Jihad”.
Istilah “Jihad” merupakan terminology yang diartikan oleh faham fundamentalis sebagai ajaran Islam yang mengandung pengertian perang di jalan Allah yang melibatkan insiden fisik padahal apabila kita fahami makna Jihad seperti apa yang telah disampaikan oleh Syekh Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maragi halaman ke 48 juz ke 2 yang menyatakan bahwa “jihad bukan diartikan sebagai pengertian perang secara fisik melainkan bagaimana kita memerangai hawa nafsu yang membelenggu kita dijalan Allah dengan hak dan mengorbankan harta dalam ranah hak dan mencegah kemungkaran dengan jalan hasanah (baik)”. Akan tetapi kaum Islam Fundamentalis mengartikan “jihad” sebagai pengertian perang di jalan Allah yang melibatkan insiden fisik sehingga apabila pengertian jihad tersebut dapat ditolelir dalam konflik ini, maka semakin sulit untuk membangun stigma pada masyarakat dunia tentang adanya fakta lain dibalik situasi konflik yang terus berlangsung hingga sekarang ini. Yang dimaksud dengan fakta lain menurut penulis ialah terkait dengan dimensi politik yang demikian kental mewarnai konflik Israel-Palestina.
Fakta ini setidaknya dapat kita analisa dengan keberpihakan negara adidaya “Amerika Serikat “ terhadap Israel. Keberpihakan tersebut semakin terlihat begitu jelas beberapa resolusi yang dikeluarkan PBB untuk konflik Israel-Palestina kerap dimentahkan oleh Amerika Serikan dengan vetonya.
Ada hal lain yang menarik kita amati yaitu sunyinya suara negara-negara Arab yang begitu bisu dan bahkan bergandengan tangan dengan Amerika Serikat ini menunjukan suasana politik yang cukup kontras dalam kasus tersebut.
Konflik Israel –Palestina ini dapat kita fahami dengan sendirinya dan posisikan sebagai konflik sosial yang dibalut dengan politik dan teologi. Seperti apa yang telah disampaikan oleh Oberschall (1978) yang dikutip oleh Marhaendy “social conflict is a struggle over values or claims to status, power, and scare resources in which the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values but also to neutralize injure or eliminate rivals”. Ini dapat diinterpretasikan bahwa konflik sosial mempunyai pengertian yang begitu luas yang mellibatkan konflik antar kelas (social class conflict), konflik antar komunitas (communal conflict), konflik ras (ethnics and racial conflicts), konflik antar pemeluk agama (religious conflict) dan lainnya. Apabila kita urut dari konflik Israel-Palestina ini tidak terlepas dari dua aspek yaitu aspek yang bernuansa politik dan teologis. Kedua bangsa tersebut berusaha untuk menduduki daerah geografis di Palestina khsususnya Yerusalem sebagai tanah yang mengandung historis maka secara politik keduanya akan berusaha menduduki dengan berbagai cara.
Termasuk dari Palestina itu sendiri dengan mengembangkan sayap HAMAS dengan pendekatan militeristik untuk menjaga daerah geografisnya dan tidak luput juga Israel menggunakan sayap yahudi zionis sebagai garda untuk menduduki Palestina khususnya Yerusalem sebagai pusat yang strategis yang memberikan historis perjalanan spiritual yang dahsyat bagi Israel yang mayoritas Agama Yahudi. penamaan nama Israel terkadang ada yang menyebutkan zionisme, dan ada juga yang menyebutkan Yahudi.
Apabila kita kaji dari pengertian nama dari tiga kata ini “Israel, Zionisme, dan Yahudi”. Apabila kita rumut satu persatu dari tiga kata tersebut yaitu, 1). Israel merupakan sebuah Negara yang mayoritas masyarakatnya penganut agama Yahudi tapi itu tidak menutup kemungkinan bahwa tidak ada Masyarakat lain yang tumbuh dinegara Israel, termasuk apa yang disampaikan oleh Jhon Olbert Voll yang menyatakan bahwa “masyarakat Islam yang ada di Negara Israel sebanyak 10% pada tahun 1960an”. Dan populasi muslim di Israel pada tahun 2016 meningkat menjadi 17% mayoritas penduduk Islam Sunni. Ini menunjukan bahwa dinegara Israel tumbuh masyarakat penganut Islam. 2). Zionisme, akhiran kata “isme” dari kata zion tentulah sebuah kata yang menunjukan sebuah faham atau cita-cita yang muncul dari kelompok Yahudi. Zionisme merupakan sebuah gerakan untuk membangun tanah air di Palestina dengan mendirikan Negara Israel. Hasrat zionis ini muncul kembali ketika runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani oleh British (Inggris) pada tahun 1917 M. hasrat zionis ini tidak terlepas dari kaum sekular yahudi yang berambisi untuk menduduki Palestina sebagai Negara Israel dan Yerusalem sebagai pusat Ibu kota. Pendekatan yang dilakukan oleh Zionis itu sama halnya dengan pendekatan HAMAS (Palestina) yaitu dengan pendekatan militaristik, pendekatan tersebut bukanlah sebuah cara untuk menumbuhkan perdamain antara kedua belah pihak justru itu malah memperkeruh konflik yang ada. 3). Yahudi, identitas Agama ini tidak ,mungkin terpisahkan dari bangsa Israel. Yahudi merupakan Agama keturunan dari Ibrahim. agama Yahudi tidak terlepas dari ortodoks Yahudi dan Sekular Yahudi.
