The news is by your side.

Donor Plasma untuk Pasien Covid-19, Ketua PBNU: Itu Sedekah Luar Biasa

Jakarta, NU Online – Kini, perbincangan terkait terapi plasma konvalesen kian hangat karena menjadi salah satu solusi bagi pengendalian Covid-19. Terapi ini pun sudah diterapkan di beberapa negara dan saat ini menjadi ramai diperbincangkan di Indonesia.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesehatan dr Syahrizal Syarif menyatakan, mendonor plasma tidak ada batasnya. Bahkan bisa setiap bulan orang dapat mendonor minimal 200 mililiter dan maksimal 500 mililiter.

Para penyintas atau orang yang sudah sembuh dari Covid-19 sangat disarankan untuk segera mendonorkan plasmanya kepada pasien Covid-19 dengan gejala berat dan gawat darurat. 

“Itu (donor plasma) sedekah yang luar biasa,” tegas dr Syahrizal dalam tayangan galawicara Peci dan Kopi bertajuk Diskusi Donor Plasma, di 164 Channel, pada Selasa (5/1) malam.

Selama ini, kata dia, belum ada obat yang pasti untuk menyembuhkan Covid-19. Kesembuhan para pasien itu dilatari karena dilakukan pengobatan simtomatik. Artinya, hanya menghilangkan gejala-gejala yang ditimbulkan. 

“Kalau demam, dikasih obat penurun panas. Jika sesak nafas, dibantu dengan oksigen. Kalau dengan gejala yang sangat berat maka dibantu dengan ventilator. Jadi memang belum ada obat pasti untuk menanggulangi Covid-19 ini. Semua sifatnya simtomatik dan suportif ditunjang dengan berbagai vitamin untuk menstimulan sistem kekebalan tubuh,” jelas dr Syahrizal.

Karena itulah, plasma menjadi salah satu solusi untuk membantu mempercepat penyembuhan pasien Covid-19. Sebab, bagian terbesar dari darah manusia itu terdapat berbagai macam komponen, di antaranya protein, glukosa, ion, mineral, dan hormon.

“Bahkan berisi antibodi karena sakit infeksi tertentu, Covid-19 misalnya. Kita berharap, plasma dari pendonor itu memuat sistem kekebalan yang baik,” katanya.

Namun Pakar Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) ini menjelaskan, tidak semua penyintas Covid-19 bisa mendonorkan plasma. Terdapat berbagai syarat untuk bisa menjadi pendonor plasma.

“Syaratnya sudah sembuh minimal 14 hari. Pendonor sebaiknya laki-laki karena pada perempuan berkemungkinan ada hormon yang bisa mempengaruhi kualitas dari plasma darah. Prinsipnya adalah sehat, muda, laki-laki, dan sudah dibuktikan PCR-nya negatif atau paling tidak 14 hari setelah sembuh,” katanya.

Untuk mendonorkannya, penyintas Covid-19 dapat datang langsung ke Kantor Palang Merah Indonesia (PMI) terdekat. Nanti darah akan diambil kemudian darah tersebut dipisahkan dengan memakai sebuah alat pemutar. Lalu bagian plasma yang berwarna kekuningan akan terpisah dengan bagian sel darah merah.

Plasma yang berwarna kekuningan itu kemudian ditransfusikan kepada pasien Covid-19 yang masih sakit dan sangat membutuhkan. Sedangkan yang berwarna merah akan dikembalikan kepada pendonor.

“Karena kalau itu dikembalikan ke tubuh maka tubuh akan bereaksi. Begitu ada sel darah merah yang kental, tubuh dengan cepat akan membuat plasma yang baru. Jadi kalau tidak dikembalikan darahnya akan membutuhkan waktu kurang lebih 56 hari untuk menjadi pendonor kembali,” katanya.

“Tetapi jika darahnya dikembalikan, kurang lebih setengah bulan anda sudah akan kembali normal jumlah darahnya,” lanjut dr Syahrizal.

Namun ia menekankan agar terlebih dulu mendapat persetujuan dari pasien untuk diberikan terapi plasma konvalesen ini. Sebab hal itu menjadi hak pasien. Pusat penelitian dan pihak mana pun, tidak bisa memaksakan pasien agar mau menerima plasma. 

“Itu harus seizin pasien,” tegasnya.

