Hari Asyura: Sebuah Kisah dan Hikmah Spiritual dalam Islam
Fitrur Rahman Albabil Umam – Hari Asyura, yang jatuh pada bulan Muharram, merupakan sebuah momen bersejarah yang memuat berbagai peristiwa penting dalam sejarah agama Islam. Selain itu, hari ini juga menjadi waktu yang istimewa untuk meningkatkan keberkahan dan spiritualitas dalam kehidupan umat Muslim. Menghargai Hari Asyura berarti tidak hanya merenungkan peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi pada tanggal tersebut, tetapi juga mengenang nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam puasa dan ibadah pada hari ini.
Di antara peristiwa-peristiwa tersebut adalah taubat yang diterima oleh Nabi Adam setelah diturunkan dari surga, pengangkatan Nabi Idris ke tempat yang tinggi, penurunan Nabi Nuh dari kapal setelah banjir besar, penyelamatan Nabi Ibrahim dari api yang dinyalakan oleh raja Namrud, penurunan kitab Taurat kepada Nabi Musa, pembebasan Nabi Yusuf dari penjara, penyembuhan kebutaan Nabi Ya’qub melalui baju Nabi Yusuf, penyembuhan Nabi Ayyub dari penyakit kulit yang berkepanjangan, pembebasan Nabi Yunus dari perut ikan Nun, pembukaan lautan bagi Bani Israil yang melarikan diri dari kejaran Fir’aun Mesir yang kejam, pengampunan kesalahan Nabi Dawud, pemberian kekuasaan berupa kerajaan kepada Nabi Sulaiman, kenaikan Nabi Isa ke langit setelah dikepung oleh bangsa Romawi, serta pengampunan kesalahan masa lalu dan masa depan oleh Nabi Muhammad.
Salah satu aspek menghormati Hari Asyura adalah dengan berpuasa. Mengikuti jejak Nabi Musa dan Rasulullah ﷺ, puasa pada hari Asyura menjadi sarana untuk menunjukkan rasa syukur kepada Allah atas pertolongan dan nikmat-Nya yang tiada terhingga. Puasa ini juga menawarkan kesempatan bagi umat Muslim untuk membersihkan diri dari dosa-dosa dan kesalahan di masa lalu. Dengan berpuasa pada hari Asyura, umat Muslim berkesempatan untuk merenungkan dan bertaubat dari kesalahan-kesalahan masa lalu, sehingga dapat memulai lembaran baru dengan hati yang lebih suci dan terpenuhi rasa syukur.
Selain berpuasa, momen ini juga dihiasi dengan ibadah-ibadah lainnya. Shalat, dzikir, dan membaca Al-Qur’an menjadi kegiatan yang lebih intens pada Hari Asyura. Semangat memperbanyak amal ibadah ini adalah bukti penghormatan kita terhadap momen bersejarah ini dan semakin mendekatkan kita kepada Allah. Ketika kita mendekatkan diri kepada-Nya dengan ikhlas dan tulus, Allah pun akan mendekatkan rahmat-Nya kepada kita.
Terkait penghormatan terhadap hari ‘Asyura, ada sebuah kisah menarik yang dapat menginspirasi kita dalam menghargai momen istimewa tersebut. Kisah ini diambil dari kitab I’anatu at-Thalibin (2/303) pada Bab Shiam.
[Pada suatu hari, ada seorang pria yang merupakan seorang tukang perhiasan menuangkan tumpukan koin emas dan perak ke atas timbangan. Seseorang mendekat kepadanya, memberi salam, dan berkata, “Wahai tuanku, aku adalah seorang miskin. Mungkin Anda bisa meminjamkan saya satu dirham agar saya dapat membeli makanan untuk anak-anakku pada hari ini, dan saya akan mendoakan Anda.”
Namun, sang tukang perhiasan menoleh dengan acuh tak acuh dan menolak memberikan bantuan apa pun. Pengemis itu merasa terhina dan sedih saat air mata tak tertahan membasahi pipinya. Tetapi, tetangganya yang seorang tukang perhiasan dan juga seorang Yahudi melihatnya. Ia turun dan menghampiri pengemis itu dari belakang, lalu berkata, “Aku melihatmu berbicara dengan tetanggaku, si fulan” Pengemis tersebut berkata: “ Aku mencarinya untuk meminjamkanku satu dirham agar aku bisa memberi makan anak-anakku, namun dia menolak untuk meminjamkannya hingga membuatku kecewa padahal aku akan mendoakannya hari ini.”
Lalu, si Yahudi bertanya, “hari apa ini?” Si pengemis menjawab, “Ini adalah hari Asyura” dan pengemis tersebut menyebutkan beberapa keutamaannya. Kemudian, si Yahudi memberikan sepuluh dirham kepadanya dan berkata, “Ambillah ini dan belanjakan untuk anak-anakmu sebagai penghormatan terhadap hari ini.” Pengemis itu pergi dengan perasaan senang, dan dia dapat memberi makan keluarganya dengan cukup.
