Generasi Milenial dalam Kontestasi Optimisme
Jakarta – Isu-isu politik di media sosial menargetkan generasi milenial sebagai konsumen untuk mempengaruhi persepsi. Kelompok milenial menjadi sasaran kampanye, seiring meningkatnya pertumbuhan kelompok ini, yang berpengaruh pada proses politik mendatang. Masa depan politik Indonesia, dengan segala manuver para aktornya, harus melihat lapisan generasi milenial dan kelas menengah sebagai instrumen penting.
Polemik tentang jilbab, hijrah, hingga perdebatan puisi yang dianggap melecehkan agama menjadi sorotan netizen di media sosial. Isu-isu yang berada pada irisan pembahasan agama merupakan isu yang menarik bagi sebagian besar netizen di media sosial kita. Namun, bagaimana persepsi milenial terhadap isu agama sebagai komoditas politik? Lalu, sejauh mana optimisme milenial terhadap masa depan Indonesia?
Survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengungkap data bahwa milenial Indonesia optimistis menatap masa depan. CSIS merilis perbandingan cara pandang milenial (kisaran 17-29 tahun) dan non-milenial (di atas 30 tahun), serta persepsi mereka terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK berdasar survei pada Agustus 2017 lalu. Sebanyak 75,3 % milenial optimistis dengan kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan warga.
Sementara, kelompok milenial yang tidak optimistis sebesar 23,7 %. Kelompok milenial juga optimistis terhadap kemampuan pemerintah meningkatkan pembangunan (82,5%), dan generasi non-milenial juga memiliki optimisime yang senada (83,8%).
Di sisi lain, generasi milenial juga bahagia dengan kehidupannya (91,2%), serta sangat optimistis terhadap masa depan (94,8%). Berbagai instrumen yang mendukung kebahagiaan kelompok milenial dianggap mencukupi sebagai instrumen untuk memandang masa depan: kesehatan (40%), waktu bersama keluarga (26,8%), kecukupan keuangan (7,5%), pekerjaan (7,5%), kehidupan agama (4,%) dan kehidupan sosial (4,5%).
Laporan CSIS juga mengungkap betapa kelompok milenial responsif terhadap isu-isu agama dan isu ideologi. Kelompok milenial menentang gagasan untuk terhadap ideologi pengganti Pancasila (90,5%), sementara yang setuju hanya 9,5%. Di sisi yang berbeda, ide tentang kepemimpinan dari unsur beda agama masih menjadi perdebatan di antara generasi milenial. Sebanyak 38,8 % milenial bisa menerima pemimpin yang beda agama, sementara 53,7 tidak setuju.
Tentu saja, isu-isu agama masih menjadi komoditas isu yang menggiurkan sebagai instrumen politik, meskipun tidak seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Isu kepemimpinan beda agama masih menjadi perhatian, dengan mayoritas milenial tidak setuju dengan pemimpin yang berbeda identitas keagamaannya.
Aspirasi Kelas Menengah?
Selain kelompok milenial, kelas menengah juga menjadi instrumen pada kontestasi politik masa mendatang, pada tahun politik 2018 dan 2019. Pertumbuhan kelas menengah juga berpengaruh pada optimisme melihat Indonesia sebagai negara yang terus berkembang pada tahun 2020-2030. Hal ini,mematahkan anggapan bahwa Indonesia terancam bubar pada 2030, sebagaimana yang pada akhir-akhir ini didengungkan oleh sebagian politisi untuk mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo dan kabinetnya.
Laporan Alvara Research Center (Indonesia 2020: The Urban Middle Class Millenials) mengungkap pentingnya pertumbuhan masyarakat urban, kelas menengah, dan generasi muda di Indonesia sebagai tulang punggung pertumbuhan pada 2020-2030. Kelas menengah menjadi penting karena sering menjadi motor perubahan, khususnya terkait dengan aspek ekonomi dan perubahan sosial. “Mereka merupakan mesin pertumbuhan (engine of growth) karena sudah memiliki daya beli yang cukup sehingga mampu menjadi penggerak ekonomi dari sektor konsumsi. Kelas menengah adalah masyarakat yang memiliki sumber daya.” (Alvara, 2016).
Badan Pusat Statistik memprediksi bahwa pada tahun 2020 penduduk kota mencapai 56,7 %, dan pada tahun 2035 pada kisaran angka 66,6%. BCG memprediksi jumlah kelas menengah mencapai 141 juta orang, sedangkan riset McKinsey mengungkap data bahwa pada tahun 2030 kelas menengah mencapai 130 juta jiwa. Generasi milenial Indonesia berada pada populasi 35% dari keseluruhan warga Indonesia.
Dari catatan Asian Developtment Bank (ADB), kelas menengah merupakan kelompok penduduk yang memiliki pengeluaran $2 per kapita per hari. Dengan menggunakan standar pengeluaran, ada tiga pola kelas menengah: lower middle class (rentang pengeluaran per kapita $2 hingga $4), middle middle class (pengeluaran per kapita per hari $4 hingga $10), serta upper middle class (pengeluaran per kapita per hari $10-$20).
Laporan BCG menyebutkan pada tahun 2012 jumlah kelas menengah di Indonesia sejumlah 74 juta jiwa. Ini berdasar kategori MAC, Middle Class and Affluent Consumers. Dari laporan BCG ini, kelas menengah dibagi menjadi empat kategori, yakni: middle, upper middle, affluent dan elite. Terjadi pergeseran pola kelas menengah dari tahun 2012 ke tahun 2020, lebih banyak pada kategori middle dan upper middle. Kategori middle sebanyak 41,6 juta menjadi 68,2 juta, serta upper middle dari 23,2 juta menjadi 49,3 juta. Dengan menggunakan referensi ini, maka prediksi kelas menengah pada tahun 2020 akan mencapai angka 52%.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki populasi kelas menengah yang besar, yang dapat digerakkan menjadi kekuatan utama pertumbuhan ekonomi. Kelas menengah Indonesia Indonesia merupakan terbesar di kawasan Asia Tenggara, di atas populasi kelompok yang sama di negara Filipina, Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Di kawasan Asia, populasi kelas menengah Indonesia hanya kalah dari India dan China.
Dari sejumlah laporan riset, sudah saatnya melihat Indonesia dengan kacamata optimisme. Pertumbuhan generasi milenial dan kelas menengah menjadi instrumen penting untuk masa depan politik negeri ini. Kontestasi isu di media sosial menyasar kelompok ini, untuk saling berebut pengaruh serta mencipta persepsi publik. Sudah seharusnya generasi milenial dan kelas menengah kita menyuarakan optimisme dan mencipta peluang untuk menjemput masa depan Indonesia pada 2020-2030. Indonesia butuh generasi milenial dan kelas menengah yang optimistis serta sebagai penggerak, bukan hanya populasi kelas menengah ngehek yang bersuara lantang tanpa gerakan.
Munawir Aziz peneliti, Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(mmu/mmu)
Sumber : Detik