Host Peci dan Kopi Ahmad Rozali adalah salah seorang penyintas Covid-19 yang telah mendonorkan plasma darah di PMI Jakarta Pusat pada 1 Januari 2021 lalu. Saat tiba di sana, ia mengaku melihat antrean penerima donor plasma yang sangat panjang.

Kebanyakan dari mereka berharap agar kerabat atau saudaranya yang tengah menderita Covid-19 dengan gejala berat dan bahkan gawat darurat dapat segera tertolong karena mendapat donor plasma itu. Namun, kata Rozali, pendonor tidak sebanyak jumlah antrean tersebut. 

“Kita tidak punya stok (plasma) di sini,” kata seorang petugas di Kantor PMI Jakarta Pusat ketika ditanyakan Rozali terkait panjangnya antrian orang yang menginginkan plasma. 

Beberapa waktu lalu, Rozali mengumpulkan data para penyintas Covid-19 untuk kemudian diharapkan dapat mendonorkan plasmanya. Namun belum semua melakukan donor, karena beberapa kendala.

“Bisa jadi karena tidak tahu informasi atau belum punya ajakan yang kuat. Komunitas juga diperlukan. Sementara di sisi lain, permintaan terhadap kebutuhan plasma itu sangat tinggi,” katanya. 


Riset terkait Plasma 

Sebenarnya, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di bawah Kementerian Riset dan Teknologi, sudah mengeluarkan hasil penelitiannya terkait plasma yang dapat didonorkan kepada pasien untuk mengendalikan Covid-19.

Dikutip dari Kompas, hal itu diungkap dalam sebuah webinar bertajuk ‘Riset Menemukan Vaksin dan Obat Anti Covid-19, pada 15 Mei 2020 lalu. Lembaga Eijkman kemudian mengeluarkan berbagai syarat untuk donor penyintas Covid-19.

Syarat itu adalah diutamakan laki-laki. Jikapun perempuan adalah yang belum pernah hamil. Keduanya sudah terbukti sehat dari hasil laboratorium. Lalu dipastikan telah terbebas dari berbagai virus, parasit, dan patogen lainnya yang memungkinkan bisa ditransmisikan melalui darah. Pendonor pun harus memiliki tingkat kekebalan yang cukup tinggi berdasarkan hasil uji netralisasi.


Penerima Donor Plasma

Pasien yang akan diberikan terapi plasma konvalesen adalah orang-orang yang memiliki indikasi gejala berat. Artinya, Terapi plasma konvalesen ini tidak bisa diberikan kepada pasien Covid-19 gejala ringan dan orang sehat. Sebab terapi plasma konvalesen ini bukan untuk pencegahan melainkan membantu percepatan penyembuhan bagi pasien Covid-19.

Dosis yang diberikan juga tidak sama antarpasien karena akan ditentukan, sesuai dengan kadar antibodi plasma yang diperoleh dari pendonor. Setiap kadar antibodi plasma pasien yang sembuh dari Covid-19 akan berbeda-beda.

Pemantauan dan evaluasi akan terus dilakukan kepada pasien Covid-19 yang menerima terapi plasma konvalesen ini. Direktur Lembaga Eijkman Amin Subandrio mengatakan, hal tersebut dilakukan lantaran belum ada negara yang membuat plasma ini menjadi pengobatan standar.

Dalam penelitian terkait plasma darah itu, dilakukan kerja sama antarpihak dengan target pelaksanaan masing-masing. Kementerian Kesehatan berwenang dalam pelayanan di rumah sakit, BPOM bertugas mengawasi atau new drug investigation, PMI berperan memproduksi plasma darah sesuai kategori, Lembaga Eijkman Kemenristek memiliki peran untuk melakukan uji netralisasi agar plasma konvalesen ini dapat diberikan sebagai imunisasi pasif bagi pasien Covid-19.

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Alhafiz Kurniawan

Buku lain :

  • Antara Mbah Cholil Baureno dan Bojonegoro. Kontak pembelian : 0895 2851 2664 . Link resensi, klik.
  • Konspirasi Yahudi dan Rungkadnya Dinasti Ba’alwi. Kontak pembelian dan bedah buku : 0812 6143 8585. Link resensi, klik.
Leave A Reply

Your email address will not be published.