Ketika malam tiba, sang tukang perhiasan yang seorang Muslim melihat dalam mimpinya seolah-olah hari kiamat telah tiba. Rasa haus dan kesengsaraan sangat kuat dalam mimpinya. Dia melihat sebuah istana yang terbuat dari mutiara putih dengan pintu-pintunya yang terbuat dari yakut merah. Dia mengangkat kepalanya dan berkata, “Wahai penduduk istana ini, berilah aku seteguk air.”
Dia mendengar suara yang mengatakan, “Istana ini adalah milikmu di masa lalu. Namun, ketika kamu menolak seorang pengemis yang membuatnya patah hati, namamu dihapus dari sana, dan nama tetanggamu yang Yahudi ditulis sebagai pemberi yang baik karena memberi pengemis tersebut sepuluh dirham.”
Tukang perhiasan itu terkejut. Dia memutuskan untuk mencari tetangganya yang Yahudi dan berkata, “Engkau adalah tetanggaku, dan hak milikku ada padamu, dan aku membutuhkanmu.”
Yahudi itu bertanya, “Apa yang kamu butuhkan dariku?” Tukang perhiasan itu menjawab, “Jual padaku pahala sepuluh dirham yang telah kamu berikan kepada pengemis kemarin dengan harga seratus dirham.”
Yahudi itu menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan menjualnya dengan harga seratus ribu dinar. Bahkan jika kamu meminta untuk masuk ke dalam pintu istana yang kamu lihat kemarin, aku tidak akan memperbolehkanmu masuk.”
Tukang perhiasan itu bertanya, “Siapa yang memberitahumu rahasia ini?” Yahudi itu menjawab,
الذي يقول للشئ كن فيكون، وأنا أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
“Dia yang berfirman kepada segala sesuatu ‘Jadilah maka jadilah’. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya.”
Saudaraku, meskipun dia seorang Yahudi, dia memperhatikan keutamaan hari Asyura meskipun tidak mengetahui keutamaannya secara keseluruhan. Allah memberinya apa yang Dia berikan, lalu bagaimana dengan orang yang mengetahui keutamaan dan pahalanya namun mengabaikannya?
Sungguh indah perkataan seorang penya’ir : “Hai orang yang terlena dan lalai, sampai kapan engkau memandang baik perbuatan-perbuatan keji? Betapa anehnya kamu, padahal kamu melihat dengan jelas jalan yang lurus.
Bagaimana mungkin kamu menghindari nasib yang pasti, pada hari di mana semua anggota tubuh akan bersaksi tentang apa yang telah dilakukan?” Betapa menakjubkan dirimu, padahal kamu melihat dengan jelas jalan yang lurus. Bagaimana mungkin kamu menghindari nasib yang pasti pada hari perhitungan? Puasalah, karena hari ini adalah hari Asyura, yang masih memiliki aroma ketakwaan. Hari yang mulia, Allah mengkhususkan kita dengannya. Sungguhlah bahagia bagi mereka yang beramal shalih di dalamnya.”]
Kisah ini mengajarkan kita tentang beberapa nilai moral yang berharga.
Pertama, pentingnya menghargai momen bersejarah dalam agama kita dan merenungkan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Hari Asyura adalah waktu istimewa untuk memperbanyak amal ibadah, berpuasa, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas dan tulus.
Kedua, pentingnya sikap dermawan dan berbuat kebaikan terhadap sesama, sebagaimana yang dilakukan oleh tetangga Yahudi yang memberikan sepuluh dirham kepada pengemis miskin sebagai bentuk penghormatan pada Hari Asyura. Tindakan kecil namun tulus ini dapat mengubah hidup seseorang dan menjadi amal yang penuh berkah di sisi Allah.
Mari kita ambil pelajaran dari kisah ini dan berusaha menjadi lebih baik dalam berbuat kebaikan terhadap sesama. Kita semua memiliki kesempatan untuk berbuat baik dan memberi manfaat pada orang lain, baik dengan perbuatan kecil maupun besar. Menghormati Hari Asyura dengan ibadah dan amal kebaikan akan membawa berkah bagi kita dan orang lain di sekitar kita.
Jadikan Hari Asyura sebagai momentum untuk merenungkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan, meningkatkan rasa syukur, dan berbuat kebaikan kepada sesama. Marilah kita semua menjadi lebih baik dari hari ke hari, menjalankan ibadah dengan tulus, dan memperluas cakupan kebaikan dalam hidup kita. Semoga Allah meridhai usaha kita dan memberkahi setiap langkah kita dalam menghormati Hari Asyura dan mengisi hidup dengan nilai-nilai luhur Islam.
*Mahasiswa Universitas Islam Indonesia