Intoleransi Pelajar Makin Marak, Perlukah Organisasi Pelajar Masuk Sekolah?
Jakarta, NU Online
Toleransi
sudah masuk dalam materi pelajaran pendidikan agama. Hal itu juga sudah
diajarkan oleh guru di setiap sekolah. Akan tetapi, materi tersebut
tidak sepenuhnya dipraktikkan oleh siswa.
“Sebagian sekolah
seperti itu. Mereka memahami nilai-nilai toleransi dengan baik. Namun
ketika diuji seberapa toleran itu gamang,” kata Muhammad Zuhdi saat
ditemui NU Online usai menyampaikan hasil penelitiannya yang berjudul Mempromosikan Moderatisme: Pencegahan Ekstremisme yang Keras, Pendidikan Agama dan Negara di Indonesia pada seminar internasional di Hotel JW Marriott, Kuningan, Jakarta, Senin (14/1).
Jangankan
pada agama yang berbeda, katanya, perbedaan pendapat dalam satu agama
saja menjadi masalah tersendiri. Zuhdi mencontohkan perbedaan pandangan
antara sesama Muslim terhadap ucapan selamat natal kepada umat
Kristiani.
“Menerima toleransi tetapi ketika harus bersikap
dengan itu kesulitan sendiri,” katanya pada kegiatan yang digelar oleh
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan United Nations Development Program (UNDP) itu.
Alumnus
Pondok Pesantren Al-Masthuriyah, Sukabumi, Jawa Barat itu
mengungkapkan, memang perlu adanya kesadaran betul tentang pemahaman
terhadap toleransi sehingga dapat dipraktikkan dalam keseharian. Sebab,
katanya, keyakinan seseorang tidak bisa dipaksakan untuk diyakini oleh
orang lain.
“Bagaimana bersikap terhadap toleransi yaitu kita tidak bisa mendapatkan apa yang kita yakini benar kepada orang lain,” katanya.
Adanya
organisasi kepelajaran masuk ke sekolah-sekolah, menurutnya, dapat
memberikan nilai positif dan negatif. Nuansa berbeda menjadi positif
bagi sekolah dan civitas akademika di dalamnya. Sementara negatifnya,
jika kesempatan itu dibuka, tentu memberikan peluang yang sama bagi
organisasi lainnya.
“Nah, siapa yang akan mengontrol itu kalau
kepala sekolahnya, yayasannya, bisa memilah mana yang aman, mana yang
tidak itu akan baik,” ucap wakil dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Kalaupun tidak
masuk dalam sekolah, kata Zuhdi, jika siswa tersebut melakukan kegiatan
di luar sekolah di organisasi itu tentu akan positif. Namun, ia
mengingatkan ulang, bahwa masuknya organisasi itu juga perlu kriteria.
“Perlu kriteria yang jelas untuk itu,” pungkasnya pada seminar yang mengangkat tema Merawat Keyakinan: Negara, Pendidikan Agama, dan Pencegahan Ekstremisme Kekerasan di Asia Tenggara itu. (Syakir NF/Muhammad Faizin)