Akademisi: Pendidikan Indonesia Kehilangan Ihsan
Jakarta, NU Online
Pengamalan ajaran Islam di Indonesia saat ini lebih dominan aspek eksoteriknya, tetapi kehilangan hal-hal yang bersifat esoteris. Hal tersebut ditengarai karena pendidikan sekarang tidak mengenalkan ihsan sebagai suatu ajaran Islam yang penting.
“Yang dilupakan itu yang ihsannya itu,” kata Oman Fathurahman, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saat Kajian Titik Temu Ke-47 di Gedung Graha STR, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Kamis (23/5).
Oman menjelaskan bahwa siswa di sekolah saat ini hanya mengkaji Islam dan iman saja sebagai objek pelajarannya. Akan tetapi, aspek ihsan sebagai satu bagian inti dalam ajaran Islam tidak mendapat tempat.
“Ada tidak siswa itu ditanya apa yang dimaksud dengan ihsan? Tidak ada,” ujarnya dalam diskusi yang mengangkat tema Akar Spiritualitas Islam di Indonesia itu.
Padahal, jelas Oman, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan itu, tidak hanya Islam dan iman yang ditanyakan oleh malaikat Jibril a.s. yang menyamar sebagai orang laki-laki dan merapatkan lututnya dengan Nabi Muhammad saw. Jibril juga saat itu, katanya, menanyakan tentang ihsan.
“Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu dilihat oleh Allah. Kalau gak bisa, yakinlah Allah melihat kita,” kata Oman mengartikan jawaban Rasulullah tentang makna ihsan yang ditanyakan oleh malaikat Jibril.
Artinya, lanjut Oman, tidak mungkin melakukan korupsi, berbuat jahat terhadap sesama, apalagi menghalalkan darah gegara agama. karena sebetulnya, di saat memahami hal tersebut, katanya, kita merasa bahwa esensi agama adalah merawat kebaikan akan selalu dilihat oleh Tuhan.
“Ini yang tidak diinternalisasikan. Apalagi oleh anak-anak milenial sekarang,” ujar pria yang pernah mondok di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, tersebut.
Dalam konteks spiritualitas, menurut Oman, ihsan dimaknai secara lebih dalam. Mengutip dari kitab Ithaf al-Dzaki karya Syekh Ibrahim al-Kurani, ia menjelaskan bahwa definisi ihsan yang disebutkan di atas itu pengertian bagi orang umum.
“Kalau kamu sudah fana dari egoisme itu sendiri, kalau sudah tidak ada sifat basyariyah pada diri kamu, sifat ego kamu, pasti kamu melihat Tuhan di manapun, mau di Muslim, mau di non-Muslim,” kata akademisi yang menamatkan studi doktoralnya di Jerman itu dalam diskusi yang digelar oleh Nurcholish Madjid Society (NCMS) tersebut.
Sebab, menurut ahli filologi itu, manusia dan alam secara keseluruhan itu serupaan atau bayangan Tuhan. Hal tersebut tidak bertentangan dengan ayat al-Qur’an, laysa kamitslihi syai`un. “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan mitsil-Nya Tuhan. Yang menyerupai serupaan Tuhan saja tidak ada, apalagi menyerupai Tuhan,” jelasnya menerjemahkan kalimat tersebut.
Padahal, persoalan ihsan ini sebelumnya banyak ditulis oleh para ulama Nusantara di zaman dulu. “Teori islamisasi di Indonesia itu sebetulnya aspek spiritualnya. Karya-karya yang ditulis (para ulama Nusantara) itu yang menjelaskan tentang ihsan,” pungkas staf ahli Menteri Agama itu.
Diskusi yang dipandu oleh Direktur NCMS Muhammad Wahyuni Nafis itu juga diisi oleh guru besar falsafah dan agama Universitas Paramadina sekaligus tokoh sastra sufistik Abdul Hadi WM. (Syakir NF/Abdullah Alawi)