Ini Hak dan Kewajiban Non-Muslim di Hadapan Negara
Jakarta, NU Online
Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama 2019 yang menyebut non-Muslim sebagai warga negara menuai polemik. Pasalnya, para kiai sepakat tidak menyebutnya sebagai kafir.
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Muhammad Machasin yang hadir dalam forum Munas Alim Ulama NU 2019 ini mengatakan bahwa hal itu menunjukkan bahwa dalam hubungan bernegara, status Muslim dan non-Muslim sama.
“Status non-Muslim di dalam NKRI sebagai negara bangsa adalah warga negara. Hak-hak dan kewajibannya, dalam hubungan dengan negara tidak berbeda dengan hak-hak dan kewajiban Muslim,” tulis Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta itu melalui akun Facebook-nya, Sabtu (2/3).
Machasin menyebutkan bahwa kafir dibagi menjadi empat, yakni kafir harbī (non-Muslim yang diperangi), kafir dzimmi (non muslim yang dilindungi dengan imbalan pajak kepala atau jizyah), kafir mu‘āhad (non-Muslim dengan perjanjian, tanpa keharusan bayar jizyah), dan kafir musta’man (non-Muslim bukan warga yang dijamin keamanannya).
“Pilihan-pilihan ini tidak dapat dipakai karena Indonesia dibangun bersama oleh komponen bangsa yang terdiri atas berbagai latar belakang keagamaan yang berbeda,” jelas salah satu peserta Bahtsul Masail Maudluiyah itu.
Hal itu juga, menurutnya, sejalan dengan keputusan sebelumnya yang menyebut Indonesia sebagai negara kebangsaan berdasar kesepakatan.
“Indonesia bukan negara Islam, tetapi negara kesepakatan dari orang-orang yang majemuk itu,” pungkasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) KH Abdul Moqsith Ghazali mengatakan bahwa para kiai menyepakati tidak menggunakan kata “kafir” untuk menyebut non-Muslim, akan tetapi menggunakan istilah muwathinun, yaitu warga negara. Menurutnya, hal demikian menunjukkan kesetaraan status Muslim dan non-Muslim di dalam sebuah negara.
“Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain,” terang Moqsith, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu usai pembahasan di Komisi Bahtsul Masail Maudluiyah. (Syakir NF/Alhafiz K)