Bonus saat Top Up Dana di Marketplace atau Dompet Digital, Apakah Riba?
Semenjak diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Mata Uang Elektronik (Electronic Money) dan dicanangkannya Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) oleh Bank Indonesia di tahun 2014, secara berangsur telah terjadi pergeseran budaya masyarakat dalam menggunakan uang tunai, ke budaya baru penggunaan mata uang nontunai.
Yang dimaksud dengan mata uang nontunai adalah mata uang elektronik (e-money). Fungsi dari e-money dalam PBI Nomor 11/12/PBI/2009, digariskan sebagai alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur:
- Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang kepada penerbit
- Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti server atau chip
- Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut; dan
- Nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.
Ada sejumlah batasan yang digariskan oleh Bank Indonesia terkait dengan besaran uang yang boleh disimpan dalam bentuk e-money dan ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia, antara lain sebagai berikut:
- Nilai uang elektronik untuk jenis unregistered paling banyak adalah Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
- Nilai uang elektronik untuk jenis registered paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Selanjutnya, dalam Surat Edaran Bank Indonesia juga diatur mengenai batas nilai transaksi untuk kedua jenis uang elektronik di atas yaitu dalam 1 (satu) bulan untuk setiap uang elektronik secara keseluruhan, hanya bisa dilakukan maksimal Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), yang meliputi transaksi pembayaran, transfer dana, dan fasilitas transaksi lainnya yang disediakan oleh pihak penerbit. Artinya, transaksi lebih dari itu tidak diperbolehkan lewat uang elektronik.
Karena uang yang menjadi underlying asset (aset penjamin) dari e-money ini adalah tidak dimaksudkan sebagai simpanan, melainkan sebagai alat pembayaran, transfer dana dan fasilitas transaksi lainnya, maka secara fiqih, akad yang berlaku atas pemakaian jasa e-money ini adalah termasuk akad sewa jasa (ijarah). Pertanyaannya adalah jasa apakah itu?
Deskripsi Akad E-Money dan E-Wallet
Jika diurai menurut komponen penyusun akad sewa jasa (ijarah), maka akan tampak bahwa rukun yang berlaku atas jasa penggunaan e-money itu, adalah sebagai berikut:
- Pihak penyewanya (musta’jir) adalah pemegang kartu
- Pihak yang disewa jasanya (ajir) adalah perusahaan penerbit e-money, termasuk di dalamnya adalah penerbit e-wallet (dompet digital) semacam GoPay, OVO, Link, DANA, dan sejenisinya.
- Yang disewakan adalah e-money dan e-wallet
- Tujuan dari sewa menyewa e-money adalah kemudahan berbasis teknologi untuk melakukan pembayaran atau transfer dana, atau penyelesaian transaksi yang dilakukan musta’jir yang difasilitasi oleh perusahaan penerbit e-money dan e-wallet lewat teknologi yang dikembangkannya.
Alhasil, dengan memahami maksud utama (muqtadla al-aqdi) dari penyerahan harta oleh pemegang kartu kepada pihak penerbit e-money, adalah kemudahan pihak pemegang kartu dalam melakukan transaksi. Sehingga, secara tidak langsung, relasi akad ijarah antara pihak penyewa dan yang disewa sudah terpenuhi dalam konteks kemudahan dan manfaat ini.
Dengan demikian pula, akad menyewa teknologi e-money dan e-wallet tersebut bukan merupakan akad ijarah fasidah (sewa jasa yang rusak). Dalam relasi ini, pihak penerbit berhak mendapatkan upah (ujrah) atas jasa yang diselenggarakannya.
Namun, semata memasukkan akad penyerahan ini sebagai akad ijarah, sebenarnya juga agak sedikit menyulitkan. Mengapa? Sebab, umumnya akad ijarah adalah ada batasan kontrak oleh waktu. Misalnya, batas 1 bulan, 2 bulan, atau 1 tahun, dan seterusnya. Nah, di dalam e-money atau e-wallet ini, batasan kontrak itu tidak ada. Kartu e-money dan e-wallet, bisa terus digunakan tanpa mengurangi saldo e-money dan e-wallet yang ada. Menariknya, uang saldo tersebut dinyatakan sebagai yang dikelola oleh perusahaan Penerbit (PBI, Nomor 11/12/PBI/2009).
