The news is by your side.

Berperanlah Bagi Umat

Berperanlah Bagi Umat | NU Online LTN Nahdlatul Ulama Jawa BaratMaukah kita berperan bagi Umat, bagi kemanusiaan?
Apapun peran kita, ketika kita mau berbuat lebih dari pada yang lain untuk umat, tentunya dengan kesadaran, dan niat yang ikhlas, itulah kiprah terbaik kita, dalam peran yang akan kita lakukan, untuk memberi kebermanfaat diri.

Manusia ditakdirkan untuk mengisi peran, yang Allah fungsikan sesuai takdirNya, pada setiap masing-masing manusia.

Dan bicara masalah takdir ke depan, pada fungsi peran yang harus dijalankan, akan menguat sesuai proses, yang seolah-olah menuntun kita, ke apa yang harus kita lakukan.

Bisa saja peran kita kedepan, misalnya sebagai seorang yang kuat di profesi tertentu, yang akan memberi kontribusi terbaik bagi umat, itu di stimulus dari kita kecil, masa anak-anak.

Sehingga keinginan kita itu ada, dan terus kita kejar.
Akhirnya, kita masuk dalam proses menguatkan pengalaman-pengalaman kita, melalui tahapan-tahapan pembelajaran yang kita lakukan, untuk meraih apa yang kita harapkan.

Yaa peran kita kedepan, ingin berbuat terbaik bagi umat, dari apa yang bisa di lakukan oleh diri kita, harus kita kuatkan proyeksinya.

Hal ini penting agar kita memiliki fokus yang akan kita raih.
Kita harus kuat dalam melihat apa yang kita inginkan, agar peran di masa depan kita, akan sesuai dengan apa yang kita cita-citakan.

Masa depan kita adalah impian yang kita wujudkan, dan meraih impian terbaik kita, adalah dengan cara kita berjibaku, melakukan upaya-upaya terbaik, dan memperjuangkan itu dalam hidup kita, dan mengejarnya, tentunya dengan disiplin ilmu yang kita punya.

Menuntut ilmu dari lahir, hingga akhir masa hidup kita, adalah keharusan. Ilmu yang berguna akan membuat kita menguasai bidang yang akan kita perankan kedepannya.

Semakin beranjak usia, semakin kuat dan banyak ilmu yang kita miliki, hingga pada waktunya, ilmu itu akan menghantarkan kita, pada kedudukan, dimana posisi yang mimpikan untuk berkiprah bagi umat, dengan sendirinya bisa kita raih.

Lalu setelah takdir Tuhan itu kita dapatkan, dan takdirnya sesuai dengan impian kita, maka bersyukurlah.

Karena di posisi itulah kita ditakdirkan memiliki, dan bisa berperan besar, dan peran yang berdampak buat banyak manusia.

Pertanyaannya, apakah kita akan menjalankannya dengan cinta, atau dengan ambisi sesuai nafsu kita ?

Bila menjalankannya penuh cinta, peran kita akan berfungsi memberi banyak kebermanfaat diri, bagi umat, dan akan memberi jalan pada peran yang lebih besar yang akan kita emban.

Dan peran besar itu, akan terbuka dengan sendirinya, karena kapasitas diri kitapun ikut membesar, sesuai dengan kiprah-kiprah hebat kita, yang dibangun atas keikhlasan, dan kekuatan cinta.

Lalu bila sebaliknya, ada peran nafsu, ada peran ambisi, semua akan terbaca dengan sangat vulgar, dan sangat mencolok !

Langkah kita terbaca oleh banyak mata manusia yang selalu memperhatikan gerak gerik dan polah kita.

Semua manusia akan sangat mudah membaca langkah kita yang blunder, dan konyol.

Tinggal…apakah kita sadar, akan keadaan diri, yang ada dalam pengamatan seluruh mata manusia itu, yang semuanya tertuju pada kita !

Di sinilah perlunya pegangan ke imanan.
Agama berfungsi sebagai pengingat bagi kita, untuk selalu berpijak pada kebaikan

Nafsu akan sangat mendominasi, dan ia, membuat karakter kita tidak alamiah, ketika kita jauh dari agama, dan keimanan.

Nafsu selalu panas, ia akan membawa sikap kita, pada keadaan tidak bisa mengontrol diri.

Jika keadaan nafsu itu dominan, maka kita bablas, tak memiliki rasa yang kuat dalam pertimbangan membangun reputasi citra diri.

Maka arogansi kita, akan menyeruak muncul, karena kita merasa besar, berpengaruh, dan semua orang yang ada di depan kita, bagi nafsu, mereka kecil, remeh, dan tak berarti.

Dalam kondisi yang reputasinya hancur, seseorang yang ingin terus berperan, ia akan menampilkan dirinya seperti Resi Dorna, dalam kisah pewayangan.

Sehingga orang seperti itu, akan sangat membutuhkan topeng.
Kitanya butuh wajah-wajah palsu.

Yang malahan, dengan kepalsuan yang kita tampilkan, itu akan semakin menekan jiwa kita hingga ia pun mati.

Dan pada akhirnya, wujud raga kita memang manusia, namun hati kita sudah kadung terkuasai syaetan.

Sehingga langkah-langkah kita pun, kiprah yang dilakukan, akan selalu mengambil jalan-jalan yang merugikan diri, kita merasa nyaman dalam resiko, walau itu menjerumuskan diri kita kedalam bahaya.

Manusia yang sudah mati hatinya, selalu memilih jalan-jalan penuh resiko, ia siap tengelam, ia siap masuk jurang dalam yang nantinya akan penuh penyesalan.

Peran kita dalam kehidupan harusnya mampu membangun kebahagiaan, membangun kemaslahatan umat.

Keadaan jiwa yang selalu dalam kesadaran diri, penting kita jaga.

Maka Nabi Muhammad SAW, dalam pesan terakhir pada semua para sahabatnya, sebelum ia wafat dan menutup mata, yang beliau katakan dengan lirih adalah pesan,”Peliharalah shalat dan peliharalah orang– orang yang lemah di antaramu.”
“Ummati…ummati..ummati.”

Dan dari pesan Nabi itulah, kita harus memiliki fungsi, berperan luarbiasa bagi umat, bagi kemanusiaan, dan bagi cinta yang harus kita tanam dan kita suburkan.

Semoga kita memiliki peran besar di dunia ini, peran yang akan di jalankan dengan cinta, dan kita ada dalam keridhoan, dan magfirahNya Allah SWT, aamiin.

Semoga bermanfaat.
Bambang Melga Suprayogi M.Sn
Ketua LTN NU Kabupaten Bandung.

Leave A Reply

Your email address will not be published.