Ortodoks Yahudi merupakan Agama yang mengininkan perdamaian dan tidak memaksakan untuk mendirikan Negara Israel berbeda dengan Sekular Yahudi merupakan identitas yang berusaha menciptakan Zionisme untuk mendirikan Negara Israel. Oleh sebab itu sekular Yahudi merupakan sebuah identitas atau faham untuk membangun Negara Israel.
Gerakan inilah yang memicu konflik besar antara Palestina-israel. Termasuk penguasaan Yerusalem sebagai tanah suci bagi mereka. Yerusalem merupakan geografis yang sulit untuk dibagi antara Israel-Palestina karena tanah tersebut merupakan simbol dari tiga Agama besar yang letak geografisnya saling berdekatan.
Yahudi tetap mempertahankan Yerusalem karena apabila dikaji dalam pendekatan spiritualitas, Yerusalem merupakan pusat Yudaisme, tempat disalibnya Yesus dan kebangkitan serta kenaikannya ke surga. Dalam perspektif Islam, Yerusalem merupakan tempat yang diyakini umat Islam sebagi bagian dari perjalanan spiritualitas Muhammad ketika melakukan proses perjalanan malam dari Masjidil Haram ke Mesjid al Aqsa dan naik ke Sidratul Muntaha.
Yahudi menganggap palestina sebagai tanah yang dijanjikan dan diijinkan untuk didudukinya dan mayoritas mereka meyakini bahwa Yerusalem merupakan tempat geografis yang tepat untuk diduduki sebagai pusat Ibukota Israel sementara disisi lain Palestina menyebutkan pula bahwa Yerusalem merupakan letak geografis untuk Ibukota Palestina.
Pandangan inilah yang menyebabkan pergeseran paradigma politik yang mewarnai konflik Israel-Palestina menjadi paradigma teologis. Sebenarnya konflik itu dapat dilakukan dengan pendekatan humanistik yaitu memberikan sebuah solusi tanpa melakukan kekerasan baik dengan melaukan menumbuhkan nilai pluralisme yang tinggi, mediasi dan dialog antar dua negara walaupun beberapa dialog sebelumnya sudah dilakukan dan berakhir semua tapi pendekatan humanistik jauh lebih baik dari pada pendekatan militaristik. Seperti apa yang dilakukan oleh Gus Dur terkait dengan konflik Israel-palestina yaitu menjalin kerjasama dengan Israel dengan bergabungnya Gus Dur dengan organisasi Simon Peres pada tanggal 7 Maret 1997 organisasi yang dipimpin oleh Simon Peres (Tokoh yahudi yang disegani).
Itu merupakan awal langkah Gus Dur dalam melakukan rekonsiliasi perdamaian Palestina-Israel, dengan melakukan pendekatan humanistik diatas egosentris politik dan Agama. Beliau merupakan Tokoh Islam yang berani melakukan terobosan kerjasama dengan Israel yang dibangun dengan pendekatan pluralisme dan humanisme yang tinggi untuk membangun perdamaian diantara kedua Bangsa. Lalu bagaimana dengan pernyataan Donald Trump (Presiden Amerika Serikat) terkait dengan pengakuannya Yerusalem sebagai Ibu kota Israel?
Penulis menyebutkan bahwa pernyataan dan sikap yang dilakukan oleh Donald Trump (presiden Amerika Serikat) merupakan pernyataan yang memprovokasi stabilitas keamanan didunia, memberikan kegerahan bagi negara-negara Muslim di dunia, dan telah melanggar kesepakatan resolusi PBB.
Pernyataan tersebut tidaklah semestinya dikeluarkan oleh presiden As karena negra tersebut merupakan bagian dari anggota PBB seharusnya memberikan sikap yang merujuk pada perdamain. Sikap yang disampaikan oleh Donald Trump merupakan sikap yang bertentangan dengan hukum Internasional dan piagam PBB justru secara tidak langsung ini dapat difahami bahwa peran AS sebagi mediator perundingan damai ini telah berubah terbalik menjadi mediator yang memprovokasi perundingan damai tersebut. Ini senada dengan apa yang disampaikan oleh presiden Jokowi dalam pernyataanya di Istana Bogor pada kamis, (07/12/2017) yang menyatakan bahwa “pengakuan sepihak itu telah melanggar berbagai resolusi dewan keamanan PBB”.
Maka melihat kekhawatiran dari pengakuan sikap Donald Trump tersebut maka dalam hal ini perlu adanya langkah-langkah yang kongkrit untuk menjaga stabilitas keamanan baik itu dilakukan dengan perundingan negara-negara yang dibawah naungan PBB, termasuk organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk segera membahas dan menentukan sikap.