Maksud dari “pengelolaan” inilah yang kemudian mengundang tanda tanya sejumlah pihak. Apakah itu berarti bahwa saat konsumen menyerahkan uangnya ke penerbit e-money, maka akadnya adalah termasuk akad investasi (istitsmari)?
Memandang Bonus yang Lahir akibat Pengggunaan e-Money dan e-Wallet
Fakta adanya akad penyerahan dana dari konsumen ke penerbit menghendaki penjelasan, sebab berkaitan erat dengan praktik di lapangan, bahwa pihak penerbit memberikan sejumlah “bonus” kepada konsumennya, termasuk adalah bonus gratis ongkos kirim.
Jika bonus ini kelak menjadi erat dikaitkan dengan akad penyerahan uang lewat toping up konsumen kepada penerbit e-money atau e-wallet, maka bonus yang syarat dengan kesan dijanjikan semacam ini, kelak akan mudah diputus atau dituduh sebagai riba.
Sebab, bagaimanapun juga, penyerahan suatu harta kepada pihak lain, yang disertai dengan iming-iming adanya bonus, adalah seolah berlaku kaidah kullu qardlin jara naf’an li al-muqridli fahuwa riba (tiap bentuk utang piutang yang mensyaratkan manfaat bagi pihak yang memberi utang adalah riba).
Uang yang diserahkan konsumen adalah menempati derajat utang sehingga e-money dan e-wallet pada hakikatnya adalah utang elektronik (e-utang). Di sisi lain, pihak penyelenggara jasa, berlaku sebagai pihak yang diutangi. Dan anggapan yang menyatakan bahwa bonus adalah riba semacam ini adalah logis, sebab uang tersebut memang nyata dimanfaatkan oleh pihak penerbit untuk menghasilkan keuntungan. Alhasil, keberadaan “bonus” menduduki derajat “manfaat” dari utang sehingga riba.
Tentu anggapan semacam ini bukan merupakan solusi terakhir, sebab ada qarinah (indikator) lain yang menyatakan bahwa akad tersebut bukan termasuk utang, melainkan kontrak jasa (ijarah maushufah fi al-dzimmah).
Ambil suatu contoh: kartu e-Tol, yang hanya bermanfaat ketika melewati gerbang Tol.
Melewati gerbang tol seperti ini merupakan akad ijarah maushufah fi al-dzimmah (sewa jasa yang bisa dipesan secara pasti dan menjadi tanggungan bagi penerbit untuk menunaikannya). Saat pengguna fasilitas tol menempelkan kartu itu ke papan pembayaran, maka sistem seolah merespons agar pihak penerbit kartu e-Tol membayarkan tagihan sewa Tolnya ke perusahaan penyelenggara layanan tol.
Akad seperti ini dikenal dengan akad hiwalah (pengalihan tanggungan), yang sejatinya adalah akad bai’ al-dain bi al-dain (jua beli utang dengan utang) yang dibolehkan oleh syariat dengan syarat diketahuinya besaran tanggungan pengalihan (bea tol) karena alasan dlarurah li hajati al-nas (darurat karena kebutuhan manusia).
Memang ada, peluang yang menyatakan bahwa bonus yang diperoleh karena deposit di e-money dan e-wallet adalah bukan termasuk manfaat dari utang, melainkan hibbatu al-tsawab, yaitu akad pemberian cuma-cuma oleh penerbit kepada pihak konsumen, dengan dasar sebagai imbal atas pertolongan yang dilakukannya.
Apa tanda bahwa bonus yang diberikan oleh perusahaan penerbit e-money atau e-wallet itu adalah pemberian cuma-cuma?
Setidaknya ada beberapa indikator yang menjadi faktor penguat (murajjih) bahwa bonus yang disampaikan penerbit ke konsumen e-money dan e-wallet adalah berlaku sebagai hibbatu al-tsawab. Di sini, penulis akan menyampaikan tiga indikator saja, agar pembahasan ini tidak terlalu melebar, antara lain:
Pertama, sejak awal penerbitan e-money dan e-wallet, BI selaku pihak yang menerbitkan aturan tentang e-money memberikan penegasan bahwa saldo maksimal kontrak penggunaan fasilitas kartu e-money adalah sebesar 1 juta rupiah (unregistered) atau 5 juta rupiah (registered), dengan total transaksi maksimal 20 juta rupiah per bulan.
Putusan ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa fasilitas e-money dan e-wallet, hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu yang menghendaki kemudahan bertransaksi.
Misalnya, transaksi di gerbang tol, transaksi belanja di sejumlah pusat perbelanjaan dan sejenisnya yang hanya kalangan tertentu saja yang bisa mengaksesnya, yaitu pemilik kendaraan atau masyarakat pengguna telepon pintar.
Kedua, penggunaan e-money adalah dimaksudkan mempermudah masyarakat dalam melakukan transaksi, dari sebelumnya yang harus menggunakan skema datang ke ATM, transfer antar bank, menjadi cukup via ponsel pintar. Kebutuhan mempersingkat alur ini merupakan sebuah hajat dlarurah (kebutuhan mendesak) sebagai buah dari kecepatan pertumbuhan di dunia teknologi finansial.
Alhasil, ada satu peran klasik yang dipangkas akibat kemajuan tersebut. Dan untuk menghindari adanya kemacetan dana masyarakat pada mata uang elektronik, maka pihak BI sudah menetapkan adanya pembatasan sebagaimana sudah disinggung di muka.
Ketiga, pihak penerbit e-money dan e-wallet memberikan bonus kepada konsumennya, tidak setiap waktu. Bonus bisa diberlakukan dalam satu jangka waktu tertentu dan tidak bersifat mutlak. Terkadang, dalam satu tahun, penerbit memberlakukan bonus yang berbeda, dan tidak ditetapkan saat akad berlangsung.
Bonus yang ditetapkan tidak pada saat terjadinya akad merupakan yang memenuhi unsur hibbah bi al-tsawab sehingga jauh dari unsur riba. Bonus semacam ini adalah dibolehkan, sebab:
(a) dana masyarakat yang sudah mewujud sebagai uang elektronik, tetap aman dan tidak berkurang,
(b) ada “kulfah” (kerja) yang dilakukan oleh penerbit berupa memberikan fasilitas kemudahan bagi konsumen dalam membelanjakan atau menyalurkan harta yang dimilikinya, sesuai dengan yang dijanjikan, dan
(c) Penerbit diuntungkan oleh pengalihan dana masyarakat untuk melakukan kerja penjaminan, dengan jalan menyalurkan sebagiannya ke unit-unit usaha yang dapat memberikan hasil ke penerbit.
Oleh karena itu, pemberian bonus yang tidak disyaratkan tersebut merupakan semata niat baik dari penerbit kepada konsumen sehingga memenuhi unsur sebaik-baiknya pihak yang diberikan utang ketika mengembalikan utang. Alhasil, bonus tersebut tidak masuk dalam kategori qardlu jara naf’an li al-muqridl (utang dengan memberi kemanfaatan bagi pihak yang member utang).
Kesimpulan
Mata uang elektronik (e-money dan e-wallet) merupakan harta digital. Statusnya bagi konsumen terhadap penerbit adalah harta duyun (harta utang).
Penyerahan harta konsumen kepada penerbit adalah melewati peran akad kontrak jasa yang spesifik (ijarah maushufah fi al-dzimmah) untuk fasilitas yang spesifik, guna mempersingkat alur transaksi.
Bonus yang lahir akibat pemesanan e-money atau e-wallet bukan merupakan akad riba, disebabkan karena bonus tersebut bukan lahir dari syarat yang ditetapkan di muka.
Karena akadnya merupakan akad ijarah maushufah fi al-dzimmah, maka dibenarkan melakukan penyerahan ra’su al-mal (harta) dari konsumen kepada penerbit, sebagaimana bai’ maushuf fi al-dzimmah (jual beli barang dengan spesifikasi tertentu dan bisa dijamin), yang menghendaki penyerahan harga di muka untuk menghindari timbulnya gharar (spekulatif)/ketidakpastian.
Akad ijarah maushufah fi al-dzimmah boleh diterapkan karena adanya dlarurah hajat. Wallahu a’lam bish shawab.
Muhammad Syamsudin, S.Si., M.Ag, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur